news-card-video
13 Ramadhan 1446 HKamis, 13 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45

Jadi Korban Bullying di SMA, Tika Bravani: Gurunya Menormalisasi Itu

12 Maret 2025 13:00 WIB
ยท
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tika Bravani dalam konferensi pers film Rumah Untuk Alie di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, Senin (10/3/2025). Foto: Giovanni/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Tika Bravani dalam konferensi pers film Rumah Untuk Alie di XXI Epicentrum, Jakarta Selatan, Senin (10/3/2025). Foto: Giovanni/kumparan
ADVERTISEMENT
Tika Bravani pernah menjadi korban bullying saat ia masih duduk di bangku SMA. Tika diketahui sekolah di salah satu SMA Negeri ternama di kawasan Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT
Sejumlah tindak bullying baik verbal maupun fisik itu dilakukan oleh kakak kelas Tika. Mirisnya, pihak sekolah seperti 'tutup mata' dengan kejadian tersebut.
"Verbal, fisik. Kalau dulu SMA itu, di sekolah itu, kadang-kadang menormalisasi kakak kelas dan adik kelas," kata Tika di XXI Epicentrum, Senin (10/3).
Tika Bravani Foto: Instagram @tikabravani
Tika mengatakan bahwa kala itu ia sempat mengadukan tindak perundungan tersebut kepada seorang guru. Namun, guru tersebut malah terkesan menormalisasi situasi yang dialami oleh bintang film Soekarno itu.
"Misalnya, kakak kelas dan adik kelas, ada yang memang (perundungan) itu menjadi tradisi. Ketika ngadu ke guru kayak, 'Ya memang kayak gitu sih'," ujar Tika.
"Padahal kan kita yang mengalami (bullying), kita merasa enggak berharga, merasa mau berangkat sekolah saja malas," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Istri Dimas Aditya itu juga mengungkapkan hal yang cukup membekas akibat aksi bullying itu. Hal tersebut sangat mempengaruhi mentalnya.
"Pokoknya merugikan mental, ekonomi, fisik. Memalukan aja, sih, jadi malas dibahas tapi ya...," tutur Tika.
Tika Bravani Foto: Instagram/@tikabravani
Tika pun seolah 'dipaksa' berdamai dengan kondisi tersebut. Perempuan berusia 35 tahun itu akhirnya mencoba memahami bahwa apa yang terjadi adalah tradisi di sekolah itu.
"Ya, berdamai karena akhirnya menormalisasi 'oh, ya, mungkin tradisi kali'. Makin dewasa akhirnya alhamdulillah saya enggak apa-apa, jadi itu, ya, terpaksa harus berdamai," tutupnya.