Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bir 0 Persen Alkohol Bisakah Disertifikasi Halal? Ini Jawaban LPPOM MUI
29 Juli 2022 15:05 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Mengutip rilis yang kumparan terima (29/7), menanggapi beredarnya bir nol persen (0%) alkohol yang diklaim halal, Ketua Komisi Fatwa (KF) MUI, Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA., menegaskan bahwa produk tersebut tak dapat dilakukan sertifikasi halal.
Lebih lanjut dalam pernyataan resmi itu, pada dasarnya sertifikasi halal di Indonesia memiliki acuan tersendiri kepada perusahaan yang akan mengajukan untuk produk yang akan didaftarkan.
Hasanuddin kemudian menjelaskan bahwa pihaknya tidak akan memproses sertifikasi halal untuk produk tasyabbuh atau menyerupai dengan produk yang diharamkan dalam Islam. Artinya, meskipun diklaim tanpa alkohol tetap saja tak bisa dinyatakan halal karena menggunakan nama yang mengarah pada produk haram; yakni bir yang dalam istilah Islam disebut juga dikenal dengan khamr.
ADVERTISEMENT
Dalam program Bincang Halal di akun Instagram resmi LPPOM MUI beberapa waktu lalu, Ade Suherman, Manajer Halal Auditor Management LPPOM MUI turut menambahkan, “MUI telah mengatur penggunaan nama produk tertentu yang boleh dan tidak diperbolehkan. Aturan nama produk tersebut termaktub dalam Fatwa MUI No. 4 Tahun 2003 tentang tidak diperbolehkannya mengkonsumsi dan menggunakan nama yang mengarah pada hal yang haram, sehingga produk yang dihasilkan tetap tidak dapat disertifikasi.”
Selain fatwa yang telah dikeluarkan, penamaan produk bir nol persen alkohol menurut SK Direktur LPPOM MUI juga tidak dapat disertifikasi karena meliputi nama produk yang mengandung nama minuman keras. Di kelompok ini, termasuk wine non-alkohol, sampanye, rootbeer, es krim rasa rhum raisin, dan bir 0% alkohol.
ADVERTISEMENT
“Tujuan utama para ulama akan kehalalan adalah ingin menenteramkan umat, maka ada upaya pencegahan tertentu atau ‘preventive action’ supaya kita tidak berada dalam kondisi tasyabbuh. Adapun persepsi tasyabbuh, yang menjerumuskan nilai halal menyerupai haram nantinya, akan membuat konsumen tidak dapat membedakan mana yang halal dan haram dalam produk serupa, sehingga menyebabkan misleading atau mispersepsi jangka panjang,” ujar Ade.
Selanjutnya, LPPOM MUI menegaskan konsep halal bukan hanya sekadar zatnya yang halal dan bebas najis, akan tetapi terkait pula dengan ketentuan nama produk tersebut. Sehingga diharapkan para konsumen muslim bisa lebih dengan cermat memilih makanan maupun minuman untuk dikonsumsi yang tidak mengarah pada keharaman.