Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2

ADVERTISEMENT
Suasana atau cita rasa, mana yang biasa kamu jadikan pertimbangan untuk berkunjung ke kafe maupun coffee shop? Tak bisa dipungkiri, dua elemen tersebut sejatinya saling berhubungan satu sama lain.
ADVERTISEMENT
Mau ke tempat yang kopinya enak tapi suasananya kurang menarik, pasti akan membuatmu mengurungkan niat untuk datang ke sana. Tempatnya menarik dan instagenik, tapi kopinya enggak nikmat? Apa gunanya?
Apalagi, rata-rata orang Indonesia lebih suka untuk dine in di coffee shop, bercengkrama santai sambil menyesap secangkir kopi. Beberapa orang juga mampir ke coffee shop karena tertarik akan suasananya.
Nah, sebenarnya, suasana di coffee shop tercipta dari berbagai elemen. Tak semata dari konsep dan arsitekturnya saja, tapi juga musik yang dimainkan.
Menurut Riri Mestika, musisi sekaligus pemilik Kopi Lima Detik, musik harus jadi pendukung suasana dari tempat tersebut. Semuanya harus saling bersinergi. Misalnya, apakah kita harus memilih musik yang minimalis untuk tempat yang bernuansa clean, tapi juga harus menjaganya agar tak terkesan terlalu dingin.
Apalagi, musik adalah sebuah representasi dari brand coffee shop, dan menjadi ambience yang berkaitan dengan citra yang ingin diciptakan.
ADVERTISEMENT
"Paling enggak ada dinamisnya, dan itu bisa kita buat, once kita experience. Kembali lagi ke kebutuhan owner-nya," ungkapnya dalam sesi talkshow Kopi dan Suasana, pada acara Indonesia Coffee Event 2020 di SMESCO Building, Rabu, (13/2).
Bagaimana suasana yang diterapkan pada coffee shop, secara langsung juga akan menggaet segmentasi konsumen yang spesifik. Misalnya, coffee shop yang mengalunkan lagu-lagu upbeat, akan mengundang pelanggan yang tujuannya nongkrong. Beda lagi dengan coffee shop yang ditujukan untuk bekerja, alunan musiknya akan lebih tenang.
Beda kebiasaan ngopi, beda pula suasana dan konsep yang diusung
Di Korea atau Australia, kebiasaan minum kopinya memang sangat kontras dengan Indonesia. Di sana, orang-orangnya terbiasa membeli kopi untuk dibawa pergi --alias to go. Sehingga, coffee shop yang ada di negara tersebut rata-rata luas ruangannya kecil, dengan seat yang terbatas.
ADVERTISEMENT
Tapi, menurut Hendra Irwanto, arsitek sekaligus pemilik kedai kopi Titik Temu, pengaplikasian konsep ini di Indonesia membutuhkan waktu. Kapasitas seating yang cukup luas masih sangat diperlukan. Sebab, budaya minum kopi to go masih tak sehebat di sana.
Kalau di negara-negara maju, penjualan kopi to go bisa berkali-kali lipat ketimbang dine-in, sehingga tak masalah kalau seating-nya tak banyak.
Tapi, menariknya, fenomena ini justru menciptakan sebuah kolaborasi. Coffee shop tak cuma jadi tempat untuk ngopi, tapi juga menjadi ruang bertemu berbagai bidang.
Marcello Sidharta, arsitek yang kerap mengerjakan proyek coffee shop juga mengungkapkan, peluang ke depan bagi kedai kopi untuk jadi kolaborasi sangatlah besar. Ia mencontohkan, salah satu property group ada yang membuat coffee shop untuk soft selling.
ADVERTISEMENT
"Jadi kita membuat coffee shop di sebuah mall, lalu didekorasinya dimasukkan dealing terkait properti yang akan dijual," pungkasnya.
Ia juga memprediksi, ke depannya akan makin banyak usaha-usaha lain yang menggandeng coffee shop untuk bekerja sama.