Food Bite: Rendang, Kekayaan Kuliner Minangkabau yang Kini Mendunia

10 Oktober 2019 18:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Berbicara mengenai makanan khas Indonesia, rasanya belum lengkap bila tak membahas rendang. Hidangan khas Minang ini memang salah satu hidangan kebanggaan, tak hanya di Sumatera Barat, tapi juga merambah hingga ke daerah lain.
ADVERTISEMENT
Cita rasa rendang yang gurih, asin, manis, pedas, dan berempah sudah sangat akrab di lidah kita. Rendang bisa kita jumpai dengan mudah di rumah makan padang, hingga di acara spesial seperti hajatan atau momen Lebaran.
Mungkin dulu rendang jadi hidangan yang cukup aneh bagi turis mancanegara. Apalagi dengan tampilannya yang berwarna gelap, rasa yang pekat, dan lumuran bumbu sangat tebal.
Namun perlahan tapi pasti, rendang mulai dikenal oleh pelancong dari luar negeri. Apalagi setelah beberapa waktu lalu sempat dinobatkan sebagai peringkat pertama makanan terlezat di dunia versi CNN. Bisa dibilang, rendang punya andil dalam memperkenalkan makanan Indonesia ke kancah internasional.
Rendang tak hanya dikenal karena kelezatannya semata. Lebih dari itu, banyak makna dan cerita yang terkandung di dalam sepiring kelezatan rendang. Bahkan jadi simbol budaya yang tak terpisahkan dari masyarakat Minangkabau.
ADVERTISEMENT
Makanan bersejarah dengan teknik masak yang rumit
Rendang Uni Elok Foto: Mela Nurhidayati/kumparan
Berdasarkan jurnal Rendang: The treasure of Minangkabau tahun 2017, rendang pertama kali ditemukan di Sumatera Barat pada abad ke-8. Cita rasa bumbu dan rempah yang kuat diyakini terpengaruh oleh cita rasa kuliner India.
Terlihat dari rempah-rempah rendang yang mirip dengan bahan utama pembuatan gulai khas India. Seperti cabai, kunyit, serai, bawang, kapulaga, dan santan.
Dulunya, Sumatera sempat jadi pusat perdagangan dunia sehingga banyak pedagang rempah dari India yang singgah, tak terkecuali di Sumatera Barat. Tak hanya berdagang, lama-kelamaan semakin banyak pedagang yang tinggal dan menetap di Sumatera.
Sejalan dengan hal itu, pengaruh makanan India pun makin kuat terasa di Tanah Minang. Ada tiga daerah yang menjadi titik awal penyebaran rendang di Sumatera Barat yang dikenal dengan nama luhak nan tigo atau 'tiga gunung'. Tiga daerah tersebut adalah Luhak Agam, Luhak Payakumbuh, dan Luhak Tanah Data.
ADVERTISEMENT
Sedangkan rendang berasal dari kata merandang atau randang, yang artinya 'lambat'. Kata lambat ini merujuk pada proses pemasakan daging dan aneka bumbunya yang bisa memakan waktu berjam-jam.
Teknik merandang ini bisa memakan waktu sekitar 4-8 jam tergantung banyaknya daging yang akan diolah. Proses yang lama dan rumit ini akhirnya menghasilkan tekstur daging yang lembut, berbumbu, dan rapuh saat digigit.
"Rendang itu sebetulnya nama proses memasak, proses memasak yang melibatkan santan, daging, dan bumbu-bumbu dalam jangka waktu yang cukup lama. Sehingga terjadi perubahan santan menjadi suatu massa padat berbumbu sedap yang disebut rendang," ujar Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Gadjah Mada, Prof Dr. Ir Murdijati Gardjito.
ADVERTISEMENT
Simbol status sosial masyarakat Minangkabau
Rumah Makan Surya Bendungan Hilir Foto: Retno Wulandhari Handini/kumparan
Tidak seperti sekarang, tak sembarang orang boleh memasak rendang sebagai hidangan sehari-hari. Dulu hanya para bangsawan dan saudagar terpandang yang bisa menyajikan hidangan dari daging sapi berbumbu ini.
"Rendang daging sapi ini memiliki nilai sosial yang bukan main, karena apa? Karena besarnya irisan daging yang dimasak menjadi rendang itu menjadi simbol status sosial seseorang. Semakin besar irisan daging yang dimasak menjadi rendang, itu makin tinggi status sosial seseorang," jelas Profesor Murdijati.
Rendang juga jadi hidangan yang wajib disajikan dalam pesta adat. Menariknya, rendang justru tidak boleh dimakan hingga pesta usai. Dalam penjelasan Guru Besar Ilmu dan Teknologi Pangan UGM tersebut, sajian rendang menjadi semacam pajangan untuk menunjukkan status sosial kepada para tamu.
ADVERTISEMENT
"Jadi rendang ini dalam suatu hajatan masyarakat Minangkabau sering ditempatkan dalam posisi yang berbeda dengan masakan lain. Apalagi kalau irisannya besar, itu tidak bisa disentuh selama masa berpesta karena digunakan untuk menunjukkan itu tadi, status sosial seseorang," tambahnya.
Selain itu, komposisi bahan pembuat rendang punya makna tersendiri sebagai upaya penghormatan terhadap tetua adat hingga pemuka agama.
Ada empat bahan utama, pertama adalah dagiang atau daging sapi yang melambangkan niniak mamak atau sebutan pemimpin suku, kedua adalah karambia atau kelapa perlambang cadiak pandai atau kaum intelektual. Sisanya ada lado atau cabai perlambang alim ulama, dan pemasak atau bumbu yang berarti simbol masyarakat Minangkabau.
Makanan penyelamat yang punya banyak varian
Rendang jamur Foto: Dok: Totally Rendang
Seiring dengan perkembangan zaman, rendang pun mulai bisa dinikmati seluruh elemen masyarakat. Apalagi proses memasak daging dan rempah berjam-jam membuat rendang bisa disimpan dalam waktu lama.
ADVERTISEMENT
Setelah rendang mulai akrab di lidah masyarakat Sumatera Barat, hidangan ini kerap dijadikan bekal. Terutama bagi para lelaki yang tengah merantau atau bepergian dalam waktu lama.
Varian rendang pun lama-kelamaan mulai mengalami perkembangan. Dari yang tadinya hanya terbuat dari daging sapi atau ayam, kini berkembang menjadi puluhan jenis yang tak kalah terkenal di Sumatera, bahkan Indonesia.
"Seluruhnya sampai saat ini dikenal 19 macam rendang," terang Profesor Murdijati.
Beberapa rendang yang dikenal di antaranya adalah rendang lokan dari kerang asal Pariaman, rendang belut dari Batusangkar, rendang itik dan jariang atau jengkol asal Bukittinggi, hingga rendang tumbuak dari ketan yang terkenal dari Payakumbuh.
Selain itu, dikenal pula kalio atau rendang setengah jadi, karena memang masih mengandung kuah yang encer dan cukup banyak.
ADVERTISEMENT
Itulah kisah soal rendang. Kini makanan nikmat tersebut jadi garda depan promosi kuliner Indonesia ke mancanegara. Kehadirannya selalu sukses membuat lidah dunia jadi tertuju dengan kekayaan rempah Indonesia. Amboi, nikmatnya!