Fajar Nugros Bicara Perjalanan Kariernya sebagai Sutradara

14 Februari 2017 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Fajar Nugros (Foto: Ridho Robby/kumparan)
​​Sosok Fajar Nugros cukup produktif di dunia perfilman Indonesia. Beberapa film yang ia garap antara lain 'Cinta Brontosaurus' adaptasi buku Raditya Dika, 'Refrain' yang menampilkan Maudy Ayunda dan Afgan, hingga 'Cinta Selamanya' yang dibintangi Atiqah Hasiholan dan Rio Dewanto. Kebanyakan karya Nugros drama percintaan, tapi dia semakin terbuka untuk menjelajahi tema lain seperti di 'Jakarta Undercover'.
ADVERTISEMENT
Pada suatu siang di kawasan Jati Padang, Jakarta Selatan, Fajar bertandang ke kantor kumparan. Kami berbincang di Common Room, sebuah ruangan tempat kami bersantai dan bertukar pikiran mengenai ide-ide kreatif. Namun, karena dirinya 'lemah' ketika bersentuhan dengan karpet dan bantal, ia mengajak kami keluar dan memilih untuk berbincang di bawah rimbunnya pohon-pohon yang menjulang di depan kantor.
Fajar berasal dari Yogyakarta. Sejak duduk di bangku SD, ia telah menjuarai beberapa lomba, seperti lomba azan, kaligrafi, dan mengarang. Ya, Fajar suka mengarang.
"Aku seneng ngayal, ngarang. Yang jadi korban membaca tuh, adekku, karena kita berangkat ke sekolah bareng. Pas udah gede, aku sering ngasih cerpenku ke Bernas, surat kabar harian di Yogya. Pas SMA dan kuliah, aku ikut lembaga pers supaya bisa bikin cerpen dan cerita bersambung," ungkap sutradara berkacamata ini. 
ADVERTISEMENT
Seraya membetulkan letak kacamatanya, Fajar melanjutkan bahwa keinginannya menjadi sutradara terbesit ketika ia menonton film pendek milik Ifa Isfansyah yang berjudul 'Air Mata Surga'. Sejak itu, ia berpikir untuk membuat film pendek meski masih menggunakan handycam.
Fajar pun belajar bersama komunitas film di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Ia sempat membuat 5-6 film dokumenter dan mengikuti Eagle Awards di Metro TV. Meski demikian, ia merasa tidak percaya diri karena orang-orang dari generasinya, seperti Yosep Anggi Noen, dia nilai memiliki standar tinggi.
"Anjrit, belajar bikin film sebagus itu, dari siapa, ya? Nah, aku inget kakak kelasku mas Hanung Bramantyo. Akhirnya, aku belajar sama dia," kata pria 37 tahun itu.
Akhirnya, Fajar hijrah ke Jakarta mengikuti Hanung. Meski mendalami film, Fajar tetap menulis cerita pendek. Bahkan, ia memiliki 300 cerita pendek di akun media sosialnya kala itu, Multiply, yang pada akhirnya beberapa cerita pendeknya ia jadikan film.
ADVERTISEMENT
"Ada beberapa cerpen yang bagus dan dijadiin buku kumpulan cerpen. Kayak, 'I Only Sleep with Supermodel' dan 'I Didn't Lose My Heart, I Sold It on eBay'. Terus, aku bikin cerita bersambung judulnya 'Adriana' sama 'Bunuh Diri Massal' di tahun 2008. Karena belum ada kesempatan buat bikin film, jadi ditulis dulu, karena nggak tahu kapan kepakainya cerpen-cerpen itu. Nah, film 'Queen Bee' itu dari cerpen. 'Adriana' dari cerita bersambung, dan 'Cerita di Saku Celana' dari cerpenku," jelas Fajar.
​​Fajar mengaku mendapat inspirasi dari mana saja. Kebanyakan dari bengong-bengong di kala menunggu bertemu Hanung. Ia juga tidak selalu menggunakan laptop karena pada saat itu, laptop belum banyak.
"Aku berkhayal dulu sampai ceritanya lengkap. Terus, aku tulis di kertas rokok, tissue, terus aku kantongin. Begitu utuh, baru ditulis di laptop atau ke warnet di Tendean dan nulis di situ, terus diunggah ke Multiply. Kalau belum selesai, dikirim ke email sendiri," kenangnya sambil tersenyum.
ADVERTISEMENT
​​Fajar jelas mendapat banyak pengetahuan dari Hanung. Mungkin lebih tepatnya, Fajar dapat kehidupan di film dari Hanung. Hanung mengajarkannya untuk mempelajari teknis sebagai seorang sutradara dan pelajaran-pelajaran lainnya yang tidak di dapat selama mengemban pendidikan di bangku sekolah.
"Mas Hanung itu, punya driver dan punya banyak asisten. Dan aku dapat banyak pelajaran dari mas Hanung kalau supirnya nggak ada. Nah, aku suka jadi supirnya mas Hanung karena kalau semobil sama dia, aku dan dia bisa bercerita apa saja mengenai film. Misalnya, mobilku berantakan. Dia bilang tuh, aku harus rapi karena sutradara itu rapi dan harus detail," ujarnya.
Hingga kini, Fajar sudah memiliki lebih dari 10 film yang ia sutradarai. Meski begitu, ia sempat mengalami kejadian pahit di awal kariernya sebagai sutradara.
ADVERTISEMENT
"Pas 'Queen Bee' rilis di tahun 2009, film itu nggak begitu sukses. Padahal, budget-nya lumayan dan kru-krunya berkaliber kelas berat. Mas Hanung bilang, aku belum siap secara mental dan pengetahuan. Akhirnya, aku balik jadi asisten dia. Waktu itu, mas Hanung bikin film 'Sang Pencerah' dan '? (Tanda Tanya)'. Tiga tahun kemudian, aku kembali dengan film 'Cinta di Saku Celana," terangnya.
Awalnya, 'Cinta di Saku Celana' adalah film FTV. Kala itu, produser Chand Parvez Servia memuji cerpennya dan mengajaknya untuk membuat FTV. Menurut Fajar, Chand Parvez Servia adalah seorang produser film. Karena itu, Fajar menjadikan keadaan itu sebagai ajang unjuk gigi agar kemampuannya dilihat, mulai dari mengubah treatment filmnya hingga mengajak aktor dan aktris yang ia kenal dari Hanung, untuk membantunya menyampaikan apa yang ia mau.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, film itu dipertimbangkan untuk rilis sebagai film bioskop. Sejak itulah, tawaran-tawaran untuk membesut berbagai film menghampirinya. Kembali membetulkan kacamatanya, Fajar mengaku bahwa tidak semua tawaran film ia ambil karena tidak sesuai dengannya.
"Kadang aku meng-underestimate diriku. Waktu mendapat tawaran untuk 'Cinta Brontosaurus', misalnya. Aku sempat nolak sampai tiga kali. Alasannya, aku orangnya nggak lucu dan nggak bisa bikin komedi. Tapi, produsernya percaya dan akhirnya aku ambil tawaran itu. Aku cari sisi lucu sebuah scene, aku pikirin. Kisah pertamanya kan, nggak melulu komedi. Sampai akhirnya, meledaklah film itu," cerita Fajar.
Fajar ​​​​meregangkan kedua tangannya dan bersandar di tembok yang warnanya sudah menguning. Ia melanjutkan, film itu indah dan bersyukur menjadi sutradara untuk film-film yang pernah ia besut.
ADVERTISEMENT
"Bagaimana sebuah film bisa menghibur orang, bisa menyampaikan sesuatu kepada penonton, bagaimana efeknya​ membuat orang jadi mengerti secara massal, bagaimana sebuah film bisa merefleksikan keadaan sosial masyarakat. Indah, kan? Jadi, orang bisa merasa relate dengan ceritanya dan itu yang diajari mas Hanung," kata Fajar dengan mantap.
Hanung mengajari Fajar bahwa menjadi sutradara itu sebenarnya mempelajari kehidupan. Seorang sutradara tidak akan pernah bisa membuat film tentang patah hati kalau tidak pernah patah hati. Mempelajarinya bisa lewat riset, tapi membutuhkan waktu bertahun-tahun.
"Makanya aku tidak pernah mengerjakan film yang aku tidak tahu secara pengalaman. Kayak film '7 Hari 2 Jam', itu film tentang pernikahan. Itu nggak bakal bisa aku bikin kalau aku belum nikah.​ 'Refrain' juga nggak bisa aku kerjain kalau aku belum pernah jadi anak SMA," ujarnya sambil tersenyum. 
ADVERTISEMENT
Simak obrolan selanjutnya di sini.