Bolanita-Liga 1 Putri 2019

Flashback Liga 1 Putri 2019: Kompetisi Sulit, Gaji Pelit

2 Oktober 2023 15:08 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Setiap kali kita membicarakan sepak bola wanita, Liga 1 Putri 2019 akan terus jadi bahasan utama. Kehadirannya begitu dirindukan; ia jadi tuntutan utama para pelaku, penggiat, dan penikmat sepak bola wanita di Indonesia. Pokoknya liga wanita harus ada.
ADVERTISEMENT
Kita jauh tertinggal dari Thailand, Vietnam, bahkan Myanmar yang telah punya liga sepak bola wanita jauh bertahun-tahun sebelumnya. Bagaimana bisa bersaing di level internasional ketika kesempatan berkompetisi di dalam negeri pun tak ada?
Tentu keberadaan satu liga sepak bola yang kontinyu, berjenjang, dan konsisten adalah syarat mutlak berkembangnya sepak bola sebuah negara. Sepak bola wanita Indonesia butuh itu.
Yang juga penting tapi sering dilupakan adalah soal bagaimana liga sepak bola wanita itu dijalankan. Sudah baikkah? Apa jangan-jangan asal ada saja, isinya amburadul?
Apesnya, untuk mendedah perkara tersebut, kita tak punya contoh kasus lain selain Liga 1 Putri 2019 yang cuma berlangsung 4 bulan itu. Sudahkah Liga 1 Putri 2019 dijalankan dengan maksimal? Apa yang harus berubah?
Persib Bandung saat melawan PS Tira di Liga 1 Putri 2019. Foto: PSSI

Ditunggak, Dicicil, Dipaksa Ikhlas

Para atlet dituntut untuk selalu menampilkan performa terbaik. Lari harus kencang, lompat harus tinggi, menembak bola harus tepat sasaran, dan seterusnya, dan seterusnya. Karenanya, gaji yang mereka terima pun fantastis.
ADVERTISEMENT
Setidaknya itulah yang terjadi di sepak bola laki-laki. Sepak bola wanita tak seberuntung itu. Mereka dianggap pelengkap saja—ada syukur, tidak pun tak mengurangi apa pun. Tak heran apabila di Liga 1 Putri 2019 kemarin, hak dan kewajiban para pemain tak ketemu di tengah.
Kasus TIRA Persikabo usai gelaran Liga 1 Putri 2019 jelas yang paling dikenal. Saat itu, pemain telah melakukan segalanya dan berhasil menjadi juara dua. Tapi sayang, kewajiban yang sudah dipenuhi tak diapresiasi. Gaji mereka telat-telatan.
Hal itu diceritakan kembali oleh Yolanda Krismonica, mantan kiper TIRA Persikabo di Liga 1 Putri 2019. Yolanda bercerita bagaimana ia dan teman-temannya dikontrak selama empat bulan, sesuai lamanya kompetisi yang berjalan dari September hingga Desember 2019. Katanya, gaji dari TIRA Persikabo lancar di bulan pertama dan kedua, namun macet memasuki bulan ketiga.
ADVERTISEMENT
“Kita coba push ke manajemen. Akhirnya, dibayar tuh, kalau nggak salah hanya setengah (dari jumlah gaji yang seharusnya). Sudah masuk bulan Desember, tapi gaji yang November itu hanya dibayar setengah,” kata Yola kepada kumparanBOLANITA pada Kamis (28/9) di Asiop Training Ground, Sentul.
Padahal gaji Yola dan rekan-rekannya terhitung tak seberapa. Pemain yang kini merangkap sebagai pelatih tim Raga Negeri FA itu dulu cuma digaji di bawah UMR Bogor—yang saat itu Rp3,8 juta.
“Kalau aku, perbulannya sekitar tigaan (juta rupiah). Ada yang di bawah aku, tapi ada juga yang di atas aku. Karena kan dilihat dari grade dan kemampuannya juga,” ungkapnya.
“Terakhir dibayar seingatku di 2020-an deh. After tiga atau empat bulan selesai Liga 1 Putri 2019, akhirnya lunas juga setelah kita lapor dan dibantu sama APPI (Asosiasi Pesepakbola Profesional Indonesia) untuk penyelesaian masalah gaji ini,” ujar Yolanda.
ADVERTISEMENT
Pemain yang pernah menjadi kiper Timnas Wanita Indonesia itu kini berstatus bebas transfer, alias tak punya klub. Ia sama dengan ratusan atau mungkin ribuan pemain sepak bola wanita di Indonesia lainnya. Rata-rata mereka dikontrak per event. Sebab Liga 1 Putri 2019 hanya digelar empat bulan, maka dikontrak empat bulanlah ia dan teman-temannya.
Tentu tak semua mengalami gaji nunggak seperti yang dirasakan pemain TIRA Persikabo. Reva Octaviani, eks pemain Persib Putri, juga Risa Afriyani Ulfa, mantan penggawa Persija Putri, bercerita bahwa gaji mereka relatif tepat waktu, meski jumlahnya sama kecilnya.
“Kalau waktu di Persib, alhamdulillah aman-aman aja sih. Mungkin cuma telat beberapa hari atau seminggu dari tanggal jatuhnya buat gajian. Gitu aja sih,” ungkap Reva saat dihubungi melalui telepon, Jumat (29/9).
ADVERTISEMENT
“Alhamdulillah kalau di Persija enggak ada (keterlambatan) karena kita bener-bener diurus sama manajer,” ujar Risa di sela-sela sesi latihan untuk Prapon DKI di Apartemen Titanium, Jakarta Selatan, Jumat (29/9).
Ada yang lebih baik, tentu saja ada juga yang lebih buruk ketimbang Reva, Risa, juga Yola.
“Ada yang bayarnya tarkaman setahuku. Jadi mereka nggak ada kontrak, kalau kamu main, selesai main baru dibayar,” cerita Yola.
Yang lebih buruk, gaji-gaji kecil yang ditunggak itu akhirnya tak pernah dibayar—hingga kini, empat tahun berlalu.
“Ada yang, ‘Yaudahlah, ikhlas aja.’ Mungkin karena nggak berani ngadu atau nggak ada bukti hukum jelasnya (kontrak),” tambah Yola.
“Makanya penting banget untuk ke depan harus punya kontrak. Kontrak itu enggak perlu berupa 10 lembar, 20 lembar pasal a, b, c, yang penting jelas hukumnya dan poin-poin pentingnya jelas. Setidaknya kalau ada pemain putri yang kenapa-kenapa, ada tim yang mau bertanggung jawab,” tegas Yolanda.
Persib Bandung saat menjadi juara Liga 1 Putri 2019. Foto: PSSI

Sistem Kompetisi Memberatkan

Meski bertajuk liga, Liga 1 Putri 2019 sebenarnya bukan benar-benar liga dalam artian setiap klub yang turut serta saling bertanding dan juaranya ditentukan dengan siapa pemilik poin paling banyak. Tidak seperti itu.
ADVERTISEMENT
10 peserta Liga 1 Putri 2019 dibagi menjadi dua grup, Grup A dan Grup B. Grup A berisi Persib Putri, TIRA Persikabo Kartini, Persija Putri, PSS Putri, dan PSIS Putri. Sementara Grup B berisi Galanita Persipura, Arema Putri, Bali United Women, Persebaya Putri, dan PSM Putri.
Masing-masing grup akan bertanding dalam empat seri. Jadi masing-masing tim, katakanlah, Persib Putri, akan tanding empat kali melawan Persija Putri pada seri pertama hingga keempat. Begitu pula dengan Arema Putri dan Bali United Women. Selanjutnya, dua tim terbaik dari masing-masing grup akan melaju ke babak semifinal dengan sistem home-away. Final pun digelar home-away.
Akibatnya, di fase grup, satu tim hanya akan melawan tim yang isinya itu-itu saja. Bagi Reva, ini kurang menarik.
ADVERTISEMENT
“Liga 1 waktu itu sistem kompetisinya menurut saya kurang menarik. Karena kan waktu dulu kita dibagi grup, beberapa pekan itu ketemunya lawan itu lagi, jadi agak bosen juga ketemu lawannya itu lagi,” ujar Reva.
Sistem kompetisi ini juga dipermasalahkan Dzulfikri Bashari El Hassan, mantan pelatih TIRA Persikabo. Ia mafhum dengan kompetisi yang baru sekali digelar, pasti banyak kekurangan. “Dijalankan saja sudah luar biasa,” ujar Coach Dzul ketika ditemui kumparanBOLANITA, Senin (25/9) di Markas ASTAM, Tangerang Selatan.
Dzul merasa gelaran Liga 1 Putri 2019 terlalu dimampatkan. Dalam waktu empat bulan saja, mereka bertanding dalam 4 kali seri, plus dua laga semifinal, plus dua laga final. Tak ada waktu berlatih dan evaluasi antar-pertandingan.
ADVERTISEMENT
“Namanya kompetisi tuh harus panjang, enggak bisa (kayak kemarin). Dengan sistem per seri, kompetisi dibuat secepat mungkin dan seefisien mungkin. Akibatnya, tidak bisa maksimal melahirkan banyak pemain,” tutur Dzul.
Menurutnya, panjang kompetisi selama 7-8 bulan adalah optimal. “Di setiap jeda pertandingan ada waktu pemain untuk berlatih. Di situ, kita bisa meningkatkan performa pemain, memberi pemahaman tentang sepak bola,” tambahnya.

Bisnis Kurang Berkembang

Dzul juga menyinggung soal sistem home-away yang memberatkan bagi klub. Sebab tim yang diasuhnya, TIRA Persikabo, harus bertandang ke Papua di laga semifinal melawan Galanita Papua.
“Itu biayanya cukup besar, untuk tim sangat berat. Jadi perlu diformulasikan gimana caranya supaya cost-nya tidak terlalu besar, mungkin dari menggaet sponsor karena kan pangsa pasarnya kaum hawa ya,” ujar Dzul.
ADVERTISEMENT
Soal bisnis dan pemasukan Liga 1 Putri 2019 ini juga dibahas oleh Souraiya Farina, Sekjen Asosiasi Sepak Bola Wanita Indonesia (ASBWI). Ia mengatakan perlu langkah agak panjang agar sepak bola wanita di Indonesia jalan sisi komersialnya.
“Lima tahun lalu mungkin sepak bola wanita, it was nothing. Tidak bisa dibilang ada dari sisi komersial,” ujar Farina saat ditemui kumparanBOLANITA, Senin (25/9) di Kantor ASBWI, Jakarta Pusat.
Kini, Farina dan ASBWI tengah mencoba meng-upgrade image sepak bola wanita sebagai sesuatu yang menjanjikan.
“Dari tahun kemarin kita coba ubah image sepak bola wanita. Selain dari ketua umum, rekanan-rekanan beliau, kita juga dari CSR. Kalau sponsorship, memang belum,” katanya.
Acara Sponsorship Summit di Hotel JW Marriott pada 26-27 September 2023 yang digelar PSSI kemarin, menurut Farina, adalah salah satu cara untuk mendatangkan sponsor ke sepak bola wanita Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Ini dalam tahap naikin level. Brand sepak bola wanita ini kan memang belum setara dengan sepak bola pria. Level kita saat ini mayoritas di area CSR, tapi saya bilang tadi, kita mau naik level karena kita merasa sudah layak untuk sponsor ada di sana,” ujar Farina.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten