FIFPro: Sepertiga Pesepak Bola Wanita Top Masih Nyambi Kerjaan Kedua buat Hidup

19 Juni 2024 17:03 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Reaksi penyerang Kanada #12 Christine Sinclair di akhir pertandingan sepak bola Grup B Piala Dunia Wanita 2023 Australia dan Selandia Baru antara Kanada dan Australia di Melbourne Rectangular Stadium, juga dikenal sebagai AAMI Park. Foto: William West/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Reaksi penyerang Kanada #12 Christine Sinclair di akhir pertandingan sepak bola Grup B Piala Dunia Wanita 2023 Australia dan Selandia Baru antara Kanada dan Australia di Melbourne Rectangular Stadium, juga dikenal sebagai AAMI Park. Foto: William West/AFP
ADVERTISEMENT
Sepak bola wanita di dunia memang sudah berkembang jauh, katakanlah, sejak 10-15 tahun yang lalu. Meski begitu, perkembangan pesat, deretan investasi yang masuk, juga perhatian para fans sebagai “konsumen” masih belum cukup memberikan penghidupan yang layak bagi pesepak bola top di dunia.
ADVERTISEMENT
Jangankan dibandingkan dengan pesepak bola pria, hampir 30 persen pesepak bola top di seluruh dunia masih perlu bekerja tambahan atau nyambi kerjaan lain karena gaji dari bersepak bola tak cukup menghidupinya.
Hal tersebut jadi temuan dari penelitian yang dilakukan oleh FIFPro, FIFA, dan Edith Cowen University dari Australia kepada total 736 pesepak bola wanita dari 12 negara di 6 benua. Negara tersebut termasuk Australia, Botswana, Brasil, Chile, Fiji, Korea Selatan, Meksico, Belanda, Selandia Baru, Nigeria, Amerika Serikat, dan Swedia.
Dalam laporannya berjudul Multiple Job-Holding In Elite Women’s Football, ditemukan beberapa fakta, seperti:
Pemain Timnas Wanita Australia Clare Hunt berebut bola dengan pemain Timnas Wanita Swedia Rebecka Blomqvist pada pertandingan perebutan tempat ketiga Piala Dunia Wanita 2023 di Stadion Brisbane, Brisbane, Australia, Sabtu (19/8/2023). Foto: Dan Peled/REUTERS
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa dalam level tertinggi pun, tak semua pesepak bola wanita bisa fokus bermain bola dan mendapatkan penghidupan yang layak dari bermain sepak bola.
ADVERTISEMENT
Bayaran sebagian besar pemain juga masih sangat kecil apabila dibandingkan dengan umur karier dan risiko yang mereka hadapi. Dus angka pemain yang meneruskan sekolah cukup tinggi (36%).
Akibatnya, pemain aktif masih harus bekerja sampingan baik paruh maupun penuh waktu. Tentu ini tidak ideal. Seorang atlet papan atas seharusnya punya seluruh waktu yang ada untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya. Namun, karena kebutuhan finansial tak terpenuhi, mereka harus kehilangan waktu dan kesempatan ini.
Belum lagi tekanan yang muncul dari juggling dua pekerjaan atau bahkan lebih. Risiko yang diterima pemain dengan beberapa pekerjaan otomatis lebih tinggi, baik secara fisik maupun psikis.
Pemain Timnas Wanita Inggris Alex Greenwood berebut bola dengan pemain Timnas Wanita Denmark Janni Thomsen pada pertandingan Piala Dunia Wanita 2023 di Stadion Sepak Bola Sydney, Sydney, Australia, pada 28 Juli 2023. Foto: Carl Recine/REUTERS
“Sepak bola wanita elite mengalami peningkatan profesionalisasi yang eksponensial, tapi tidak merata, dalam dua dekade terakhir. Akses menjadi pesepak bola profesional masih belum merata di dunia, yang artinya banyak pemain harus mendukung karier sepak bola mereka dengan pekerjaan kedua,” ujar Dr. Alex Culvin, Kepala Riset dan Strategi Sepak Bola Wanita di FIFPro.
ADVERTISEMENT
“Masalahnya, hal ini mengganggu kemampuan pemain untuk mendedikasikan waktunya untuk berkembang dalam dunia sepak bola profesional, juga mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka,” tuturnya dalam riset tersebut.