Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sayangnya, euforia ini kerap membuat kita lupa mengontrol asupan makanan. Tak sedikit yang akhirnya kalap makan tanpa memperhatikan porsi ataupun kandungan gizi dari makanan yang dikonsumsi. Akibatnya, bukan hanya berat badan yang melonjak, tapi juga berbagai risiko kesehatan yang mulai mengintai.
Salah satu risiko yang patut diwaspadai adalah diabetes. Konsumsi berlebihan makanan tinggi lemak, santan, dan gula dapat memicu lonjakan kadar gula darah, apalagi jika tidak diimbangi dengan aktivitas fisik atau pola makan yang sehat setelahnya.
Tomoaki Watanabe, Direktur OMRON Healthcare Indonesia, mengatakan obesitas masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama yang berdampak pada jutaan orang di seluruh dunia. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), obesitas tak hanya meningkatkan risiko diabetes tipe 2 dan penyakit jantung, tetapi juga berpengaruh terhadap kesehatan tulang, sistem reproduksi, serta meningkatkan risiko beberapa jenis kanker. Bahkan, obesitas juga bisa menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Secara global, dampak obesitas terus meningkat. Saat ini, 1 dari 8 orang di dunia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa terpengaruh oleh kondisi ini. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2035, jumlah penderita obesitas dapat mencapai 1,9 miliar orang.
Di Indonesia sendiri, kondisi ini juga mengkhawatirkan. Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia, angka obesitas pada orang dewasa (usia 18+) meningkat dari 21,8% pada 2018 menjadi 23,4% pada 2023. Perempuan bahkan tercatat lebih berisiko, dengan 10,9% dikategorikan obesitas dibandingkan 6,3% pada laki-laki.
"Masalahnya, banyak orang masih menganggap obesitas hanya soal berat badan. Padahal, obesitas berkaitan dengan Indeks Massa Tubuh (BMI), yang mencakup berat dan tinggi badan, serta dalam beberapa juga mencakup lingkar pinggang," tulis Tomoaki dalam pernyataannya, Rabu (9/4).
ADVERTISEMENT
Menurut standar WHO, seseorang dikategorikan obesitas jika memiliki BMI 30 atau lebih. Sementara di Indonesia, orang berusia 18 tahun ke atas dianggap obesitas jika BMI-nya mencapai atau melebihi 27.
Peringatan Hari Obesitas Sedunia yang jatuh setiap 4 Maret seharusnya menjadi momentum refleksi, termasuk setelah masa Lebaran yang penuh godaan kuliner.
Pendekatan terhadap obesitas juga memerlukan pemahaman kesehatan yang menyeluruh. Mencapai hidup sehat tidak hanya bergantung pada satu faktor, tetapi membutuhkan perubahan gaya hidup yang lebih baik, seperti olahraga, latihan beban, pola makan seimbang, tidur yang cukup, dan manajemen stres.
Banyak orang masih menjadikan berat badan sebagai indikator utama kesehatan. Padahal, berat badan hanyalah salah satu dari banyak faktor yang menentukan kondisi tubuh seseorang.
Berat badan memang mudah diukur dan dipantau hanya dengan timbangan, sehingga sering dijadikan acuan utama. Berbeda dengan indikator kesehatan lain, seperti kadar kolesterol atau tekanan darah, yang memerlukan alat medis khusus, berat badan dapat diketahui dengan cepat tanpa prosedur yang rumit.
ADVERTISEMENT
Kesehatan metabolik, seperti resistensi insulin atau kolesterol tinggi, juga bisa dialami oleh orang dengan berat badan ‘ideal’. Begitu juga dengan kesehatan mental, stres, dan kebahagiaan tidak akan terlihat hanya dari angka timbangan. Oleh karena itu, pola hidup sehat jauh lebih penting dibanding sekadar mengincar tubuh langsing.
Pendekatan holistik yang menyeluruh adalah kunci. Nutrisi seimbang, aktivitas fisik yang disesuaikan, tidur cukup, dan pemantauan kesehatan rutin dapat membantu seseorang menjaga tubuh dan pikiran tetap bugar. Latihan kekuatan, fleksibilitas, dan kardio tak hanya meningkatkan kebugaran, tapi juga memperbaiki suasana hati dan kualitas tidur.
Menurut Tomoaki, memantau kesehatan secara akurat sekaligus mencegah obesitas bisa dilakukan dengan rutin mengecek komposisi tubuh menggunakan alat yang tepat, seperti Body Composition Monitor (BCM) dari OMRON.
ADVERTISEMENT
Alat ini tidak hanya menampilkan angka berat badan, tetapi juga memberikan informasi menyeluruh mengenai persentase lemak tubuh, massa otot, lemak visceral, hingga tingkat metabolisme basal. Dengan data yang lebih lengkap dan mendalam ini, pengguna bisa memahami kondisi tubuhnya secara lebih baik dan menyusun target kebugaran yang sesuai dengan kebutuhan.
"Teknologi ini membantu pengguna memahami kondisi tubuhnya secara lebih menyeluruh dan menetapkan target kebugaran yang realistis," katanya.
BCM juga membantu pengguna mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai kondisi tubuh dengan mengukur berbagai parameter penting. Di antaranya adalah persentase lemak tubuh yang berguna untuk mengidentifikasi kelebihan lemak, faktor risiko utama berbagai penyakit kronis; massa otot rangka untuk mengetahui tingkat kebugaran dan kekuatan tubuh; lemak visceral, yaitu lemak di sekitar organ dalam yang lebih berbahaya dibandingkan lemak di bawah kulit (subkutan) karena dapat meningkatkan risiko penyakit jantung dan diabetes; serta tingkat metabolisme basal (BMR) yang menunjukkan jumlah energi yang digunakan tubuh saat istirahat, sehingga membantu dalam pengelolaan pola makan dan kebugaran.
ADVERTISEMENT
Dirancang untuk penggunaan di rumah, BCM menawarkan hasil yang akurat dan praktis. Alat ini menggunakan teknologi Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) untuk menganalisis komposisi tubuh secara lebih presisi. Tak hanya itu, BCM juga dapat menyimpan data dari beberapa pengguna, sehingga cocok digunakan oleh seluruh anggota keluarga.
"Dengan alat ini, pengguna dapat menetapkan tujuan kebugaran berdasarkan komposisi tubuh yang sebenarnya dan termotivasi untuk menjalani gaya hidup lebih sehat melalui pemantauan rutin," ujar dia.