Tak Ada yang Bisa Membunuh Mimpi Kami: Laju Timnas Palestina di Piala Asia Barat

27 Februari 2024 14:44 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Timnas wanita Palestina. Foto: Abbas Momani/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Timnas wanita Palestina. Foto: Abbas Momani/AFP
ADVERTISEMENT
Lebih dari 10 ribu anak mati di Palestina. Bom dan tembakan tentara Israel yang membunuh mereka. Lebih dari 28 ribu orang mati di Palestina. Bom dan tembakan tentara Israel adalah pembunuhnya.
ADVERTISEMENT
“Tapi tak ada yang bisa membunuh mimpi kami,” begitu kata Natali Shaheen kepada jurnalis The Palestine Chronicle, Romana Rubeo. Tidak peluru, tidak mortar, tidak pula orang-orang yang terus berjatuhan di kampung halaman.
Shaheen adalah pesepak bola wanita Palestina berumur 28 tahun. Ia berasal dari Jericho, sebuah kota di Tepi Barat, namun tinggal di Italia.
Hal tersebut umum dilakukan para atlet dari Palestina. Tinggal di dalam negeri sama saja dipenjara Israel, menjadi halangan besar untuk karier mereka. Maka kebanyakan atlet tinggal di luar wilayah yang ditunjuk Israel sebagai Palestina saat ini—mereka tinggal di wilayah Palestina yang diokupasi, mereka tinggal di wilayah “Palestina 1948”, atau mereka tinggal jauh sekalian. Seperti Shaheen.
Seorang anak Palestina yang mengungsi yang meninggalkan rumahnya akibat serangan Israel menggendong bayi yang menangis, saat mereka berlindung di tenda kamp di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan Hamas, di Rafah. Foto: Mohammed Salem/Reuters
Kini Timnas Sepak Bola Wanita Palestina tengah bertarung di Piala WAFF Wanita, atau Piala Federasi Sepak Bola Asia Barat, yang digelar di Arab Saudi.
ADVERTISEMENT
Laju mereka cukup baik. Mereka menang dua kali, yakni melawan Irak (3-0) dan Suriah (1-0) tapi kalah dari Nepal 0-4. Enam poin itu berhasil membawa mereka ke semifinal yang akan digelar nanti malam. Jalan mereka terjal, lawan yang harus mereka hadapi adalah Yordania, yang pernah juara lima kali di turnamen tersebut.
“Tidak mudah bagi kami, sebab kami tak sempat bertemu (sebelum turnamen). Kami berkumpul di Yordania dan terbang langsung ke Saudi, tempat turnamen digelar,” katanya dikutip dari The Palestine Chronicle.
Persiapan yang hampir tak ada itu tentu menghambat tim mana pun yang berkompetisi, tak terkecuali Shaheen dkk. Namun, itu bukanlah hal pertama yang mengganggu pikiran mereka.
“Kami cuma punya satu penyesalan: tak ada pemain dari Gaza yang bisa bermain bersama kami. Kami selalu bermain dengan pikiran dan harapan, bahwa mereka akan segera bermain bersama kami lagi, sesegera mungkin,” kata Shaheen.
ADVERTISEMENT
“Setiap kali masuk ke lapangan, kami tahu kami harus bertarung,” ujar Shaheen. “Kami harus selalu tampil luar biasa agar dunia tahu, bahwa perempuan Palestina masih ada, dengan semangat dan talentanya.”
Genosida yang terjadi di Gaza tak mengecilkan hati para pemain muda tersebut, tapi menyemangati mereka untuk bertarung bersama negara-negara lain. Tapi kesedihan kental terasa, menjadi mood utama di setiap interaksi mereka.
“Benar-benar sulit, dengan tragedi yang terjadi di Palestina dan apa yang harus dialami orang-orang Palestina, tak akan ada yang benar-benar bahagia di sini. Tapi ini akan mendorong kami untuk bertarung lebih keras lagi, setidaknya ada satu anak, satu anak perempuan, yang tersenyum memikirkan capaian kami,” katanya.
“Tapi buat kami, adalah satu kebanggaan untuk bisa mewakili Palestina. Kami merasa kami mewakili perempuan Palestina, dan itu bikin kami bangga.”
ADVERTISEMENT