Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
ADVERTISEMENT
Hari ini, Rabu (4/9), Danny Worsnop, vokalis band asal Inggris, Asking Alexandria, merayakan ulang tahun ke-29. Nama Worsnop mungkin asing bagi banyak orang di Indonesia, namun ia adalah salah satu orang yang mempopulerkan tren musik emo dan post-hardcore di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Untuk merayakan ulang tahun Worsnop, mari lakukan napak tilas kejayaan musik emo dan post-hardcore secara singkat. Genre musik ini memang sempat mati, namun baru-baru ini banyak band emo yang menggelar reuni di Synchronize Fest, seperti Killing Me Inside formasi Onad, Sansan, dan Raka, serta Jakarta Flames.
Emo muncul di akhir era '80-an, saat musik hardcore mulai jarang terdengar dan musisi-musisi post-hardcore, seperti Rites of Spring dan Fugazi, menguasai skena indie Amerika Serikat.
Dari segi musikalitas, grup musik emo pada dasarnya merupakan penggabungan antara distorsi tebal dan berantakan ala grunge dan ketukan drum cepat ala hardcore, namun dibaluti lirik puitis ala musisi pop. Tema lirik di setiap lagu biasanya bercerita tentang emosi setelah putus cinta atau rasa depresi.
Itu yang menjadi alasan genre musik ini disebut emo, sebab semua lirik dalam lagu memang mengekspresikan emosi jiwa secara cadas, meluap-luap, dan liar.
ADVERTISEMENT
Berkembang pesat di skena musik indie, band emo mulai mempengaruhi banyak musisi lintas genre, seperti Weezer, Jimmy Eat World, dan Get Up Kids. Buktinya, Weezer sempat merilis album 'Weezer' dan 'Pinkerton' dengan nuansa musik indie rock, dengan lirik yang emosional. Begitu pula dengan album 'Something to Write Home About' dari Get Up Kids yang terasa amat pop punk, namun penuh lirik-lirik depresi ala emo.
Meski musisi hardcore dan punk menganggap musik emo terlalu pop dan kurang mencerminkan dunia indie, budaya ini terus bertahan hingga akhir era '90-an. Malah, semakin banyak band emo yang bermunculan di Amerika Serikat, seperti Cap'n Jazz, Braid, Christie Front Drive, Mineral, dan the Promise Ring.
ADVERTISEMENT
Memasuki era 2000-an, banyak band emo yang semakin berkembang dan membuat satu sub-genre baru bernama screamo. Band yang mempopulerkan sub-genre ini adalah The Used (beberapa waktu lalu mereka hadir di Indonesia melalui Hodgepodge Festival 2019). Lucunya, mereka tidak mau menyebut band mereka sendiri adalah band emo.
Screamo pun membuat musik emo merambah jauh ke Kanada, terbukti dari terbentuknya band-band seperti Alexisonfire dan Silverstein. Ketenaran ini membuat banyak label rekaman melirik skena emo dan screamo, seperti Island Def Jam dan Reprise Records.
Di luar screamo, banyak band dari genre berbeda seperti New Found Glory, bahkan Blink 182, memasukkan unsur emo di setiap karyanya. Hal ini yang pada akhirnya membuat emo menguasai skena indie, bukan cuma di Amerika Serikat dan Kanada, namun juga seluruh dunia.
Raja-raja musik emo seperti My Chemical Romance dan Saosin juga muncul di era ini. Bukan cuma dari segi musik, mereka juga mempopulerkan fashion emo dengan rambut berponi panjang yang tak jarang menutupi keseluruhan wajah.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, demam emo pun mulai terjadi. Di Jakarta dan Bandung, musisi emo seperti Jakarta Flames, Killing Me Inside, dan Alone at Last, menjadi raja di skena indie dan panggung-panggung bawah tanah.
Band-band tersebut mempengaruhi gaya berpakaian dan selera musik banyak remaja di Indonesia. Meski kerap diolok-olok, dapat diyakini semua remaja SMP dan SMA di era itu pasti mengetahui beberapa lagu dari band-band emo.
Jelang era 2010-an, demam emo kian meradang. Di Amerika Serikat, My Chemical Romance, The Used, dan 30 Seconds To Mars menjadi band terpopuler. Mereka bahkan mendapat kontrak rekaman dari label-label besar.
Meski hanya dari segi gaya berpenampilan, emo mulai menginspirasi banyak band. Lihat saja band-band seperti Attack Attack!, Asking Alexandria, Bring Me The Horizon, bahkan Suicide Silence yang pada dasarnya datang dari skena metal, namun bergaya ala musisi emo dengan rambut berponi.
ADVERTISEMENT
Setelah era 2010an, industri musik dunia berjalan dengan sangat cepat. Mulai dari EDM, folk, hingga remix dangdut koplo terus silih berganti menjadi musik favorit banyak remaja Indonesia. Musik emo pun mulai ditinggalkan karena dianggap ketinggalan zaman dan kuno.
Band-band seperti 30 Second to Mars dan Asking Alexandria di tanah Barat, juga Killing Me Inside di Indonesia, mulai mengubah genre musik. Gaya berpakaian band-band tersebut juga sudah tidak lagi menonjolkan kesan emo.
Meski begitu, beberapa band di bawah tanah masih tidak malu memainkan musik emo, salah satunya adalah Sunrise yang diperkuat oleh Putra Pra Ramadhan, drummer teranyar dari band metal/hardcore Bandung, Burgerkill. Selain itu, segelintir remaja kerap membuat acara bertajuk Emo Nights, sekedar untuk bernostalgia dengan lagu-lagu emo di masa keemasannya.
ADVERTISEMENT
Tanpa disadari, semakin banyak orang yang kembali menggilai musik emo, namun dengan cara berbeda, tanpa gaya rambut berponi. Hal ini pun mulai menarik pasar mainstream, terbukti dari reuninya band-band emo Indonesia di Synchronize Fest 2019.