Layar Bioskop Indonesia Kurang dari 5% Bioskop China

30 Maret 2017 11:01 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ilustrasi mengenai bioskop. (Foto: Thinkstock)
Dua tahun belakangan ini industri perfilman Indonesia mulai menunjukkan peningkatan yang signifikan. Namun meskipun begitu, teryanta masih banyak juga permasalahan yang dihadapi oleh industri film lokal.  Salah satu yang dinilai menjadi permasalahan terbesar adalah kurangnya jumlah layar bioskop di Tanah Air karena minimnya minat penonton. Jumlah layar bioskop berbanding terbalik dengan jumlah penduduk yang ada di Indonesia yang hampir 260 juta jiwa.
ADVERTISEMENT
Idealnya, jumlah layar di Indonesia seharusnya mencapai sekitar 9000-15.000 layar. Namun pada kenyataannya, Indonesia baru memilliki sekitar 1100-an layar.
Layar bioskop. (Foto: Instagram @cinema.21)
Sebelumnya, China memiliki 39.194 layar sedangkan Amerika memiliki 40.475 layar. Negeri Tirai Bambu kemudian menambah lebih dari 7.500 layar baru dan menjadi negara dengan layar bioskop terbanyak di dunia. Dalam beberapa tahun mendatang, industri film China diyakini akan menyaingi Hollywood. Di Indonesia saat ini jaringan bioskop terbesar dimiliki Cinema21 dengan 864 layar di 157 bioskop di 36 kota di Indonesia.
Gedung bioskop XXI. (Foto: Dok. 21cineplex)
Corporate Secretary Cinema21 Catherine Keng meengatakan bahwa pihaknya akan terys menambah jumlah layar bioskop di Tanah Air tiap tahunnya. Akhir tahun lalu ,ereka juga baru mendapat kucuran dana senilai Rp 3,5 triliun (US$ 265 juta) dari Sovereign Wealth Fund asal Singapura, GIC  "Kalau soal penambahan layar dibilang tidak cukup sih, tidak. Tiap tahun mungkin ada sekitar 200 penambahan layar di Indonesia," ungkap Catherine ketika dijumpai kumparan (kumparan.com) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat. Menurutnya, ada beberapa pertimbangan untuk menambah jumlah layar. Salah satunya adalah melihat terlebih dahulu potensi penonton di daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
"Kalau tidak ada peminat kan susah juga nanti bioskopnya. Kita memastikan jaringan menambah. Yang pertama kita lihat dulu itu ya daya belinya, kemudian Visibility Studies. Biasanya kalau mau buka layar, kami mengajak mall, atau mall mengajak kami. Dengan power yang cukup. Kita juga lihat daerah itu cukup menarik atau tidak untuk kemudian hari masyarakatnya potensial atau tidak," jelasnya.
Ilustrasi film. (Foto: Pixabay)
Menurut Fauzan Zidni selaku Ketua Umum Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), kualitas dari film itu sendiri yang mempengaruhi lama atau tidaknya sebuah film tayang di bioskop. "Film lokal mungkin perlu diberikan kesempatan yang berbeda. Kalau filmnya jelek banget, mau enggak mau, enggak bisa dikasih kesempatan berlama-lama ada di bioskop. Kalau memang ada penonton, pasti akan ada tempatnya dan bisa dapat layar lebih," terang Fauzan. "Evaluasinya, kita bisa tanya ke bioskop kenapa film yang tadinya dapat 50 layar, jam tayangnya sampai lima kali sehari, besoknya bisa tinggal 10 layar dan jam tayangnya tinggal dua kali sehari? Kalau bioskop bilang, "Ya, wajarlah, film lo enggak ada yang nonton," bisa diurutkan 5 film yang sedang tayang, Kalau berada di bawah, ya, wajar-wajar saja diturunkan," tambahnya.
ADVERTISEMENT
10 film terlaris, Warkop DKI Reborn. (Foto: Dok. Wikipedia)
Catherine berharap di Hari Film Nasional ini, film Indonesia mampu lebih meningkatkan kualitasnya lagi. Bukan hanya perayaan selebrasi selama satu-dua hari saja.
"Film yang memang baik dalam hal banyak penontonnya, mungkin enggak lebih dari 15% (dari total film yang diproduksi dalam setahun). Produk terus bermunculan, cuma daya serap dari market ke pentontonnya kurang. Sekarang tantangannya adalah Indonesia harus membuat film dengan kualitas baik, pembuatan rapi, nilai produksi baik, tapi harus ingat bahwa pentonton adalah kunci utama."