Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.8
Mati Suri dan Tak Diakui, Timnas Wanita Afghanistan Kecewa pada FIFA
28 Maret 2025 14:36 WIB
·
waktu baca 3 menit
ADVERTISEMENT
Sejak Taliban mengambil alih kekuasaan Afghanistan pada 2021, sepak bola wanita praktis menjadi barang terlarang di negara tersebut. Wanita dilarang terlibat dalam kegiatan olahraga. Wanita di atas 12 tahun pun tak lagi memperoleh pendidikan.
ADVERTISEMENT
Begitu pula timnas wanitanya, yang sampai kini tak mendapat kejelasan. Mereka tak diakui secara resmi oleh pemerintahan Taliban.
Bagaimana nasib para pemainnya? Kebanyakan mengungsi. Ada yang ke Denmark, ada yang ke Australia. Sama nasibnya dengan pemain cabang olahraga lain. Pemain kriket, misalnya, juga mengungsi ke Australia. Duo pesepeda, Fariba and Yulduz Hashimi, kabur ke Australia untuk melanjutkan kariernya.
Kini, empat tahun berselang, kondisi belum banyak berubah. Para pemain masih telantar di negeri orang, sementara tim nasional mereka belum bisa kembali. Para pesepak bola wanita Afghanistan terus bersuara, namun situasi politik yang rumit menghalang-halangi mimpi mereka.
Akibatnya, sejak 2021, Khalida Popal dkk melewatkan banyak kesempatan berlaga di turnamen internasional. Mereka setidaknya telah melewatkan Piala Asia 2022, Piala Dunia Wanita 2023, Olimpiade Paris 2025, dan kini melewatkan pula kualifikasi Piala Asia Wanita 2026.
ADVERTISEMENT
Dengan tak mengikuti Piala Asia, yang sekaligus menjadi kualifikasi Piala Dunia 2027, mereka otomatis melewatkan Piala Dunia yang akan digelar di Brasil itu.
Sebenarnya, FIFA bukannya tidak mendukung para pemain yang kehilangan kesempatan bermain itu. FIFA menyatakan bahwa mereka berkomitmen mendukung para pemain di luar Afghanistan, seperti menggelar training camp, memberikan staf dan pelatih untuk mendukung mereka, juga menggelar pertandingan persahabatan.
Meski begitu, tetap saja FIFA mengaku tidak bisa menjilat ludah sendiri dengan memberikan eksepsi pada peraturan yang mereka buat sendiri—bahwa untuk bermain mewakili sebuah negara sebagai tim nasional, sebuah tim perlu pengakuan dari negerinya.
Hal ini membuat para pemain kurang puas. Mereka merasa komitmen FIFA tersebut lamban dan tidak menyentuh akar masalah yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
“Para pemain ingin bermain untuk negaranya. Mereka ingin mewakili para perempuan di Afghanistan, ingin agar bisa menjadi suara dalam perjalanan panjang yang senantiasa dibungkam,” ujar Mursal Sadat, pemain Afghanistan, seperti diwartakan The Guardian, Selasa (25/3).
“Taliban mengambil tempat itu dari kami, dan tak cuma kami. Kini sudah jadi tahun ajaran keempat ketika perempuan tidak boleh pergi ke sekolah. Bagaimana kami bisa berharap Taliban mau berunding soal olahraga, kalau pendidikan saja tidak diperbolehkan buat perempuan?” tambahnya.
Khalida Popal, salah satu perempuan pertama yang bekerja di federasi sepak bola Afghanistan, mengatakan bahwa komitmen FIFA merupakan langkah positif yang bisa mengakui pengorbanan para perempuan Afghan.
“Afghanistan bisa menjadi studi kasus untuk menunjukkan bagaimana badan internasional (seperti FIFA) bisa membuat sebuah sistem agar perempuan tidak kehilangan kesempatannya,” kata Popal.
ADVERTISEMENT
Kebanyakan pemain timnas Afghanistan yang berada di Australia membentuk sebuah tim dan mengikuti liga sepak bola wanita Australia di divisi ketujuh. Mereka, dan juga para atlet wanita lain yang tersebar di Albania, Italia, Portugal, Inggris, dan Amerika Serikat terpaksa harus lebih bersabar dan menunggu.
“Bagi kami, sepak bola adalah kekuatan,” kata Popal kepada CBC. Apa pun mereka lakukan untuk tetap eksis, tak hanya sebagai pesepak bola, tapi juga sebagai perempuan. “Kalian tidak dilupakan. Kalian dilihat dan selalu didengar.”