Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Di Amerika Serikat dan Eropa, film animasi sudah ada sejak awal abad ke-20. Disney adalah salah satu rumah produksi yang sejak 1920 terus mempertahankan inovasi di film-film animasi sampai sekarang.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan teknologi di dunia, sineas Indonesia pun mulai meminati film animasi. Buktinya, ada lebih dari 10 film animasi yang tercipta dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Untuk turut memeriahkan industri film animasi di Indonesia, vokalis sekaligus pemain bas gitar band Endank Soekamti, Erix Soekamti , mendirikan DOES University. Saat ini, DOES University sudah memiliki berbagai jurusan, namun animasi menjadi bidang yang pertama kali dikembangkan.
kumparan pun berbincang dengan Erix terkait DOES University . Ia pun menceritakan apa alasan utamanya mendirikan DOES University yang memberi pembelajaran terkait seni animasi.
"Ya, sebenarnya aku ingin membuat sekolah yang sesuai minat dan bakat, tanpa kurikulum. Dulu, aku 'kan sekolah kejuruan musik, di mana aku punya passion di dunia musik. Tapi, ternyata sekolah musik itu tidak bisa membuat minat dan bakatku tersampaikan dengan baik. Sekolah yang aku pikir bisa membuat aku ahli di satu bidang, malah berbalik gitu," ungkap Erix.
ADVERTISEMENT
"Ya, di Indonesia 'kan seperti itu. Ada pelajaran wajib yang kamunya diuji juga di situ. Yang jahatnya lagi, kalau kamu di tes matematika, misalnya, kamu enggak bisa bisa ngerjain, nanti kamu akan dianggap bodoh. Padahal 'kan, tunggu dulu, coba ujian musik gitu loh. Hasilnya lain, 'kan?" sambungnya.
Erix menjelaskan bahwa faktor perkembangan teknologi menarik perhatiannya untuk terlebih dahulu membuat dan mengembangkan jurusan animasi di DOES University. Gilanya, Erix tidak mengharuskan siswa dan siswi DOES University untuk membayar biaya sekolah.
Padahal, untuk membuat film animasi tentu dibutuhkan perangkat komputer yang sangat memadai. Lantas, apa alasan Erix melakukan hal itu?
"Ya, kenapa enggak? Karena 'kan pada dasarnya kita ini enggak bisnis sekolah, bisnis aku 'kan di musik. Di sini tuh enggak ada unsur bisnisnya sama sekali, pure untuk pendidikan. Tapi, syaratnya para murid ini harus mau dikarantina selama satu setengah tahun. Itu aja komitmennya," tuturnya.
Erix pun menceritakan bahwa saat ini DOES University sudah berhasil mencetak lulusan yang mumpuni. Beberapa bahkan sudah melebarkan sayap ke salah satu rumah produksi besar yang pernah membuat film animasi populer di Indonesia, Meraih Mimpi.
ADVERTISEMENT
"Rata-rata, sih, ada yang bikin studio. Tapi, ada juga yang kerja di Infinite Studios, Batam, ada yang di Surabaya. Semua tersalurkan, Alhamdulillah. Tapi 'kan, ya, yang masuk sini juga 'kan pilihan semua. Jadi, semua sudah sesuai dengan apa yang dia suka, punya bakat, ada restu orang tua. Bedanya itu aja sama SMK. 'Kan kalau SMK ada yang coba-coba, ada yang serius, tapi sekolahnya enggak mendukung. Kalau ini 'kan kita memang siap menyediakan yang dibutuhkan," kata Erix.
Saat ini DOES University sudah punya empat lokasi yang dijadikan kampus dengan fasilitas belajar mengajar yang mumpuni. Siswa pun tidak perlu mengkhawatirkan biaya sekolah dan bisa berjuang keras meraih prestasi yang sangat luar biasa di dunia profesional.
ADVERTISEMENT
Melihat hal itu, tentu orang akan berpikir kalau DOES University sudah sangat sempurna dan tidak masalah, bukan? Tidak! Ada beragam problematika yang harus dihadapi oleh Erix dan tim saat menjalani DOES University.
Mari berkenalan dengan Trio, sosok yang saat ini menjabat sebagai kepala sekolah DOES University. Ia pun menjelaskan apa masalah paling pelik yang hingga saat ini masih dirasakan oleh DOES University.
"Masalah minatnya, sih, bagus. Untuk generasi ke-7 kita siapkan ruang untuk 70 orang, tapi yang mendaftar itu lebih dari 600 orang. Masalah sekarang itu lebih ke tools, sih, ya. Karena, ketika anak-anak Indonesia bisa bikin sebuah karya animasi yang bagus, mereka akan kesusahan di proses render-nya. Untuk mengatasi hal itu, biasanya untuk di lokal (Indonesia), hampir tidak ada. Jadi, harus ke luar (negeri) via online," ujar Trio.
ADVERTISEMENT
Erix pun menambahkan bahwa ada lagi masalah lain yang saat ini juga menjadi polemik. Secara general, masalah itu terkait dengan kurang terbukanya ruang bagi sekolah-sekolah di Indonesia untuk saling berkolaborasi.
"Ya, DOES (University) ini 'kan kurang komplit, ya. Kita enggak ada kelas director. Padahal, untuk membuat film animasi yang bagus itu 'kan butuh director atau penulis. Harapanku, sih, bisa ada kolaborasi dengan sekolah atau komunitas, untuk membuat karya bareng yang bagus lagi dan banyak," ucapnya.
Masalah lainnya adalah, DOES University tidak punya cukup ruang untuk menampung ratusan remaja Indonesia yang berminat di bidang animasi. Karena itu, Trio berharap, pengiat pendidikan bisa membuat gerakan-gerakan serupa yang tentunya akan banyak membantu.
"Karena banyak sekali keluhan di luar sana yang mengatakan, kalau sekolah formal yang punya jurusan animasi itu sedikit sekali. Kalau pun ada, pasti swasta dan berbayar cukup mahal," kata Trio.
ADVERTISEMENT
Namun, Erix tak ingin terlalu banyak berekspektasi. Ia pun berniat untuk terus mengembangkan DOES University agar lebih banyak lagi minat dan bakat remaja Indonesia yang tersampaikan.
"Tahun depan itu, kita mau siap-siap untuk membuat DOES (University) khusus difabel. Ya, untuk semua jurusan yang saat ini udah ada, animasi atau programming, dan lain-lain. pokoknya yang berhubungan dengan IT. Karena 'kan, di bidang ini enggak mengunggulkan fisik," ujarnya.
Meski selama ini dikenal sebagai ruang pendidikan animasi, siswa dan siswi dari generasi ke-6 DOES University sudah mencoba untuk membuat film pendek profesional. Film itu diberi judul Padar.
Namun, sama seperti apa yang telah dikatakan oleh Trio, para siswa saat ini terkendala dengan keterbatasan alat produksi profesional. Erix pun mengajak serta banyak orang di Indonesia untuk turut membantu perjuangan para siswa dengan cara berdonasi.
ADVERTISEMENT
"Mereka mau buat film yang durasinya itu sekitar 6 menit. Tapi, yang viral kemarin itu 'kan cuma semenit, karena alat kita mampunya cuma segitu. Kita satu menit itu aja tiga minggu render-nya, komputer enggak mati 24 jam," kata Erix.
"Untuk merealisasikannya, ya, kemaren kita sudah upload invoice di Instagram. Kita buka donasi dan kita putuskan untuk melakukan render di luar negeri. Karena, kalau di sini, untuk me-render 6 menit itu komputer butuh waktu 7.000 jam, tapi di sana, cuma 2 jam kelar," imbuhnya.