Hanya Kaesang yang Bisa Membuat Gibran Tertawa

31 Agustus 2017 14:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gibran dan Kaesang ketika di kumparan (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gibran dan Kaesang ketika di kumparan (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
ADVERTISEMENT
"Bisa enggak?" tanya Mbak Nanda-Ananda Teresia- padaku ketika kami sedang ngobrol santai di halaman kantor.
ADVERTISEMENT
Aku berdecak pelan dan menghembuskan napas panjang. Ajakan Mbak Nanda untuk pergi ke Solo di akhir pekan sukses membuatku galau. Aku rindu kota itu--kota dengan sejuta angkringan murah yang bikin aku mules semalaman. Selain rindu, ada sebuah pekerjaan yang harus dilakukan di sana--bertemu dengan putra-putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep.
"Nanti kamu yang wawancara," ujar Mbak Nanda.
Rasanya seperti tersedak tembakau. Aku? Wawancara Gibran dan Kaesang? Mosok? Enggak yakin, ah. Tapi, wajah Mbak Nanda terlihat sangat yakin.
Keesokan harinya, hari Kamis--setelah memikirkan tawaran tersebut berulang kali--aku mengiyakan ajakan Mbak Nanda. Sabtu siang, sekitar pukul 15.00 WIB, aku dan Mbak Nanda bertolak ke Kota Batik menggunakan Batik Air dari Bandara Halim Perdanakusuma.
ADVERTISEMENT
Kami tiba di sana sekitar pukul 16.00 WIB. Rasanya, saya baru tidur selama 5 menit. Kami naik taksi menuju hotel, check in, dan langsung pergi lagi untuk makan malam.
Pilihan Mbak Nanda malam itu tepat. Nasi liwet adalah tujuan utama kami. Kami pun makan nasi liwet di dekat Soto Triwindu di Jalan Teuku Umar. Enak kok, rasanya. Buktinya, Mbak Nanda saja sampai memutuskan untuk gagal diet.
Selesai makan, kami pergi ke Pasar Triwindu. Kala itu sedang ada pasar malam. Jadilah kami menyusuri jalan itu sambil sesekali melihat corak-corak pakaian yang dijual. Sampai akhirnya, rasa ingin memiliki kami muncul, membuat isi dompet kami berkurang malam itu.
"Nis, Bintang, nih," kata Mbak Nanda sambil memperhatikan ponsel pintarnya. "Dia udah di jalan nih, satu jam lagi nyampe."
ADVERTISEMENT
Tim kumparan di CFD Solo (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Tim kumparan di CFD Solo (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
"Kita nongkrong aja sambil tungguin dia," kataku sambil menatap sekeliling. Ada sebuah restoran yang menyediakan berbagai jenis hidangan wedangan, namanya Cafe Tiga Tjeret. Jadilah kami bertandang ke sana, membuatku mengambil satu porsi besar nasi bandeng, misoa, sate kulit, sate udang, dan sate-sate lainnya. Totalnya sekitar Rp 43.000,-.
Videografer kami, Bintang, pun tiba. Dengan wajah semringah, dia menyambangi dan langsung membicarakan tentang Gibran dan Kaesang. Sejenak, saya lupa tujuan utama kami ke Solo. Saya menghela napas, dan mendengarkan arahan yang diberikan Mbak Nanda saat bertemu dengan Gibran dan Kaesang esok hari. Dengan sepotong besar misoa di dalam mulut, tentunya.
Alarm handphone-ku berbunyi. Bukan bunyi alarm sebenarnya, melainkan lagu berjudul '3rd Measurement In C' milik Saosin. Menjadikan lagu tersebut sebagai alarm kelihatannya tepat, karena Mbak Nanda yang seharusnya bangun 30 menit setelahku jadi bangun duluan.
ADVERTISEMENT
Kami meninggalkan hotel pukul 06.00 WIB menuju Jalan Slamet Riyadi. Sesuai dengan arahan Mbak Nanda semalam, Gibran dan Kaesang akan berada di acara Car Free Day di Gladak, Jalan Slamet Riyadi, pukul 07.00 WIB. Di sana, Gibran akan meluncurkan martabak tipis kering atau tipker terbarunya, dan Kaesang akan meluncurkan kaos Sang Javas.
Setelah sempat salah lokasi hingga menggunakan becak untuk mengejar waktu, kami tiba di tempat kakak-beradik itu meluncurkan produk terbaru mereka. Terima kasih kepada bapak yang telah mengayuh becak dengan susah payah sejauh 3 kilometer, dengan aku dan Bintang atau gerombolan si berat di atasnya. Terima kasih atas urat-urat kaki Anda yang mencuat pagi itu.
Ketika aku, Bintang, dan Mbak Nanda tiba, Gibran dan Kaesang sedang duduk bersama. Setelah menunggu sebentar sembari bermain dengan sekor kuda delman di dekat situ, giliran kami untuk berbincang dengan putra-putra Presiden pun tiba.
ADVERTISEMENT
Sinar matahari semakin menyengat, membuat keringat membasahi wajahku dan kulitku terbakar, terutama di bagian hidung. "Demi Gibran dan Kaesang, Anissa. Sabar," ucapku dalam hati.
Aku pun berbincang lebih dulu dengan Gibran. Agak terkejut melihat sosok Gibran sebenarnya, dikarenakan tubuhnya yang kini terlihat lebih berisi. Sebagai anak Presiden, Gibran bisa dibilang terlihat santai dengan mengenakan kaus hitam polos dan celana pendek saja. Terbaik, Mas Gibran!
Aku dan Gibran pun mulai berbincang. Arahan dari Mbak Nanda pun terekam jelas di kepalaku, hanya saja aku sedikit terbata saat mengucapkan beberapa pertanyaan. Maklum, di depanku ada anak Presiden, paling tidak musti behave dan sopan. Deg-degan juga, wajarlah.
Impresi pertamaku saat berbincang dengan Gibran adalah, orang ini judes. Pelit ngomong. Cuek. Dan sulit tertawa. Tapi entah kenapa, aku yakin kalau ini bukanlah Gibran yang sebenarnya. Aku paham, susana CFD yang ramai akan orang, warga yang tak henti-hentinya minta berfoto bersama, sinar matahari yang panasnya sungguh menyakitkan, dan juga suara pawai yang membahana tentu bisa mengubah mood seseorang.
ADVERTISEMENT
Gibran berulang-kali melihat jam tangannya. Tidak heran, karena pukul 09.00 WIB, acara CFD sudah selesai. Akhirnya, dengan wawancara seadaanya, obrolanku dengan Gibran selesai. Dan ada satu hal yang sulit untuk aku terima dari perbincangan kami. Aku gagal membuat seorang Gibran Rakabuming tertawa.
Tidak, Gibran tidak menolak jika seseorang mengajaknya bercanda. Hanya saja, dia memang seperti itu--dingin. Singkatnya pertemuan kami juga membuatku sulit untuk mencari celah dalam menemukan bahan bercanda yang tepat, begitu juga dengan noise di area tersebut. Oke, enggak apa-apa, mungkin lain kali.
Kaesang justru sebaliknya. Putra bungsu Pak Jokowi ini lebih humble, murah senyum, dan banyak cakap. Tubuhnya yang tinggi dan berotot pun menjadi nilai plus. Setidaknya, dari pandanganku.
ADVERTISEMENT
Begitu mudah bersenda gurau dengan Kaesang. Bahkan, aku sempat berpikir bahwa candaanku melewati batas. Lucu 'kan, kalau tiba-tiba aku ditabok Paspampres karena memperlakukan putra bungsu Presiden dengan tidak sopan? Tapi, pikiran Kaesang terbuka dengan hal-hal seperti itu dan itu membuatku nyaman untuk bercanda dengannya.
Kejadian tak terduga pun terjadi. Kamera yang digunakan untuk mengabadikan momenku dan Kaesang mendadak mati karena overheat. Memang saat itu, CFD bagai neraka bocor, panas sekali. Akhirnya, momen kami diabadikan menggunakan ponsel pintar. Ya, mau enggak mau.
Motor-motor pun berlalu-lalang di sekitar kami. Obroloan kami pun terhenti. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 09.25 WIB. Akhirnya, aku dan timku pun pergi dari CFD, begitu juga Gibran berserta anak dan istrinya, dan Kaesang. Sebelumnya, ada perbincangan yang menarik antara timku dan Gibran.
ADVERTISEMENT
"Coba cek dulu videonya, udah bagus belum? Kalau belum nanti ketemu lagi jam 3 sore di kantorku," kata Gibran.
Kami pun pergi ke Soto Triwindu untuk sarapan seraya memikirkan tawaran Gibran. Jika kami ambil, kami harus melakukan jadwal ulang penerbangan kami ke Jakarta dan memesan kamar hotel sampai besok pagi. Dan hal yang menakjubkan pun terjadi. Kaesang kembali menawarkan untuk wawancara lagi nanti sore, bersama Gibran tentunya.
"Luar biasa, Sis Nanda! Emang deh, ring 1 Presiden enggak ada matinya," puji aku dan Bintang.
"Apa sih...," balas Mbak Nanda dengan mesam-mesem.
kumparan ngobrol bareng Kaesang dan Gibran (Foto: Ananda Theresia/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
kumparan ngobrol bareng Kaesang dan Gibran (Foto: Ananda Theresia/kumparan)
Gibran dan Kaesang datang sekitar pukul 15.10 WIB. Sebelumnya, kami sudah lebih dulu tiba sekitar 30 menit sebelum mereka datang. Kami bertemu di kantornya Gibran, yaitu Inspira Creative Lab yang lokasinya dekat hotel kami di kawasan Adi Sucipto.
ADVERTISEMENT
Gibran dan Kaesang sudah berganti pakaian. Gibran kini mengenakan kemeja dan Kaesang dengan 'wah'-nya mengenakan kaus putih polos. Mereka pun bersedia untuk berbincang sekali lagi dengan kami dalam satu frame.
Aku terhenyak melihat kakak-beradik ini. Meski Gibran tidak banyak bicara dan Kaesang seakan mewakilinya, hubungan mereka sangat enak dilihat dan saling melengkapi. Suasana pun berubah cair, dan Gibran--secara mengejutkan--mulai banyak bicara dan membuat Kaesang tertawa.
Di mataku, Gibran terlihat seperti seorang intelek saat itu. Guyonannya berbobot dan menyentil beberapa hal terkait kepemimpinan bapaknya. Tapi, ia mengemasnya dengan cerdas. Berbeda dengan Kaesang yang saat itu lebih terlihat sebagai motor penggerak sentilan lucu sang kakak. Tapi, di tengah-tengah percakapan, keduanya sama lucunya.
ADVERTISEMENT
Aku paham. Melihat Gibran dan Kaesang diwawancara dalam satu frame membuatku menghadirkan beberapa kesimpulan untuk diriku sendiri. Gibran sulit untuk dibuat tertawa karena ia menjaga jarak dengan orang yang tidak ia kenal. Ya, seperti insecure, tiba-tiba ada orang tidak dikenal bertanya-tanya soal kehidupannya dan lain-lain. Iya, aku paham.
Dan zona amannya adalah orang-orang terdekatnya. Kaesang, adalah salah satunya. Makanya saat ia berbincang dengan Kaesang, ia terlihat lebih santai dan lepas. Dari situ aku melihat bahwa tidak semua orang bisa memperlihatkan diri mereka pada orang lain. Even sisi palsu mereka sekali pun. Even anak Presiden sekali pun.
Dan aku yang menatap interaksi mereka saat itu, merasa beruntung menjadi saksi kehidupan mereka di balik kamera.
ADVERTISEMENT