Wawancara Khusus Mursyid Effendi: Abdi Persebaya hingga Bertualang Jadi Pelatih

14 Desember 2021 9:36 WIB
·
waktu baca 13 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Mursyid Effendi. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Mursyid Effendi. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
ADVERTISEMENT
Hidup ini tampak seperti tidak adil bagi Mursyid Effendi. Sebab, dari sederet banyak hal positif dalam karier sepak bolanya, legenda Persebaya Surabaya ini lebih erat dikenal karena insiden 'Sepak Bola Gajah' di Piala AFF 1998.
ADVERTISEMENT
Namun sebenarnya, ada hal menarik dan positif dari seorang Mursyid Effendi. Ia memiliki karier yang baik sebagai pemain dan kini sebagai seorang pelatih.
Kini, Mursyid melatih Persiga Trenggalek. Dia juga berperan terhadap pengorbitan pemain-pemain usia muda.
kumparan mewawancarai khusus Mursyid Effendi. Ia bercerita tentang banyak hal, mulai dari pahit-manis karier di Persebaya hingga sepak terjangnya sebagai pelatih. Silakan disimak.
Mursyid Effendi. Foto: Fitra Andrianto/kumparan

Bagaimana kabarnya saat ini, apa benar Anda tinggal di Trenggalek?

Karena sekarang pegang [Persiga] di Liga 3, jadi tinggal di Trenggalek.

Sejak kapan Anda melatih Persiga?

Sudah lama, saya sejak 2016. Sama Pak Bupati diajak ke sini lagi, kemarin sehabis pandemi ditelepon lagi, suruh pegang lagi. Jadi, vakum satu atau dua tahun, sekarang melanjutkan lagi.
ADVERTISEMENT

Menengok ke belakang terkait karier Anda bersama Persebaya, apakah benar jadi tim satu-satunya yang Anda bela?

Iya, sampai habis. Dari 1993 sampai terakhir musim kompetisi 2007/08.

Pada tahun 1993 itu apakah langsung masuk tim senior atau masih U-21?

Kalau U-21, sih, itu pas tahun 1991, waktu saya masih kuliah. Saya mulai tim [senior] Persebaya pas masih era Perserikatan tahun 1993.

Apa momen paling indah yang pernah Anda rasakan selama di Persebaya?

Paling indah diingat. Satu, bisa lolos seleksi masuk Persebaya, senang sekali soalnya mereka tim besar, penontonnya fanatik, ada di kota besar, dan sudah saya suka dari kecil. Kedua, saat kami juara tahun 1997 dan 2004.
(Pada musim 1996/97, Persebaya menjadi juara usai mengalahkan Bandung Raya 3-1 di final dan Mursyid main sejak menit 87. Pada 2004, Persebaya menjadi yang terbaik dari 18 kontestan Liga Indonesia, unggul selisih dan jumlah gol dari PSM yang mengoleksi poin sama 61--RED).
ADVERTISEMENT
Ketiga, pada saat kami terdegradasi lalu bisa menaikkan lagi. Itu semua momen-momen paling indah.

Kabarnya karier sepak bola Anda sempat terganggu sama hobi balapan, bagaimana ceritanya?

Ya, karena dulu orang tua saya tidak mengizinkan saya main sepak bola. Lalu, di saat saya main balap-balap liar, ada salah satu saudara yang lihat dan lapor ke rumah. Ibu dan bapak merasa kecewa, ibu sampai nangis.
Dari situ, saya langsung belok, ikut seleksi masuk klub, mungkin sekitar tahun 1988 kalau tidak salah. Zaman dulu kan tidak ada SSB, hanya klub.

Apakah ketika itu langsung masuk Persebaya?

Bukan. Jadi, saya ikutnya seleksi klub lain yang di [internal] Persebaya pada saat itu kayak Assyabaab, IM (Indonesia Muda), dan banyak lagi. Kebetulan, saya waktu itu ikutnya [seleksi] Putra Gelora.
ADVERTISEMENT
(Jadi, dulu terdapat tim-tim di Surabaya yang sering mengirim pemain terbaiknya untuk membela Persebaya. Klub-klub di atas adalah contoh namanya--RED).
Ilustrasi Suporter Persebaya Surabaya berikan dukungan Foto: ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Mengapa Anda memilih setia di Persebaya saat degradasi?

Memang, pada saat pertama awal masuk Persebaya, saya enggak digaji saja sudah senang pada saat itu. Bahkan, sampai habis karier saya di Persebaya pun, saya tidak pernah memikirkan soal uang. Dilihat dari gaji, gaji saya dulu paling sedikit di antara pemain senior.
(Tercatat, Persebaya dua kali mengalami degradasi saat Mursyid Effendi masih bermain, yakni pada 2002 dan 2006--RED).

Kenapa Anda terima-terima saja?

Karena, ya… Saya senang-senang saja masuk Persebaya, membela Persebaya, sampai saya habis, karena itu memang cita-cita saya pada saat itu. Dulu waktu Persebaya terdegradasi, saya memang sempat ditawari oleh Persib Bandung, Arema, PSM, dan Persija.
ADVERTISEMENT
Namun, saya merasa punya tanggung jawab, Persebaya terdegradasi itu tanggung jawab saya. Masa, Persebaya tim besar bisa degradasi, saya ada di situ, terus kemudian malah saya enggak mau ini (berjuang mengembalikan Persebaya ke level tertinggi sepak bola Indonesia)?
Jadi, saya waktu itu mikirnya, saya tidak akan mau pindah ke mana-mana sebelum Persebaya naik lagi. Pada saat naik, saya juga minta gaji kontrak tidak tinggi kayak pemain-pemain lainnya.

Karier Anda di Persebaya berakhir antiklimaks, bagaimana perasaannya?

Ya, yang paling menyedihkan, pada saat terakhir saya di Persebaya, kok, kayak-kayaknya ada politik di situ untuk menyingkirkan saya, untuk membuang saya. Kebetulan, pada saat itu, saya sudah ditawari main di Persita Tangerang. Sudah deal-deal-an waktu itu sama Jacksen [Ferreira Tiago] yang jadi pelatihnya.
Jacksen F. Tiago, pernah jadi pelatih Persita Tangerang pada 2006. Foto: Instagram @jaksen_tiago
Kenapa saya mau ke Persita? Karena pada saat itu di Persebaya, saya adalah pemain senior, tetapi harga gaji kontrak saya diturunkan sekitar 80%, sedangkan pemain-pemain yang ‘berkhianat’ (pergi saat Persebaya terdegradasi) lalu masuk lagi malah dihargai [lebih tinggi]. Saya rasa karena mereka pengin menyingkirkan saya dari situ.
ADVERTISEMENT
Okelah, kalau mau membuang saya karena alasan prestasi, monggo. Iya kan? Karena saya orangnya ‘kenceng’. ‘Kenceng’ itu dalam arti bahwa saya enggak mau dibelokkan secara negatif. Saya ini siapa, sih? Bukan manusia sempurna, ndak ada yang namanya manusia sempurna, cuma saya dulu enggak mau dibelokkan negatif.

Negatif dalam hal apa yang Anda maksud?

ADVERTISEMENT
Ya, bisa berarti banyak. Itu kan dulu ada teman-teman yang enggak dikasih atau cuma dapat sedikit bonus dari manajemen, itu kan saya enggak mau. Harus dihargailah mestinya para pemain dan saya adalah yang paling vokal bersuara. Gara-gara begitu, lama-lama enggak senang orang-orang di sekitar saya.
Mursyid Effendi. Foto: Fitra Andrianto/kumparan

Namun, akhirnya Anda tak pernah main di Persita, kenapa?

Saya pada saat itu di Persita sudah deal (sepakat), mau digaji dua kali lipat dari gaji saya di Persebaya, barangkali salah satu yang tertinggi di Indonesia waktu itu. Namun, sesepuh-sesepuh bola di Surabaya lalu telepon saya semua.
ADVERTISEMENT
Mereka minta saya balik ke Persebaya, saya tetap enggak mau. [Padahal] semua barang yang ada di mess [Persebaya] sudah saya bawa pulang semua ke rumah karena saya merasa dikibuli [manajemen Persebaya].
Nah kemudian, ibu saya lagi yang memegang peran. Ibu punya feeling (perasaan) pada saat itu, mungkin sebagai orang punya feeling ke anaknya, “Sudah balik saja ke Persebaya, rumahmu di Surabaya, semua [saudara dan teman] ada di Surabaya, ngapain jauh-jauh?”
Saya enggak jadi ke Persita, balik lagi ke Persebaya. Pada saat balik, itu teman-teman yang ‘berkhianat’ gajinya dinaikkan semua gajinya sekitar 10-20%. Terus, saya sebagai pemain senior di situ, loyalis di situ, kenapa diturunkan 50-80%? Itu saya enggak mau.
ADVERTISEMENT
Lalu, deal, dikembalikan lagi seperti semula gaji kontrak saya, tidak naik. Lucu, padahal saya yang menaikkan dari degradasi, Persebaya kan turun dua kali dan dua-duanya saya yang bantu naikkan.
Nah, pada saat itu, saya sudah oke, enggak apa-apa ini karena ibu. Setelah saya masuk, setengah musim kompetisi saya dikasih surat pemecatan. Gila, enggak?
(Mursyid Effendi mendapat surat pemutusan kontrak pada akhir putaran pertama musim 2007/08--RED)

Anda benar-benar dikasih langsung surat pemecatan itu?

Iya, iya.

Lantas, bagaimana ceritanya main di Persiku Kudus?

Saya pindah ke Kudus karena diajak teman saya sekaligus pelatihnya pada saat itu, Subangkit, yang minta tolong saya, “Ayo ke Kudus,” katanya. Tadinya, saya bilang, “Walah, mas... mas... Saya ini sudah cukuplah main sepak bola”.
ADVERTISEMENT
Namun, Subangkit bilang, “Ayolah, tolonglah saya”. Nah, itu saya enggak bisa [menolak], akhirnya saya main di Kudus selama dua bulan, habis itu pensiun main sepak bola, sudah cukup, capek. Itu saya pindah sebenarnya juga pengin menunjukkan bahwa saya ini punya prestasi.

Kenapa Anda dekat dengan Subangkit?

Dia senior saya, pernah satu tim di Persebaya. Orangnya juga baik, meski hanya satu periode, saya mengenal dia dan dia mengenal saya dan kami sama-sama pelaku sepak bola.
Mursyid Effendi. Foto: Fitra Andrianto/kumparan

Beralih ke timnas, benarkah pemicu sepak bola gajah di Piala AFF 1998 adalah ingin menghindari perjalanan jauh dari Ho Chi Minh City ke Hanoi?

Ya, itu satu. Soalnya, kami menang, tetapi kenapa pindah tempat? Lucu juga itu.
ADVERTISEMENT
Kenapa jika kami urutan pertama, kok, malah pindah dan jika jadi urutan kedua tetap di tempat?
(Indonesia dan Thailand tergabung di Grup A--RED).
Kan sebelumnya, kalau turnamen kayak begitu, urutan pertama enggak pindah dan peringkat keduanya yang mesti pindah. Kan waktu itu Vietnam urutan kedua [Grup B], tetapi kenapa menetap di Ho Chi Minh? Sebenarnya, itu patut dipertanyakan.
(Berdasarkan data Google, jarak Ho Chi Minh City ke Hanoi adalah 1.596,9 km dengan waktu tempuh perjalanan darat 33 jam. Laga Thailand vs Indonesia digelar 31 Agustus, sedangkan semifinal dihelat pada 3 September. Thailand kalah 0-3 dari Vietnam--RED).

Setelah kejadian itu, Persebaya menghukum Anda atau tidak?

Ndak ada, masih di Persebaya terus. Mana surat hukumannya? Dari situ saja sudah kelihatan.
ADVERTISEMENT

Anda katanya disanksi FIFA, tetapi enggak pernah terima suratnya?

Lha iya, dari situ saja sudah bohong. Orang kecil lagi yang kena.

Apakah kejadian masa lalu bikin sedih?

Ndak, InsyaAllah, itu saya anggap rezeki saya, saya anggap masih banyak hikmahnya yang saat ini masih ada terus. Semua orang jadi masih banyak kenal saya karena kejadian itu identik dengan Mursyid Effendi.
eks pemain timnas sepak bola Indonesia, Mursyid Effendi. Foto: @officialpersiga

Bicara soal karier kepelatihan, sekarang Anda pegang lisensi apa?

Saya pegang lisensi AFC.

Boleh diceritakan soal karier awal Anda sebagai pelatih?

ADVERTISEMENT
Dulu, sekitar tahun 2016 atau 2017 gitu, waktu Sekjen PSSI masih Joko Driyono. Saya punya teman yang merupakan teman dekatnya Joko Driyono. Jadi, saya itu tadinya sudah punya lisensi C, B, A nasional, sudah habis [uang] banyak, kok, tidak bisa melatih? Karena saya di AFC enggak boleh ‘katanya’ gara-gara kasus [Sepak Bola Gajah].
ADVERTISEMENT
Lha, itu kan pas menjadi pemain. Itu satu. Kedua, lalu mana surat hukuman saya? Enggak ada, lho. Kan pada waktu itu juga Joko Driyono sempat jadi pengurus AFC juga. Nah, waktu itu saya minta tolong ke sana.
Setelah ketemu Joko Driyono, saya bisa mengambil AFC. Kemudian, saya nanya ke instruktur, apa yang bisa mempercepat untuk ambil lisensi AFC tanpa nunggu dua tahun? Karena saya sudah melatih, sedangkan sertifikat ini hanya untuk syarat.
Instruktur bilang, “Kalau kamu bisa masuk 3 besar, InsyaAllah, kami usulkan untuk langsung percepatan”. Alhamdulillah, teman-teman instruktur waktu itu juga satu angkatan sama saya kayak Jessie Mustamu, misalnya. Alhamdulillah, sebelum satu tahun, saya bisa ambil B AFC.
Kebetulan B AFC bisa diambil di Bali, saya juga protes pada saat itu. Yeyen Tumena jadi instrukturnya waktu itu, kan dia katanya wakilnya Danurwindo [yang kala itu menjabat Direktur Teknik] di PSSI.
ADVERTISEMENT
Nah, itu aku ngomong sama Yeyen, “Ini aku ngomong bukan atas dasar saya sendiri, Yen, saya ngomong ini banyak teman-teman saya yang mantan pemain sepak bola sekarang jadi pelatih semua susah cari duit, apalagi untuk kursus yang harganya ‘segitu’ dan itu sudah dilakukan mulai C, B, A nasional, tetapi sekarang enggak diakui, kasihan enggak kamu? Tolonglah”.
Saya tidak pernah minta-minta bantuan ke siapa pun dan habis sekitar Rp 30-40 juta. Kalau untuk B AFC-nya saja bayar Rp 25 juta. Itu belum termasuk tiket PP Bali-Surabaya, Surabaya-Bali, tiga kali. Jadi kalau ditotal sekitar Rp 30-40 juta.
Jadi, saya bilang ke Yeyen, “Tolonglah usul ke PSSI, kalau bisa teman-teman yang C, B, A disetarakan.”
Yeyen Tumena. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Alhamdulillah, setelah saya usulkan kayak begitu, bisa dapat lisensi B AFC kurang dari setahun. Ini ada kesetaraan lisensi. Lucunya lagi, pada saat disetarakan seluruh Indonesia, mulai dari Aceh hingga Papua, waktu [acara kesetaraan lisensi] di Malang lucunya namaku enggak dimasukkan, hahaha...
ADVERTISEMENT
Itu kurang dua hari sebelum acara kesetaraan lisensi di Malang itu, saya dapat info dari teman, “Syid, namamu kok enggak ada? Ada apa?” Lho, aku kaget. Yeyen saya telepon, “Yen, namaku enggak ada ini, Yen, gila enggak? Kenapa namaku enggak ada, Yen? Apakah aku salah?”
Habis itu, dia telepon orang PSSI, orang PSSI telepon saya, semua kaget namaku masuk. Kurang dari satu hari, namaku masuk, padahal itu daftar dipersiapkan kurang dari satu bulan.

Kapan acara di Bali itu?

Pas awal pandemi corona muncul sekitar Maret atau April 2020 kalau ndak salah. Saya pulang dari Bali, besoknya lockdown. Kalau enggak gitu (pulang tepat waktu), enggak bisa pulang saya. Dan itu juga, masih ditahan sertifikat saya masih ditahan PSSI.
ADVERTISEMENT

Sampai sekarang?

Iya. Karena saya melanggar di hotel tidak boleh merokok, tetapi saya merokok. Sedangkan di situ tidak ada pengumuman atau tanda larangan untuk merokok.
Makanya, itulah PSSI. Jadi, bukan karena saya [Timnas Indonesia prestasinya mandek dan tidak bisa juara], selama ini kan katanya karena kuwalat Mursyid, kan gitu. Padahal, tidak, bukan, tetapi karena memang orang PSSI sendiri.
Mursyid ini sudah gila, sudah gendeng dengan sepak bola. Diapa-apakan tetap akan di sepak bola sampai habis. Bukan cuma senang, kalau cuma senang, saya sudah putus main di tengah jalan dulu, tetapi karena saya sudah gila. Wani, hahaha…
Orang kalau enggak tahu saya, pasti memusuhi, silakan, tetapi kalau sudah ketemu pasti berbalik 360 derajat. Kalau belum tahu saya, pasti mengoloki, [isu] gol bunuh diri yang dimunculkan pasti. Kalau sudah ketemu saya, pasti berbalik. Biar saja, yang bisa menilai itu kan bukan orang, tetapi Tuhan.
Mursyid Effendi, mantan pesepak bola Timnas Indonesia dan Persebaya. Foto: dok pribadi Mursyid Effendi

Apa tim pertama yang Anda latih?

Saya pertama melatih di Porprov Surabaya tahun 2009. Setelah itu, melatih Porda Surabaya selamat tiga periode, barengan dengan melatih PON Remaja Jawa Timur dan juara pada 2012. Itu latihannya gila; mulai pagi, siang, sore latihan, itu saking gilanya saya, hahaha…
ADVERTISEMENT
Lalu, saya dijanjikan untuk melatih PON senior, tetapi janji tinggal janji, ditikung sama teman. Selama dipegang saya, tim Jawa Timur selalu minimal semifinal atau final. Begitu dipegang orang-orang bermasalah, penyisihan saja sudah gugur.

Kenapa Melatih Porda dan PON barengan?

Saya enggak boleh tinggalkan salah satunya oleh teman-teman manajemen karena saya sudah mengorbankan banyak orang. Maksudnya, itu mengorbankan orang yang ‘titip’.
Dan rata-rata yang ‘titip’ itu orang kaya, orang anggota dewan, orang kepercayaannya wali kota, saya coreti semua anak-anaknya. Banyak orang enggak senang saya, monggo.

Setelah itu ke mana?

Saya melatih PSBI Blitar yang main di LPIS 2013. Terus, saya pegang Persatu Tuban di 2016. Tuban ini lucu juga, saya datang, kurang dari dua minggu kompetisi ISC B, oke.
ADVERTISEMENT
Saya lihat pemain yang sudah diseleksi yang notabene pemain dari ISC C main di ISC B. Manajemen dan bupati bilang bahwa pemain sudah bagus-bagus.
Tapi saya bilang, “Ini bagus di ISC C belum tentu bagus di ISC B”, terus dibilang, “Oke, jalankan Mas Mursyid”. Saya nuruti apa yang mereka punyai, termasuk formasi dan strategi, tetap saya jalankan. Saya hanya mengubah cara karakter tim.
Nah, di situ, ada salah satu dan salah dua pemain yang orang kepercayaannya wakil bupati. Saya sudah ngomong, “Enggak apa-apa, saya di tahun pertama yang penting kita dapat penilaian terhadap tim. Tapi, kalau hasil penilaian tahun pertama enggak bagus, saya akan merombak tim, 3-5 pemain cukup”.
ADVERTISEMENT
Nah, itu salah satu atau salah duanya ada pemain ‘titipan’. Enggak boleh saya coret.
Eks pemain timnas sepak bola Indonesia, Mursyid Effendi Foto: @officialpersiga
Setelah dari Tuban, saya pegang Trenggalek sejak 2016. Kenapa saya betah? Karena manajemen dan bupati tidak pernah intervensi saya. Saya sudah ngomong, “Kalau timnya jelek, enggak bagus, saya coret”.
(Maksudnya, Persiga Trenggalek menjadi juara Liga 3 Jawa Timur pada 2018--
Saya juga membikin prestasi anak-anak Trenggalek. Sejak saya pegang Persiga, banyak anak-anak dari Trenggalek main di Liga 1 dan Liga 2. Contohnya, ada Indra Adi Nugraha, kiper Bhayangkara FC. Terus, ada Alvin, gelandang Badak Lampung, mainnya istimewa.
Saya sampai nangis lihat si Alvin itu. Dia kan dari Sidoarjo, anak orang enggak punya, seleksi di Sidoarjo ditaruh di tim kedelapan [padahal mainnya bagus].
ADVERTISEMENT

Selama melatih, ada pemain yang tak respek karena sejarah Anda?

Alhamdulillah, tidak ada pemain saya yang kurang ajar. Malah yang ada, orang-orang pada bilang ke saya, “Pak Haji, gimana bisa kok anak-anak didiknya bisa punya etika bagus sekali, ke semua orang kok hormat, sopan sekali di luar lapangan?”
Saya kaget, sampai bilang, “Ndak, itu mungkin didikan di keluarganya bukan saya, wong saya ngelatih bola itu apa sih”.

Kabarnya Anda juga punya Gelanggang Olahraga (GOR), apakah masih ada sekarang?

Masih, itu usaha saya kecil-kecilan. Saya punya lapangan futsal, lapangan bulu tangkis, kolam renang yang dikelola keluarga. Biar adik-adik saya enggak kerja ikut orang, kalau di luar saya jadi pelatih. Makanya hidup saya kan tenang, biarpun sedikit, hahaha.
Eks pemain timnas sepak bola Indonesia, Mursyid Effendi (tengah) foto bersama dengan anak asuhnya di Persiga Trenggalek. Foto: @officialpersiga