Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Profil Octavianti Dwi Nurmalita, Sayap Garuda dari Yogyakarta
20 September 2024 13:37 WIB
·
waktu baca 5 menitADVERTISEMENT
Menyebut nama Octavianti Dwi Nurmalita, kita langsung terbayang akan sosok pemain sayap yang gesit, lincah, dan selalu memberi kejutan di setiap pertandingan. Namun, perjalanan Octa—begitu ia akrab disapa—menuju panggung besar sepak bola Indonesia tidaklah selurus yang dibayangkan.
ADVERTISEMENT
Kami, kumparanBOLANITA, berkesempatan mewawancarai pemain berusia 25 tahun tersebut secara eksklusif pada 5 Juli lalu. Berikut kisahnya.
Profil Octavianti Dwi Nurmalita
Octavianti lahir dan besar di Yogyakarta pada 25 Oktober 1998. Ia pertama kali bergabung dengan klub sepak bola satu dekade lalu di Srikandi Mataram yang terletak di kota kelahirannya.
Setelah menghabiskan waktunya di sana, Octa pindah ke Persis Solo, satu-satunya klub sepak bola wanita profesional di Indonesia. Ia bergabung pada 2022 lalu bersama dua penggawa Garuda Pertiwi yang lain, Remini Rumbewas dan Marsela Awi.
Octa bersama pemain Persis lain dikontrak selama dua tahun di sana. Namun karena liga tak kunjung berjalan, klub pun dibubarkan walau mereka masih punya sisa kontrak.
ADVERTISEMENT
Kini, Octa aktif bermain di tim sepak bola wanita Yogyakarta. Ia dan timnya baru saja berlakon di Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024.
Akan tetapi, perjalanan Octa di pesta olahraga akbar nasional itu harus kandas di fase grup. Mereka hanya finis di posisi kedua klasemen dengan dua poin—kalah unggul dari Papua Pegunungan, yang sama-sama jadi tim debutan di ajang ini.
Dari Sekian Banyak Cabor, Hatinya Ada di Sepak Bola
Darah olahraga seolah mengalir deras dalam diri Octavianti. Sebelum terjun ke sepak bola, ia lebih dulu mencoba berbagai cabang olahraga (cabor), seperti pencak silat, voli, basket, dan futsal. Namun, hanya sepak bola yang mampu membuatnya jatuh cinta sepenuhnya.
Dedikasinya terhadap “si kulit bundar” tidak sia-sia. Di usia 20 tahun, Octa mendapatkan panggilan pertamanya di Timnas Wanita Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Pertama kali ikut seleksi Asian Games 2018. Cuma di situ aku pernah gagal juga, terus masuk lagi di 2019 awal. Sampai sekarang alhamdulillah,” kata Octa kepada kumparanBOLANITA.
Saking banyaknya pertandingan yang dilakoni, ia sampai lupa berapa caps-nya dari semenjak debut di timnas hingga sekarang.
“Caps? Berapa, ya? Pokoknya dari 2019… udah enam tahun,” ucap Octa dengan alis yang bertaut.
“Waktu 2018 itu aku belum ikut di timnas, karena nggak lolos kan di situ. Terus aku ikut lagi di pra-Olympic… Round 1 di Palestina,” imbuhnya.
Selama enam tahun membela timnas, Octa merasakan manis pahitnya perjalanan sebagai pemain sepak bola. Salah satu momen yang paling ia kenang adalah ketika mencetak gol spektakuler lewat tendangan bebas pada laga uji coba melawan Bahrain, Juni 2024. Gol tersebut membawa Indonesia menang 3-2 atas tuan rumah Bahrain.
ADVERTISEMENT
“Seneng banget, dan itu dari freekick. Kayak lebih ke ‘wow’... ya bukan ke ‘wow’ ih, tapi dari diri sendiri tuh kayak, ‘Wah, ternyata aku bisa juga,’” kata Octa, masih tidak menyangka.
“Soalnya kan aku juga main di belakang, tapi ternyata aku bisa cetak gol lewat freekick itu. Enggak nyangka aja, lebih ke nggak nyangka,” sambungnya.
Berambisi Main di Luar Negeri
Tak hanya itu, Octa juga menyimpan mimpi besar untuk berkarier di luar negeri. Meski belum menetapkan negara tujuan, ia berharap bisa melangkah sedikit demi sedikit, dari negara-negara terdekat hingga mencapai Eropa, yang menjadi impian banyak pemain sepak bola.
“Negara apa ya, Kak Soalnya bagus semua sih, negara luar ya. Jadi kayak, ya udah dari yang kecil dulu, nanti bisa naik-naik lagi lagi,” ucap Octa.
ADVERTISEMENT
Untuk mewujudkan impian itu, Octa terus berlatih keras dan berdiskusi dengan rekan-rekannya yang sudah bermain di luar negeri, seperti Zahra Muzdalifah (Cerezo, Jepang), Helsya Maeisyaroh (Ryukyu, Jepang), dan Claudia Scheunemann (SV Hamburg U-17, Jerman).
“Pernah, sih (ngobrol sama pemain abroad). Mereka juga bilang, di sana yang nomor satu itu disiplin, Terus, cara mainnya juga beda dari Indonesia. Tim-tim luar itu udah di ataslah pokoknya,” ujar Octa.
“Jadi, bagus tim-tim luar tuh. Mereka alhamdulillah bisa main di sana. Seneng aja. Terus jadi pengin juga kayak mereka,” lanjutnya.
Berbeda dengan negara-negara maju seperti Jepang dan Jerman yang memiliki liga sepak bola wanita bertingkat—mulai dari Liga 1, 2, dan seterusnya—di Indonesia, liga untuk klub sepak bola wanita divisi tertinggi saat ini bahkan tidak ada dan terhenti hingga batas waktu yang ditentukan, yaitu hingga 2026.
ADVERTISEMENT
Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Namun daripada tidak berlatih sama sekali, Octa memilih untuk terus mengasah kemampuannya selama periode tanpa liga tersebut.
“Dua tahun lagi… paling tetep latihan aja. Jadi tetep jaga kondisi, karena atlet kan. Walaupun nggak ada liga juga tetep harus bisa jaga kondisi,” tutur Octa.
“Terus berharap juga timnas ada kegiatan kayak gini, TC-TC (pemusatan latihan). Maksudnya kalau nggak ada liga, ada friendly match atau ada apa gitu. Jadi kita tetep bisa ikut,” harapnya.
Sepanjang 2024, Garuda Pertiwi sudah melakoni laga uji coba dengan tiga negara, yaitu Singapura, Bahrain, dan Hong Kong. Hasilnya cukup positif, menang 5-1 vs Singapura, unggul 0-3 dan 2-3 kontra Bahrain, dan kalah dari Hong Kong dengan skor 3-2 dan 4-0.
ADVERTISEMENT
Tidak menutup kemungkinan bahwa skuad asuhan Satoru Mochizuki akan menghadapi tim-tim yang lebih kuat dan memiliki peringkat lebih tinggi dari Indonesia. Namun, Octa mengaku ingin lebih dulu melawan tim-tim yang “dekat”—dalam arti kedekatan peringkat, kekuatan, maupun wilayah.
“Dari yang dekat dulu sih, Malaysia. Karena kemarin kan kita sempet dikalahin juga sama mereka,” kata Octa.