Pentingnya Pangan Lokal Sebagai Pembentuk Selera Bangsa

16 Oktober 2019 18:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi jagung. Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi jagung. Foto: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah
ADVERTISEMENT
Indonesia punya luas lebih dari 5 juta km2, membuatnya punya banyak kekayaan bahan pangan yang beragam. Kita punya sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral yang begitu kaya.
ADVERTISEMENT
Misalnya saja pilihan karbohidrat di Indonesia. Tak hanya nasi putih, kita punya aneka umbi-umbian yang tak kalah bikin kenyang.
Dilansir Pengantar Pusaka Cita Rasa Indonesia karya Prof. Dr. Ir. Murdijati-Gardjito, pada tahun 1940, Bung Karno pernah mengungkap bahwa dalam tahun tersebut, rata-rata makanan Indonesia untuk rakyatnya adalah 86 kg beras, 39 kg jagung, 162 kg ubi kayu, dan 30 kg ubi jalar.
Pedagang mengemas beras ke wadah kertas untuk pembeli, di kios beras Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Selasa (15/10/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Selang 14 tahun, konsumsi beras meningkat, hingga mencapai 53,5 persen. Setelah 33 tahun berselang, angka konsumsi beras mencapai 81,1 persen. Sumber pangan lain ini terus tergerus hingga pada 1999, konsumsi ubi kayu hanya tinggal 8,33 persen. Ditambah meningkatnya konsumsi terigu, pangan non beras pun kian tergantikan.
Sebenarnya pada tahun 1967, Indonesia telah melakukan upaya diversifikasi pangan secara regional. Saat itu, dalam Mustika Rasa, telah dibagi jenis bahan pangan Indonesia
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti makan ikan dan umbi-umbian. Foto: Fitra Andrianto/kumparan
Ada padi-padian, umbi-umbian, kacang-kacangan, kelapa, buah-buahan, sayuran, daging, air susu, telur, ikan, bumbu, dan minuman. Jenis itu punya aneka makanan dan minuman di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Pentingnya pangan lokal
Dalam kurun 1950-1970, ada inisiasi untuk membuat pola konsumsi tanpa ketergantungan beras. Pada akhirnya, beras menjadi pangan utama, namun ubi kayu, jagung, dan jenis umbi lain masih berperan dalam mengurangi kesenjangan konsumsi beras.
Setelah Mustika Rasa muncul, dalam buku itu dijelaskan bahwa pemerintah telah berupaya menujukkan bahan pangan pokok selain beras yang bisa dijadikan makanan pokok. Misalnya saja jagung, ubi, dan umbi-umbian.
Ubi ungu. Foto: Pixabay
Tentu saja ini perlu dilakukan untuk menekan tingkat konsumsi beras. Fokus besarnya adalah memenuhi kebutuhan perut masyarakat Indonesia dengan pangan yang beragam. Bila angka konsumsi beras bisa ditekan, maka impor beras pun bisa ditekan.
Hal ini selaras dengan konsep makan sehat dengan gizi seimbang. Bahwasanya keragaman pangan sangatlah penting untuk membuat kandungan gizi dalam satu porsi makan kita jadi seimbang. Idealnya, setengah dari piring terdiri dari sayur dan buah, seperempatnya diisi dengan protein (ikan, ayam, daging, dan lainnya), kemudian seperempat lainnya terdiri dari beras atau biji-bijian.
Sepiring Sajian Penuh Gizi Foto: Anggoro Fajar Purnomo/kumparan
Prof. Dr. Nuri Andarwulan, Direktur Southeast Asian Food & Agricultural Science & Technology (SEAFEST) mengungkap bahwa aneka jenis pangan juga bikin kita terhindar dari penyakit. Ia mengungkap bahwa tubuh kita mampu mentolerir racun yang rendah. Namun kalau kita makan satu jenis makanan terus menerus, peluang mendapat risiko bahan pangan jadi lebih tinggi.
ADVERTISEMENT
“Asupan gizi harus seimbang yang didapat dari beragam jenis pangan. Ini bisa menjauhkan kita dari risiko makanan tertentu. Risiko itu datang dari peluang,” jelasnya.
Saat keberagaman pangan mulai dirasa penting, makanan tradisional kala itu jadi kaya rasa. Penggunaan berbagai jenis pangan, bikin wajah kuliner Indonesia jadi kian berwarna.
Sayangnya, dominasi beras masih sangat terasa. “Rasanya kurang, kalau belum makan nasi”, seakan menumpulkan fungsi pangan lokal pengganti beras.
Pangan lokal kita juga harus bersaing dengan paparan budaya asing dalam dunia kuliner di Indonesia. Serba cepat, praktis, dan mengenyangkan. Rasanya ketiganya cukup bertolakbelakang dengan gaya masak orang Indonesia. Misalnya, rendang yang butuh waktu berjam-jam; dan lainnya.
Padahal pangan lokal merupakan pembentuk dari ciri khas makanan di satu daerah.
ADVERTISEMENT
Begini runutannya: pengertian pangan lokal mengacu pada bahan pangan yang diproduksi di daerah di mana masyarakat tinggal. Pangan lokal ini diolah dengan cara dikuasai oleh masyarakat setempat, untuk diolah sesuai dengan cita rasa yang disukai.
Bila kondisi ini berlanjut hingga lintas generasi, maka terciptalah cita rasa khas suatu daerah. Maka itulah wajah dan selera makanan tradisional di tempat tersebut.
Ketika minat akan pangan lokal ini kian berkurang, maka wajah kuliner tradisional dari daerah tersebut kian samar.
Gaya makan sehat bisa jadi celah pangan lokal kembali digemari
Seiring dengan tingginya minat terhadap gaya hidup sehat, sebenarnya pangan lokal Indonesia berpotensi mencuri perhatian kembali. Kalau kamu perhatikan, sudah banyak yang mengganti nasi putih dengan ubi. Salad pun banyak yang pakai ubi ungu, alternatif lain dari labu kuning (pumpkin).
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa alasan kalau pangan lokal menarik perhatian para pegiat gaya hidup sehat. Sebuah studi oleh Kathleen Frith dari Harvard School of Public Health mengungkap bahwa pangan lokal punya nutrisi yang lebih baik. Pasalnya, mereka tidak melewati jalan yang panjang di truk maupun di ruang penyimpanan. Makin singkat distribusinya, maka potensi hilangnya nutrisi dan vitamin pun semakin berkurang.
Petani mengumpulkan jagung yang baru saja dipanennya di Desa Tuva, Kecamatan Gumbasa, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Rabu (14/8). Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Hal ini diperkuat dari hasil para peneliti di Montclair State University. Mereka mengungkap bahwa vitamin c dari brokoli berkurang hingga setengahnya, ketika diimpor dari negara lain daripada diambil dari tanah lokal.
Nah, ketika gaya hidup kembali ke lokal kian digandrungi, kita sebagai orang Indonesia patut bangga. Tanah kita, tanah yang subur; dengan pilihan pangan yang begitu kaya. Bila bahannya beragam, maka kulinernya pun jadi bervariasi. Enggak heran kalau sudah banyak penyuka makan dari berbagai negara yang kini melirik kuliner kita.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Pangan Sedunia. Yuk, kembali ke pangan lokal!