120 Tahun Bioskop RI: Lahir di Era Kolonial, Mati Suri di Masa Pandemi, Lalu?

14 Juni 2020 15:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Poster film zaman dulu di Jakarta. Foto: Adek Berry/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Poster film zaman dulu di Jakarta. Foto: Adek Berry/AFP
Pandemi membuat industri bioskop di Indonesia mati suri. Sudah tiga bulan bioskop berhenti beroperasi demi menghindari penyebaran virus corona di tempat mereka. Alhasil, sebagian orang rindu dengan sensasi nonton film di layar lebar. Terlebih, selama ini nonton bioskop merupakan salah satu hiburan yang paling digemari.
Rasa kangen itu wajar mengingat sejarah panjang bioskop di Indonesia. Ia sudah bersama kita selama 120 tahun! (Oke, kita bahkan belum ada saat itu). Bioskop pertama kali diperkenalkan di nusantara oleh orang-orang Belanda tahun 1900 silam.
Dalam iklan yang dimuat di surat kabar Bintang Betawi edisi 30 November 1900, disebutkan bahwa De Nederlandsch Bioscope Maatschappij adalah bioskop yang pertama kali diperkenalkan di nusantara. Bioskop itu menyuguhkan tontonan berupa gambar hidup dari peristiwa yang terjadi di Eropa dan Afrika Selatan. Semacam film dokumenter.
Bioskop tersebut kemudian menjadi buah bibir di warung-warung kopi, pasar, dan tempat-tempat berkumpul lainnya.
“Orang mencoba membayangkan bagaimana kiranya benda yang akan dipertontonkan itu, yang konon mampu memperlihatkan dengan nyata segala kejadian yang belum lama terjadi di Eropa dan Afrika Selatan,” tulis Heru Erwantoro dalam esainya, “Bioskop Keliling: Peranannya dalam Memasyarakatkan Film Nasional dari Masa ke Masa”, yang dimuat di jurnal penelitian sejarah dan budaya Patanjala.
Bioskop Metropole zaman dahulu. Foto: Wikimedia Commons
De Nederlandsch Bioscope Maatschappij—yang kelak disebut The Royal Bioscope—mulai dibuka pada 5 Desember 1900 oleh seorang Belanda bernama Tuan Scharwz. Ia bertempat di sebuah rumah di Tanah Abang Kebon Jahe.
Harga tiket dijual beragam, tergantung kelas masing-masing. Tarif untuk kelas kelas satu adalah dua gulden, kelas dua satu gulden, dan kelas tiga setengah gulden. Film dokumenter tanpa suara alias film bisu diputar mulai pukul 18.30 malam.
Mula-mula, film itu mendapat sambutan meriah dari masyarakat. Namun, pamor The Royal Bioscope redup dengan cepat. Masyarakat mulai bosan dengan film bisu yang tak punya alur cerita. Apalagi harga tiketnya untuk zaman itu bisa dibilang cukup mahal.
Tontonan di bioskop itu pun sebetulnya tak beda jauh dengan gambar hidup yang kala itu sering diputar Tuan Talbot—orang Prancis—berpindah-pindah di Pasar Gambir, Stasiun Kota, atau Lokasari Mangga Besar. Kala itu, Tuan Talbot beserta rekan-rekannya mempertontonkan film dalam konstruksi berdinding bambu dan beratap seng di lapangan terbuka. Pertunjukan berpindah dari satu tempat ke tempat lain macam bioskop keliling.
Maka, jumlah penonton The Royal Bioscope berkurang drastis sehingga perusahaan itu mencari akal. Mereka menurunkan harga tiket untuk meningkatkan animo publik. Minat masyarakat pun demi sedikit terkerek. Lebih-lebih, ketika itu menonton bioskop termasuk hal bergengsi, terutama karena ini jenis hiburan baru dan jadi konsumsi orang berduit.
“Dengan nonton bioskop, para inlander (pribumi) merasa naik harga dirinya karena bisa duduk bersama dengan para sinyo dan noni-noni yang pada waktu itu mempunyai kedudukan yang paling tinggi dalam strata sosial masyarakat Hindia Belanda,” catat Haris Jauhari dalam buku Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia.
Bioskop Keliling
Sampai Belanda terdepak dari Indonesia oleh tentara Jepang, bioskop hanya menjangkau masyarakat di kota-kota besar. Menurut laporan Nichi’ei, perusahaan film Jepang, pada awal 1942 terdapat setidaknya 52 bioskop di Indonesia yang semuanya terpusat di kota besar, yaitu 13 di Jakarta, 12 di Surabaya, 7 di Semarang, 7 di Bandung, 6 di Malang, 4 di Surakarta, dan 3 di Yogyakarta.
Jumlah itu dirasa Jepang tak memadai. Saat itu Jepang membutuhkan bioskop sebagai media propaganda kepada masyarakat Indonesia. Untuk itu Pemerintah Pendudukan Jepang menggelar pemutaran film langsung ke tengah masyarakat. Kegiatan itu di kemudian hari dikenal dengan istilah bioskop keliling, dan rakyat Indonesia lebih sering menyebutnya layar tancap.
Bioskop keliling zaman pendudukan Jepang. Foto: Nesia Qurrota/kumparan/repro buku Kuasa Jepang di Jawa.
Upaya membikin bioskop keliling—menurut sejarawan Jepang Aiko Kurasawa dalam bukunya, Kuasa Jepang di Jawa—bermula pada awal Agustus 1942 dan berkembang luas setelah pembentukan Jawa Eihai, sebuah lembaga pendistribusian film.
Pada Desember 1943, Jawa Eihai telah membentuk lima pangkalan operasional bioskop keliling, yaitu di Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, dan Malang. Beberapa pangkalan dioperasikan oleh orang Jepang, dan sisanya oleh staf Indonesia.
“Mereka berkeliling dari satu desa ke desa lain dengan membawa proyektor film, generator, dan film di atas sebuah truk. Masing-masing tim terdiri dari seorang staf Jawa Eihai (biasanya operator), seorang pegawai Sendenbu (badan propaganda) setempat, seorang penerjemah, dan seorang sopir truk,” tulis Kurasawa.
“Selama lima bulan antara Juli sampai November 1943, sebuah film berjudul ‘Hawaii Malay Oki Kaisen’ (Pertempuran Laut di Hawaii dan Malaya) diputar oleh tim keliling di lebih dari 220 tempat. Pertunjukan di beberapa tempat penting (bahkan) disertai oleh Sukarno.”
Sukarno, pada masa pendudukan Jepang, bersedia mendukung Jepang dengan imbalan janji kemerdekaan bagi Indonesia. Sebagai tokoh besar, ia merupakan jaminan suksesnya propaganda Jepang—membebaskan Asia dari penjajah—kepada rakyat Indonesia.
Bioskop keliling zaman pendudukan Jepang. Foto: Nesia Qurrota/kumparan/repro buku Kuasa Jepang di Jawa.
Film menawarkan kesempatan yang jarang bagi penduduk desa untuk beroleh hiburan di tengah kehidupan sulit hidup. Itu sebabnya saat tersebar kabar bioskop keliling akan datang, rakyat tak sabar menanti. Pada hari yang dijadwalkan, mereka tak segan-segan berjalan berkilo-kilo ke tempat yang telah ditetapkan sekalipun didera lelah dan lapar.
Di era pendudukan Jepang, banyak orang setidaknya pernah menyaksikan bioskop keliling itu satu kali, dan kebanyakan adalah pengalaman pertama mereka menonton film.
Setelah kepergian Jepang, praktik bioskop keliling atau layar tancap mulai redup. Selain karena tak ada pengusaha yang mau susah payah masuk desa, hiburan jelas bukan prioritas bagi Indonesia yang saat itu baru merdeka.
Layar Tancap
Baru di awal 1970-an praktik layar tancap kembali menggeliat. Saat itu produser dan pengusaha film berusaha mencari pasar baru, yaitu masyarakat perdesaan yang belum memiliki kaset (casette tape), kaset video (video tape), dan listrik.
Sesuai namanya, layar tancap kala itu berupa pancang-pancang bambu yang ditancapkan di tanah dengan bentangan layar di tengahnya.
“Layar tancap (waktu itu) juga dikenal oleh masyarakat luas dengan istilah ‘misbar’ (gerimis bubar) karena jika pertunjukan diganggu gerimis atau hujan, pengunjung langsung bubar,” tulis Heru.
Menyiapkan layar tancap di Jakarta. Foto: Beawiharta/Reuters
Layar tancap umumnya berlangsung mulai pukul 20.00. Jika pengunjung ramai dan cuaca baik, pertunjukan berlangsung hingga jam 12 malam. Lewat tengah malam, di beberapa tempat biasanya diputar film-film semierotis.
“Film-film yang tampil tanpa jeda tidak selalu membuat pengunjung tak melakukan aktivitas lain. Beberapa anak kecil tampak bermain, pemuda-pemudi saling menggoda, beberapa pasangan berpacaran, ramai kaki lima, atau bahkan orang-orang yang berjudi. Judi koplok dan judi roler adalah yang paling populer menyemarakkan setiap pertunjukan layar tancap,” tulis Dimas Jayasrana dan Ardi Yunanto dalam artikel Layar Tancep: Proyeksi Sebuah Pesta.
Untuk bisa menikmati layar tancap, masyarakat membayar tiket seharga Rp 200—300. Berkat layar tancap, warga desa bisa menikmati hiburan segar yang sebelumnya hanya kabar burung.
Adakalanya layar tancap diputar dalam pesta pernikahan atau khitanan. Tamu undangan pun bisa menonton film secara cuma-cuma.
“Biasanya hanya orang kaya yang mampu menggelar layar tancap untuk hajatan pernikahan atau khitan. Tapi begitu digelar, bisa ramai sekali. Banyak orang dari luar desa datang hanya untuk menonton layar tancap, nonton filmnya Rhoma Irama,” kenang Indi, seorang warga Kediri, bercerita soal pengalamannya nonton layar tancap tahun 1980-an kepada kumparan.
“Apalagi saat itu belum banyak hiburan bagi orang desa; TV masih jarang, bisa dihitung berapa yang punya TV di satu desa,” imbuhnya.
Bioskop Kendara
Di tengah booming layar tancap, konglomerat bidang properti, Ciputra, membuat gebrakan dengan membangun bioskop kendara atau drive-in cinema. Ia terinspirasi dengan apa yang ia lihat saat berada di New York, Amerika Serikat. Di sana, penonton menyaksikan film di ruang terbuka dari mobil mereka masing-masing.
Usai membangun Ancol pada 1966, Ciputra berambisi menjadikannya pusat hiburan bagi warga Jakarta, termasuk dengan menghadirkan drive-in cinema di dalamnya.
Ketika itu, mengutip Historia, perbaikan ekonomi semasa Orde Baru melahirkan kelompok menengah baru yang cukup mampu membeli mobil pribadi. Itu sebabnya kehadiran bioskop kendara dirasa Ciputra berada pada momen yang tepat.
“Hal ini didorong dengan pembukaan beberapa perusahaan assembling mobil di sekitar Jakarta, terutama merek Jepang seperti Toyota, Honda, Mitsubishi, Suzuki, Mazda, dan Subaru yang merajai jalanan di 1970-an, di samping mobil merek Amerika dan Eropa yang jumlahnya lebih sedikit,” tulis Firman Lubis dalam bukunya, Jakarta 1970-an.
Pengunjung menonton film di parkiran pusat perbelanjaan di Cikarang, Bekasi, Rabu (3/6). Foto: Fakhri Hermansyah/ANTARA
Drive-in cinema kemudian dibangun di atas lahan lima hektare—mampu menampung 850 mobil. Kapasitas tersebut membuat bioskop kendara Ancol menjadi yang terbesar di Asia Tenggara, bahkan juga mengalahkan bioskop kendara di Sydney, Australia, yang hanya dapat menampung 700 mobil.
Di bioskop itu, semua jenis mobil boleh masuk, kecuali pikap dan truk. Tiket masuk bukan dihitung per mobil, melainkan per orang yang ada dalam mobil. Untuk orang dewasa, tiket dibanderol seharga Rp 500, sedangkan anak-anak Rp 300 saja.
Salah satu keunggulan bioskop ini adalah penonton dapat memesan makanan dengan tetap duduk di dalam mobil tanpa perlu repot-repot keluar—ya, persis konsep drive-in cinema yang kini kembali mengemuka usai dunia dihantam pandemi.
“Walaupun bioskop ini pada zamannya (dulu) mendapat sambutan yang meriah, namun kesan yang ditinggalkan tidak terlalu baik karena bioskop drive-in ini dikenal sebagai tempat perbuatan asusila sehingga kemudian ditutup,” tulis Heru.
Kurang lebih 20 tahun drive-in cinema menarik perhatian orang-orang bermobil. Bioskop tersebut menghasilkan pendapatan Rp 40 juta per tahun bagi Ciputra, tapi pemasukan itu masih tergolong rendah karena tak sebanding dengan luas tanah yang disediakan.
Awal 1990-an, tren bioskop kendara padam. Ciputra menutupnya dan mengubahnya menjadi pusat belanja busana Cahaya Jeans Centre seiring mengentalnya kegemaran masyarakat akan shopping.
Pada waktu yang sama, televisi mulai hadir di rumah-rumah penduduk sehingga menjadi pilihan hiburan baru. Oleh sebab itu, “Posisi bioskop sebagai primadona dunia hiburan terancam jika tidak mengadaptasi segmentasi pasar, yaitu menyediakan fasilitas dan kenyamanan modern, serta merespons secara cepat tren konsumen,” catat Thomas Barker dalam Indonesian Cinema after the New Order: Going Mainstream.
Beberapa pengusaha bioskop saat itu memang tidak beradaptasi dengan tuntutan zaman sehingga ditinggalkan penonton.
Tapi, lain halnya dengan grup Cinema 21 yang dipimpin sepupu Presiden Soeharto, Sudwikatmono. Cinema 21 pada awal 1990-an melakukan gebrakan sehingga dalam kurun waktu lima tahun bisa mendominasi pasar bioskop di Indonesia dan mendirikan ratusan bioskop di kota-kota besar.
Cinema XXI. Foto: Shutterstock
Grup Cinema 21 menjalankan bioskop di pusat-pusat kota dengan menempatkannya di dalam pusat perbelanjaan atau lokasi ikonik seperti Djakarta Theater dan Megaria—kini Metropole. Hal ini selaras dengan kebiasaan orang Indonesia yang mulai hobi berbelanja atau jalan-jalan ke mal.
Alhasil, strategi itu membuat bioskop-bioskop Cinema 21 mampu merebut pasar dengan telak—orang-orang tak keberatan mampir nonton di bioskop yang nyaman usai berbelanja. Setelah bertahun-tahun menjadi satu-satunya pemain di industri bioskop, baru pada 2006 muncul Blitz Megaplex (kini CGV Cinemas) sebagai alternatif bioskop lainnya.
Bioskop terus bertransformasi sepanjang 120 kehadirannya di Indonesia. Lalu bagaimana di masa pandemi ini? Bagaimana cara mereka beradaptasi? Yang jelas, pelan tapi pasti drive-in cinema seperti yang pernah ada di tahun 1970-an kini mulai bermunculan.
Dan seperti terjadi di sepanjang sejarah manusia: tren masa lalu yang berulang bukanlah hal baru.
***
Simak panduan lengkap corona di Pusat Informasi Corona.
Yuk, bantu donasi untuk mengatasi dampak wabah corona.