Wawancara Khusus Peri Sandria: Raja Gol yang Kerap Bikin Kiper Lawan Gemetar

27 Agustus 2021 10:53 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Legenda Liga Indonesia, Peri Sandria. Foto: Dok Peri Sandria
zoom-in-whitePerbesar
Legenda Liga Indonesia, Peri Sandria. Foto: Dok Peri Sandria
ADVERTISEMENT
Peri Sandria harum namanya dalam sejarah Liga Indonesia. Raihan 34 gol dalam semusim pada 1994/95 miliknya nyaris abadi hingga akhirnya Sylvano Comvalius mencetak 37 gol pada Liga 1 2017.
ADVERTISEMENT
Liga Indonesia 1994/95 adalah edisi pertama kompetisi setelah peleburan Perserikatan dan Galatama. Membela Mastrans Bandung Raya, Peri memang gagal menjadi juara, tetapi sukses menyabet gelar topskorer.
Di samping bangga, Peri rupanya juga memiliki rasa kesal usai menyabet gelar topskorer. 'Sakit' itu lalu agak terobati kala pria kelahiran Binjai, Sumatera Utara, ini menjuarai Liga Indonesia pada musim berikutnya.
Bersama Timnas Indonesia, Peri juga memiliki kisah yang tak kalah menarik. Di antara 7 laga dan 4 gol yang diciptakannya untuk 'Garuda' dalam rentang waktu 1989–1997, terdapat momen paling berkesan baginya.
Legenda Liga Indonesia, Peri Sandria (dua dari kiri). Foto: Dok Peri Sandria
Untuk mengetahui ceritanya lebih dalam, kumparan berkesempatan mewawancarai Peri Sandria. Pria kelahiran 23 September 1969 ini kembali mengulas kisah jaya dan kontroversi hingga pengalaman tak terlupakan masa silam.
ADVERTISEMENT
Lantas, seperti apa kisahnya? Mari simak perbincangan berikut ini.

Apa momen paling berkesan Anda selama berlaga di Liga Indonesia?

Momen paling berkesan itu pada waktu saya jadi juara bersama Bandung Raya pada musim 1995/96. Itu penuh perjuangan. Jadi, kami bahagia dan senang banget. Apalagi, saya menyumbangkan satu gol di final, momen paling indah.
(Bandung Raya menjuarai Liga Indonesia 1995/96 usai mengalahkan PSM di final. Menang 2-0, gol dicetak Peri Sandria dan Heri Rafni Kotari. Mereka berhak mentas di Piala Winners Asia pada musim berikutnya-RED).
Saya ada cerita waktu kami habis dari Hong Kong dikecewakan. Waktu itu kami main di Piala Winners Asia, berangkat ke sana jam 10 malam, sampai pagi, jam 2 siang main. Sudah begitu, kami dikerjai sama wasit, sehingga kalah.
ADVERTISEMENT
(Bandung Raya gagal ke perempat final Piala Winners Asia 1996/97 karena dilibas South China asal Hong Kong. Imbang 1-1 di Indonesia, takluk 1-4 di tandang-RED).
Habis itu, kami pulang, berangkat dari Hong Kong jam 10 pagi, sorenya semifinal melawan Mitra Surabaya. Itu dalam kondisi kami semua lelah. Namun, alhamdulillah, dengan keadaan kondisi begitu, kami bisa menang dan masuk final.

Dengan kondisi capek dan kecewa, bagaimana mengembalikan mental hingga menang atas Mitra Surabaya?

Untuk mengembalikan mental, kami happy-happy saja. Kami segera melupakan segala hal buruk di Hong Kong dan beralih fokus ke Liga Indonesia. Alhamdulillah, bisa menang dan masuk final.
(Pada babak final Liga Indonesia 1996/97, Bandung Raya kalah dari Persebaya 3-1 di Gelora Bung Karno. Satu-satunya gol Bandung Raya dicetak oleh Budiman Yunus-RED).
ADVERTISEMENT

Bagaimana kesannya menjadi top skor dengan 34 gol di Liga Indonesia 1994/95?

Senang gitu, ya, bisa cetak 34 gol. Cuma, ada sisi kecewanya juga saya waktu itu. Soalnya kan waktu itu dijanjikan tidak ada gelar 'Pemain Terbaik', cuma ada 'Top Skor' dan hadiah uang pembinaan Rp 50 juta. Ternyata, saya enggak dapat uang, cuma piala. Yang dapat itu Widodo Cahyono Putro, yang juga jadi 'Pemain Terbaik'.

Dengar-dengar, kecewa sampai banting trofi gelar top skornya waktu itu?

Iya, tetapi kata istri, janganlah. Yang sudah, sudahlah, jadikan pelajaran saja.
Karena dalam karier itu kan yang saya cari, selain jadi topskorer, juga uang pembinaan. Soalnya, saya waktu itu sudah janji sama beberapa tempat ibadah untuk menyumbang. Alhasil, yang saya sumbangkan enggak sesuai rencana awal, tetapi, ya, sudahlah.
Legenda Liga Inonesia Era 90an, Peri Sandria Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

Siapa kiper yang susah ditaklukkan sepanjang karier Anda?

Kiper yang susah ditaklukkan itu, saya rasa, buat saya dulu enggak ada. Bukannya sombong, yang ada, malah kiper takut kalau saya sudah pegang bola. Soalnya, dari sisi mana saja, saya bisa cetak gol.
ADVERTISEMENT

Bagaimana dengan bek lawan, siapa yang paling sulit dilewati?

Semua bisa dilewati, kok. Semua sudah saya baca, bek-bek yang besar maupun kecil. Sebab, saya sadar bahwa saya punya kecepatan, sehingga saya pakai itu. Selain itu, saya juga kombinasikan kecepatan dengan teknik lain, seperti sprint sambil shooting. Terus kaki kanan, kaki kiri, dan kepala saya juga 'hidup' dulu.

Anda bermain di Bandung Raya sampai tim itu bubar pada 1997, apa yang terjadi saat itu? Apakah terdampak krisis moneter?

Terdampak krisis moneter, sih, tidak. Memang karena persoalan finansial saja.
Dan mungkin, apa ya, dalam satu daerah ada dua tim, Bandung Raya dan Persib. Banyak suporter Persib pada waktu itu sudah lari ke Bandung Raya. Bisa ada kecemburuan sosial juga. Jadi, yang dimenangkan adalah tim paling tua.
ADVERTISEMENT
Jadi, [dibikin] bagaimana caranya Bandung Raya bisa hengkang dari situ gitu, lho. Ya, banyak caralah, saya sih enggak tahu.

Anda pernah membela Persib, tetapi kenapa gagal bersinar?

ADVERTISEMENT
Sebenarnya, saya mau ikut teman-teman yang lain pindah ke Persija. Soalnya, waktu itu kan manajernya Persib abang kandungnya Pak Tri Goestoro (manajer Bandung Raya yang kemudian pindah ke Persija), yakni Pak Dwi Koernianto. Jadi, saya diminta bantu Pak Dwi di Persib.
Cuma, saya juga kaget, kok, di Persib saya enggak pernah main. Apakah karena saya cedera? Memang ada cedera, cuma enggak begitu parah. Enggak tahu kenapa saya enggak pernah dimainkan oleh Nandar Iskandar (pelatih yang juga sempat melatih Bandung Raya). Akhirnya, sebelum masuk musim kedua, saya cabut.
ADVERTISEMENT

Ada cerita Anda melempar kertas kontrak, apakah benar?

Iya, karena gini, percuma saya teken kontrak tetapi enggak pernah main. Berarti, saya kan makan gaji buta.
Saya minta waktu itu surat keluar enggak dikasih, jadi ada insiden sedikit supaya suratnya keluar dan enggak ditahan-tahan. Alhasil, kami bicara dengan baik-baiklah dan kedua pihak sepakat, saya dapat surat keluar dan pindah ke Persikabo.
(Karier Peri Sandria selanjutnya: Persikabo pada 1999, Persitara 1999-2000, Persikasi Bekasi 2001-2003, Persipo Purwakarta 2003-2004 & membantu tim ini ke divisi dua, Persipon Pontianak 2004-2005 merangkap pelatih dan membantu tim ke divisi satu, pensiun di usia 42 tahun-RED).

Dulu Anda kiblatnya memang ke striker Serie A, ya, sampai ada yang bilang Anda belajar diving dari Diego Maradona, apakah benar?

Diego Maradona saat menghadiri konferensi pers di Marseille, 10 Februari 2009. Foto: REUTERS/Jean-Paul Pelissier
Ya, saya belajar teknik, curi-curi ilmu sedikitlah. Kayak, bagaimana saya menjatuhkan diri di kotak penalti, contek-contek sedikit dah.
ADVERTISEMENT
Kelemahan saya adalah enggak bisa melewati lawan (menggocek) kayak Ronaldo. Karena saya punya kecepatan, adu lari saja. Mungkin, masing-masing pemain juga punya kelebihan.
Saya juga terinspirasi dari striker Jerman, Karl-Heinz Rummenigge. Kenapa? Saya lihat dia, dia selalu tenang di kotak 16, tenang dan tak terburu-buru seperti pembunuh berdarah dingin.
(Rummenigge adalah legenda Timnas Jerman Barat yang pernah membela Bayern Muenchen, Inter Milan, dan Sevette. Dia 3 kali menjadi topskorer Liga Jerman, sekali topskorer Piala Jerman, sekali topskorer Liga Swiss, dan sekali topskorer Liga Champions--RED)
Karl-Heinz Rummenigge. Foto: AFP/Christof Stache

Bagaimana karier Anda sebagai pelatih?

Saya mengawali pelatih dari 2008 di PS Siak Riau, waktu itu saya dipercaya salah satu orang nomor satu di Kabupaten Siak. Waktu itu, saya diminta membawa tim itu naik ke divisi satu dan alhamdulillah berhasil.
ADVERTISEMENT
Untuk musim 2010/11, waktu saya diminta bantu promosikan PS Siak di divisi utama, saya sanggupi juga. Pas mau ada nego kontrak, ada beberapa pengurus yang tidak suka sama saya, karena saya kalau di lapangan enggak mau diatur, jadi berpisah.
Pada 2010, saya diminta ke Persipon Pontianak lagi untuk membantu mereka bertahan di divisi satu karena dana mereka terbatas. Terus ternyata, bos di PS Siak telepon saya lagi karena mereka dengan pelatih baru gagal ke divisi utama.
Saya bilang, saya masih ada ikatan kontrak. Dia jawab, 'Berapa kontraknya? Saya bayar", saya bilang enggak bisa begitu, ini urusannya hukum. Alhasil, mereka juga bisa mengerti. Setelah habis kontrak, saya kembali ke PS Siak pada 2012 dan membantu mereka lolos ke divisi utama LPI (Liga Primer Indonesia).
ADVERTISEMENT
Terus pada 2013, saya diminta melatih tim U-21 Pelita Bandung Raya (PBR), tetapi saya enggak mau. Akhirnya pada 2014, saya jadi asistennya Dejan Antonic di PBR. Waktu itu, kami masuk semifinal Liga Super Indonesia.
Dejan Antonic. Foto: Instagram / @pssleman
(Pelita Bandung Raya kalah dari Persipura 0-2 di babak semifinal Liga Super Indonesia 2014. Dua gol Boaz Solossa menggagalkan terciptanya Derbi Bandung di final, Persib keluar sebagai juara setelahnya-RED).
Setelahnya, karena liga sudah enggak benar, saya beralih ke tim lokal. Saya lalu pegang PS Marinir yang tadinya enggak pernah juara apa-apa, alhamdulillah, saya bikin jadi juara. Enggak jelek-jelek amatlah jadi pelatih.

Bagaimana kiprah Anda di PS Marinir?

Susah, melatih tentara jadi pemain sepak bola. Kalau pemain sepak bola jadi tentara, kebalikannya, gampang. Soalnya, dari segi teknik dan semuanya. Tapi, kalau mereka kan kebanyakan latihannya perang.
ADVERTISEMENT
Mereka punya kompetisi sendiri, namanya Poral (Pekan Olahraga Angkatan Laut). Ini lebih bergengsi dari liga, soalnya pejabat-pejabat yang punya bintang pada nonton.
Pada 2018, saya bawa mereka jadi juara Poral. Kami kalahkan tim yang tadinya enggak pernah kalah di final, Mabesal (Markas Besar Angkatan Laut), yang komposisinya ada pemain-pemain Liga 1 dan Liga 2. Kalau PS Marinir kan memang marinir asli. Almarhum Daryono saja itu yang top kiper kami waktu itu.
Memang lebih enak melatih tentara daripada klub-klub liga. Tekanannya enggak terlalu besar.

Apakah Anda masih melatih saat ini?

Sebenarnya, sih, kemarin sudah ada kontak-kontak. Saya disuruh sabar saja dulu [tidak ada kompetisi].
Sekarang kesibukannya latihan-latihan sama teman-teman saja. Pemasukan dari tarkam saja kalau ada. Sekarang ini, saya sibuk-sibuk urus pembangunan musala, saya ditunjuk jadi bendahara, harus lincah-lincah cari uang sana-sini.
ADVERTISEMENT

Sekarang masih ikuti Liga Indonesia?

Sudah enggak pernah lagi.

Namun, apa ada tanggapan soal Liga 1 vakum karena pandemi corona?

Sebenarnya, sih, kalau divakumkan itu sangat sayang sekali karena tak ada kompetisi. Bagaimana timnas mau bagus kalau tak ada kompetisi? Mudah-mudahan, pemerintah jangan dimandekkin lagi, deh.
Maksudnya, bolehlah kompetisi dijalankan tanpa penonton. Mungkin cuma di Indonesia yang kompetisinya mandek total. Liga Malaysia sama Liga Thailand masih main. Jadi, Liga 1 jalankan saja, tetapi tetap perhatikan protokol kesehatan.

Apa tanggapan Anda melihat klub-klub Indonesia sekarang pakai striker asing, apa tanggapannya?

Marko Simic dan Geoffrey Castillion. Foto: pixabay dan liga 1
Jadi begini, kalau bicara mau pecahkan rekor 34 gol saya, bagaimana mau bisa [dipecahkan oleh striker Indonesia]? Karena bicara pemain-pemain Liga 1 sekarang kan pakai pemain asing.
ADVERTISEMENT
Namun, klub juga enggak disalahkan. Rata-rata semua 'Top Skor' dan 'Pemain Terbaik' itu pemain asing, sampai-sampai pelatih juga pakai pelatih asing, jadi percuma yang punya sertifikat.
Coba, sesekali dimanfaatkan ini striker-striker Indonesia, diduetkan dengan pemain asing kayak saya dulu sama Dejan Gluscevic. Jadi nanti, regenerasinya ada. Sehabis Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa, enggak ada lagi penerusnya.
Jadi, saya lihat, striker-striker Indonesia sekarang sudah enggak ada lagi [yang benar-benar tajam]. Setiap saya nonton, klubnya pakai striker asing. Jadi, sudah enggak seru lagi buat saya.
[Setelah Peri Sandria, striker Indonesia yang bisa jadi topskorer Liga Indonesia adalah Kurniawan Dwi Yulianto (1997/98), Bambang Pamungkas (1999/2000), Ilham Jaya Kesuma (2000 dan 2004), Boaz Solossa (2008/09 dan 2010/11 serta 2013)-RED].
ADVERTISEMENT

Dari pengamatan Anda, siapa striker muda Indonesia yang bisa dijadikan andalan di masa depan?

ADVERTISEMENT
Kalau zaman sekarang, bisa saya lihat Egy Maulana Vikri, Osvaldo Haay, dan Saddil Ramdani. Saya melihat mereka berjiwa muda, tetapi perlu juga terapi mental dari senior-seniornya.
Kadang, jeleknya juga, anak muda zaman sekarang mentalnya sudah jelek. Mungkin karena juga sudah terpengaruh uang kali, ya.

Apa nasihat untuk striker muda Indonesia?

Jangan lupa diri karena sudah diagung-agungkan penggemar dan media. Harus rendah hati. Jangan kalau sudah jadi pemain yang banyak uang dari iklan lupa semua. Itu kalau adegan cara begitu, main sepak bola juga enggak lama.
Pakai ilmu padi saja: Semakin berisi, semakin merunduk. Jangan terbalik, semakin berisi malah semakin tegak terus kepalanya, kepalanya besar, dadanya besar, enggak boleh begitu. Pesan saya, tetap rendah hati.
ADVERTISEMENT
Mental juga perlu diasah. Itu paling penting dan paling utama karena rata-rata pemain Indonesia mentalnya jelek.