Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kepopuleran kopi yang kian meroket pun membuat angka produksinya ikut meningkat. Menurut data dari International Coffee Organization, tiap tahunnya, produksi kopi dunia kini telah mencapai 9 juta ton.
Namun, angka produksi kopi ini bisa menurun drastis. Bahkan, sebuah laporan dari The Climate Institute pada tahun 2016 memprediksi, kalau produksi kopi dunia bisa terpangkas setengahnya pada tahun 2050. Penyebabnya; pemanasan global dan perubahan iklim.
Bukan cuma itu saja kabar buruknya. Studi terbaru yang dipublikasikan dalam Science Advances dan Global Change Biology mengungkapkan, 75 spesies kopi liar di dunia --atau setara dengan 60 persen di antaranya terancam punah. Salah satu varietas yang diperkirakan mengalami kepunahan, adalah Arabika.
Menurut Helen Briggs dari BBC News, tim di balik penelitian Global Change Biology, populasi salah satu spesies kopi yang paling populer di pasaran ini diperkirakan akan merosot hingga 50 persen pada tahun 2088.
ADVERTISEMENT
Pada dasarnya, kopi Arabika memang lebih sensitif dan rentan terserang penyakit. Arabika membutuhkan suhu 15-23,8 derajat celsius sepanjang tahun, serta musim hujan dan kemarau yang berbeda agar dapat tumbuh dengan baik.
Perubahan sekecil apa pun akan memengaruhi pertumbuhan varietas kopi ini. Misalnya, saat suhu turun, biji kopinya akan membeku, dan ketika suhu naik, kualitas kopi akan menurun. Akibatnya, hasil buah per pohon pun menurun.
Dikutip dari Forbes, beberapa petani kopi di Afrika dan Amerika Selatan mengakali dampak pemanasan global ini dengan memindahkan lahan mereka ke tempat yang lebih tinggi dan dingin. Namun, laporan dari Time mengungkapkan, hal ini tak akan cukup untuk menyelamatkan biji kopi Arabika, terutama di Ethiopia.
ADVERTISEMENT
Sebab, lebih dari 60 persen area yang telah digunakan untuk penanaman kopi tak bisa dipakai kembali pada akhir abad. Beberapa pakar iklim pun memprediksi, pada tahun 2100, lebih dari 50 persen lahan yang biasa dipakai untuk menanam kopi tak lagi bisa ditanami kembali akibat pemanasan global.
Tentunya, punahnya spesies Arabika ini dapat memicu permasalahan lainnya. Sebab, spesies tersebut diperlukan untuk membantu membiakkan penyakit baru dan varietas yang tahan terhadap iklim.
Hal ini dapat menyebabkan hasil panen turun dalam jangka panjang, dan menghambat kemampuan industri kopi untuk menyediakan kopi yang punya cita rasa serta kualitas lebih baik.
Laman Forbes melaporkan, peningkatan suhu bumi juga akan memicu lebih banyak hama dan penyakit yang menyerang perkebunan kopi. Mengingat lebih dari 80 persen petani kopi berasal dari negara berkembang, mereka akan mengalami penurunan hasil panen atau peningkatan penggunaan pestisida.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kualitas dan produksi kopi akan merana.
Apa yang bisa dilakukan untuk mencegah kepunahan spesies kopi?
Dikutip dari euronews, selayaknya masalah lingkungan lainnya, menjaga jumlah pohon hidup bisa menjadi jawaban untuk menyelamatkan kopi. Menciptakan kanopi alami di sekitar tumbuhan kopi akan membantu melindunginya dari sinar matahari berlebih, mengurangi temperatur, dan mengurangi dampak ekstrem dari perubahan iklim .
Cara ini juga akan menopang tanah yang berisiko terkena erosi akibat meningkatnya banjir, serta membantu meningkatkan keanekaragaman hayati yang penting untuk mencegah hama dan penyakit.
Sebuah studi terbaru yang dipublikasikan dalam jurnal Agriculture, Ecosystems & Environment menemukan, praktik yang disebut dengan istilah agroforestri ini bahkan dapat mencegah 'aus'-nya lahan kopi sehingga tak bisa digunakan kembali, di daerah perbukitan Brazil.
Namun sayangnya, metode ini hanyalah cara sementara untuk mengurangi dampak dari pemanasan global. Selama emisi global belum dapat diatasi secara efektif, keberadaan kopi masih terancam.
ADVERTISEMENT
"Studi kami menunjukkan bahwa perubahan besar di daerah penghasil kopi dapat terjadi dalam tiga dekade, dan memicu terjadinya konflik lahan; untuk produksi kopi dan konservasi alam," tulis sang penulis penelitian.
Kalau hal ini benar-benar terjadi, tentu akan menjadi sebuah mimpi buruk, ya.