Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Hilangnya Encore di Hari Kedua Konser Coldplay di Singapura
3 April 2017 21:32 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
"Yah, kalau orang baik mah, ada saja rezekinya, mbak," ucap Teguh, supir Grab Car yang membawa saya ke Bandara internasional Soekarno-Hatta dengan selamat pada Sabtu (1/4).
ADVERTISEMENT
Saya gagal tidur pagi itu. Teguh terus bicara untuk menghilangkan rasa kantuknya, membuat saya ikut terjaga.
Saya pun turun di terminal 2D bandara Soekarno-Hatta sekitar pukul 04.42 WIB. Suasana bandara cukup ramai, dan saya jadi terburu-buru menuju check-in counter Lion Air. Ternyata, counter check-in mereka belum beroperasi.
Para staf menampakkan diri sekitar pukul 05.00 WIB. Padahal, waktu keberangkatan saya adalah 06.15 WIB. Wah, kacau, pikir saya.
Dengan tergesa-bergesa, saya dan penumpang lainnya berjalan menuju Gate D4. Seorang pria di samping saya terlihat mengenakan kaus Coldplay 'A Head Full of Dreams Tour'. Ya, tujuan kami sama.
Konser Coldplay di Singapura adalah alasan kenapa saya tidak tidur malam itu. Pulang malam dan flight pagi bukanlah kombinasi yang tepat untuk saya, jadi saya putuskan untuk tidak tidur sama sekali daripada bablas.
ADVERTISEMENT
Saya pun tiba di Gate D4 dan langsung masuk ke pesawat. Untunglah, pesawat kami berangkat tepat waktu.
Saya tiba di bandara internasional Changi sekitar pukul 09.55 waktu setempat. Setelah melewati imigrasi dengan mudah dan mengambil koper saya di bagasi, saya langsung berjalan menuju MRT.
Saya menginap di sebuah hostel di Jalan Besar, dekat MRT Farrer Park. Dari Changi, butuh waktu kurang lebih satu jam untuk mencapai ke lokasi konser. Dengan wajah kusut, saya mencoba untuk mengingat wajah Chris Martin, sang vokalis Coldplay, agar semangat. Dan ya, tentu saja, gagal.
Saya tiba di hostel sekitar pukul 12.11 waktu setempat. Payah memang, jalan begitu saja, rasanya melelahkan dan kaki terasa pegal. Berbeda dengan Singapura yang mengandalkan MRT dan membuat orang mau berjalan lebih jauh, ojeg online lebih diandalkan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Saya pun berselancar di internet dan mencari berita-berita tentang konser Coldplay di Singapura sambil menunggu check-in pukul 14.00. Selesai check-in, saya mandi, dan langsung bertolak ke Singapore Sports Hub atau Singapore National Stadium.
Awalnya, saya dan rekan saya di kumparan (kumparan.com) janjian untuk bertemu di MRT Dhoby Ghaut. Ternyata, dia masih di Bugis dan terjebak hujan. Alhasil, kami sepakat untuk bertemu langsung di Stadium.
Antrean sudah mengular sejak kami datang sekitar pukul 17.00 waktu setempat. Di saat yang sama, hujan turun lumayan deras, membuat beberapa penonton rela mengantre dengan jas hujan dibawah siraman air.
Kami pun mengelilingi Singapore National Stadium sebanyak dua kali. Gila, besar sekali tempat ini! Selain cukup membuat ngos-ngosan, tiap sisi Stadium juga penuh akan sekelompok manusia yang dengan sabarnya menanti konser pukul 20.00 malam nanti.
ADVERTISEMENT
Saya sempat berpikir, sebesar itukah efek band rock asal Inggris yang satu itu pada diri mereka yang hadir sore hari ini? Apakah mereka semua tahu lagu-lagu Coldplay? Apakah mereka tahu judul album pertama Coldplay? Apakah mereka tahu siapa nama drummer Coldplay? Apakah mereka fans gadungan atau benar-benar fans sejati?
Konser Rhoma Irama di Indonesia, misalnya. Tidak semua orang tahu lagu-lagu lawas raja gitar yang satu itu. Yang penting, semua orang berjoged sesuai irama yang didendangkan bang Haji Rhoma. Malah kadang-kadang, bendera Slank muncul di permukaan.
Pertanyaan saya terjawab. Sekitar pukul 20.05 waktu setempat, Chris Martin, Guy Berryman, Jonny Buckland, dan Will Champion menampakkan diri. Lagu-lagu andalan mereka pun dimainkan, seperti 'A Head Full of Dreams', 'Adventure of A Lifetime', 'Yellow', 'Fix You', 'Sky Full of Stars', hingga lagu terbaru mereka dengan The Chainsmokers, 'Something Just Like This'.
ADVERTISEMENT
Iringan suara penonton yang turut bernyanyi menggema ke tiap sudut stadium. Lantai di bawah saya juga bergetar karena banyaknya orang yang bergerak dengan heboh di tempat mereka berpijak. Jujur, saya sempat parno, takut ada sesuatu yang ambruk.
Tapi, ini hebat. Hebat sekali. Saya nyaris tidak percaya dengan apa yang saya lihat dan rasakan. Semua orang seperti berada di gelombang yang sama. Saya bisa merasakan mereka, kebahagiaan mereka, air mata mereka, dan besarnya cinta mereka untuk Coldplay.
Lagu 'Up&Up' pun dibawakan. Saya mengintip daftar setlist yang saya pegang dan kemungkinan besar, lagu tersebut adalah lagu terakhir sebelum encore.
'Up&Up' selesai, Chris Martin dan kawan-kawan membungkuk tiga kali, mengucapkan terima kasih dan "Aku cinta kalian," lalu menghilang.
ADVERTISEMENT
No encore? pikir saya dalam hati. Saya masih duduk dengan mata berbinar menatap panggung, berharap Coldplay akan muncul lagi dan membius penonton dengan lagu terakhir.
Tiba-tiba, lampu stadium menyala. Sontak, penonton langsung bergerak ke luar stadium. Dan saya? Masih duduk menganga dan menginginkan mereka kembali.
Benar saja, tidak ada encore di konser terakhir mereka di Singapura. Saya mendengus, sedikit kecewa dengan penutupan konser yang super heboh itu.
Encore adalah momen penting sebuah konser. Saya pikir, saat sebuah band diteriaki 'We want more!' meski penampilan mereka telah usai, itu adalah sebuah kehormatan.
Kalau saya jadi salah satu anggota band yang diperlakukan seperti itu, saya tentu merasa bangga. Saya punya penggemar setia yang mencintai band saya. Dan tampil untuk sebuah lagu terakhir sebelum kami benar-benar pamit pasti mengundang sorakan heboh yang menyakiti teliga. Dan sorakan itu, adalah bukti kebahagiaan seorang penggemar.
ADVERTISEMENT
Coldplay kelihatannya sudah cukup banyak menerima cinta dari para fans-nya. Dan juga, malam itu mereka membawakan sekitar 20 lagu. Jadi, tidak adanya encore mungkin bisa dibilang wajar. Tapi, tidak bagi saya.
Alhasil, saya coba ambil sisi positifnya saja. Mungkin mereka lelah, dan ingin cepat-cepat kembali ke hotel untuk mandi air panas. Enggak apa-apa, enggak apa-apa.
Seorang wanita yang merupakan staf keamanan menegur saya. Ia mengusir saya secara halus dengan alasan venue akan dibereskan. Saya dan rekan pun berjalan ke luar venue dengan gontai.
Saya berpisah dengan rekan saya setelah mewawancarai tiga orang penonton asal Filipina, Ysabel, Cher, dan Paolo. Setelah berbincang selama 5 menit, saya berpamitan kepada mereka dan berjalan menuju MRT.
ADVERTISEMENT
Saya tidak sendiri. Saya bersama ribuan penonton lainnya lengkap dengan wajah semringah mereka yang sangat terpuaskan oleh aksi Coldplay.
Malam itu luar biasa. Terasa kurang lengkap sebenarnya, tanpa encore yang diimpikan. Tapi balik lagi, Coldplay adalah bintang pada malam itu. Dan lagi-lagi, kilau mereka berhasil menutup rasa kecewa di dalam dada. Itulah Coldplay, dan kelebihan mereka sebagai salah satu band rock terbesar di dunia.