Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0

ADVERTISEMENT
Saat 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!' tayang pada tahun 2016, masyarakat begitu tertarik menonton film besutan Anggy Umbara tersebut. Dono, Kasino dan Indro, tiga tokoh ikonis yang diperankan Abimana Aryasatya, Vino G Bastian, dan Tora Sudiro, menjadi daya tarik yang kuat.
ADVERTISEMENT
Hasilnya terbukti. 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!' menuai kesuksesan. Film tersebut bahkan masih menggenggam jumlah penonton terbanyak sepanjang sejarah perfilman Indonesia, yakni mencapai lebih dari 6,8 juta penonton.
Sejak kehadiran 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!', film-film bertemakan remake dan reborn jadi banyak bermunculan. Sebut saja, 'Benyamin Biang Kerok', 'Jomblo', 'Galih & Ratna', hingga 'Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur'. Beberapa di antaranya sukses, beberapa di antaranya tidak.
Falcon Pictures adalah rumah produksi di Tanah Air yang banyak melahirkan film reborn dan remake. 'Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss!' adalah salah satu film mereka.
Produser Falcon Pictures, Frederica, mengatakan bahwa ide untuk membuat kembali film yang sudah pernah ada terinspirasi dari industri film Hollywood. Ketika film-film James Bond dan Spider-Man bisa diproduksi berkali-kali dengan pemain yang berbeda, kenapa Indonesia tidak bisa melakukan hal yang sama?
ADVERTISEMENT
Frederica melihat, film-film 'Warkop DKI' begitu dicintai masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dari film-film Warkop DKI yang kerap ditayangkan kembali di televisi dan rating-nya masih bagus.
"Orang-orang menikmati, ketawa-tawa. Kami mau menghadirkan sosok mereka lagi di generasi yang sekarang. Tujuannya bukan mau menggantikan, karena Dono, Kasino, dan Indro enggak bisa digantikan. Tujuannya, melestarikan," ucap Frederica kepada kumparan di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, baru-baru ini.
Kesuksesan itu kemudian diikuti rumah produksi lain yang menghadirkan film terbaru dengan konsep serupa. Latah dalam industri kemudian terjadi, dan menjadi hal yang wajar.
"Namanya industri 'kan gitu, ada latahnya. Satu yang berhasil di sebuah industri bentuknya gitu, sah-sah saja. Yang ditakutkan, sudah terlalu banyak film reborn atau remake, bosen dan akan rugi," ucap sutradara Anggy Umbara saat dihubungi kumparan melalui telepon beberapa waktu lalu.
ADVERTISEMENT
Anggy pun mendefiniskan antara film reborn atau remake. Konsep reborn dikatakannya lebih kepada karakter, sementara remake lebih kepada keseluruhan film.
“‘Warkop DKI', reborn. 'Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur', reborn. 'Pengabdi Setan', remake, filmnya yang di-remake," ucap Anggy.
Konsep nostalgia yang dihadirkan dalam film-film reborn atau remake sebenarnya tidak begitu ditunggu oleh masyarakat. Tergantung dengan film apa yang di-remake atau di-reborn.
Karakter atau alur cerita film yang dihadirkan harus kuat, dan filmnya juga harus dibalut dengan ide-ide yang menarik dan segar. Jadi, rasa penasaran penonton dan kerinduan mereka akan suatu tokoh dan cerita terobati.
"Acuan produser untuk bikin film, yang digandrungi. Dari televisi, misalnya, seperti sinetron 'Keluarga Cemara' atau 'Preman Pensiun'. Sudah ada popularity base dan penonton yang setia. Nah, itu acuan produser untuk bikin film," kata Anggy.
ADVERTISEMENT
"Jadi, bukan penting di reborn-nya dan lain-lain. Tapi, filmnya menghibur apa enggak? Memuaskan penonton apa enggak? Mau itu reborn, horor, komedi, atau drama, kalau enggak ngehibur, enggak menarik, dan bikin penonton enggak puas, ya, enggak akan ditonton juga nantinya," sambungnya.
Beda rumah produksi, tentu beda pemikiran akan selera pasar. Film ‘Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur’, misalnya. Meski film tersebut bukan film reborn-- “Reborn itu dipakai Falcon Pictures’ untuk Warkop ya, jadi saya enggak pernah buat film reborn,” kata Sunil Soraya, produser Soraya Intercine Films, saat dihubungi kumparan lewat telepon--orang-orang merasa kembali dimanjakan dengan sosok Suzzanna di layar kaca. Walau, sosok Suzzanna diperankan oleh Luna Maya.
Selaku produser, Sunil mengaku selalu membayangkan apa yang ingin dia tonton di bioskop saat akan membuat film. Untuk kasus Suzzanna, dia suka dengan film-film mendiang Suzzanna. Dan juga, film-film sang aktris adalah filmnya juga. Dia merasa, dari film-film Suzzanna selama ini banyak yang bisa dikembangkan.
ADVERTISEMENT
“Jadi, bagaimana kalau sekarang kita masukkan moral value? Cerita lebih panjang, lebih epic, dan flow-nya lebih besar dunianya. Sekarang ‘kan, banyak film horor, jadi enggak mungkin kita buat film horor random. Suzzanna juga bukan film horor, komedinya banyak, orang nonton ketawa, malah bilang, 'Ini film kok, lucu? Bikin ketawa?' karena susananya protagonis. Saya buat karena saya senang sekali, saya saat itu di luar negeri dan dapat idenya,” jelasnya.
Sunil sendiri mengaku suka mengerjakan sesuatu yang sulit. Membangkitkan sosok Suzzanna dengan Luna Maya sebagai pemerannya tentu bukan hal yang mudah.
“Di situ mulai exciting. Kalau gampang, kurang kreatif jadinya. Salah satu faktor, saya mau buat karena faktor sulitnya 1000 persen,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Ya, menggarap film remake atau reborn memang tidak selamanya menguntungkan. Balik lagi, rugi atau tidaknya sebuah filmnya tak ditentukan dari genre filmnya, tapi dari Intellectual Property (IP) atau kekayaan intelektual yang kuat.
Selain itu, tidak ada perbedaan pendapatan antara aktor-aktor yang berperan di film remake atau reborn, dengan film-film lainnya. Begitu juga biaya yang dibutuhkan untuk memproduksi sebuah film reborn atau remake.
"Biaya (produksi) bukan ditentukan remake atau reborn, tapi seberapa kompleks sebuah skrip. Biaya itu muncul dari kebutuhan kreatif, seperti dari scene. Pemain sama saja, enggak ada yang spesial. Itu pendalaman karakter, itu tuntutan kreatif. Kami menghargai mereka sebagai aktor. (Tapi) posisi mereka saat itu ada di mana? Kalau lagi di atas, pasti tinggi. Kalau di bawah, biasa-biasa saja. Itu semua dihargai selayaknya mereka secara profesional," jelas Frederica.
ADVERTISEMENT
Dari kacamata Anggy sebagai sutradara, standar produksi untuk film remake atau reborn belum merata. Masih banyak yang memproduksi secara alakadarnya.
"Masih mencari bentuknya juga, masih dalam proses seleksi alam perfilmannya. Yang secara produksi rendah dan enggak ditonton, akan hilang dengan sendirinya. Film yang cuma mengandalkan sesuatu yang enggak bagus atau enggak memenuhi syarat untuk kualitas tertentu akan tergeser. Di semua industri akan kayak gitu," terang Anggy.
Yang jelas, kehadiran film reborn atau remake di pasaran ini punya satu tujuan sebagaimana dikatakan oleh Frederica dan Anggy, yakni melestarikan sebuah legenda.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Randy Danistha atau Randy 'Nidji'. Baru-baru ini, dia tergabung dalam produksi film 'Warkop DKI Reborn' yang ke-3 dan ke-4 sebagai Indro.
ADVERTISEMENT
Falcon Pictures memutuskan untuk mengganti seluruh pemain 'Warkop DKI Reborn'. Kini, Aliando yang berperan sebagai Dono dan Adipati Dolken sebagai Kasino.
Kata Randy, melestarikan sebuah karya yang melegenda adalah hal yang penting. Indonesia, kata Randy, punya banyak harta karun yang belum digali.
"Masyarakat kita harus revolusi mental, harus ngehargain karya, ngenalin ke generasi berikut dengan mengajak main aktor yang muda-muda. Ini kayak penggalian harta karun di negara kita, menurut gue perlu diterusin," jelas Randy pada kumparan lewat telepon belum lama ini.
"Tapi, untung-untungan juga. Yang enggak berhasil banyak. Ujung-ujungnya aplikasi terakhirnya, bisa bikin film bagus apa enggak, mau remake atau film baru, mau story, treatment, dan lain-lainnya kalau salah ya enggak berhasil juga. Jadi, ya, sama saja. Memang challenging," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Jika sebuah film reborn maupun remake tidak sesuai dengan harapan masyarakat, sosok legenda di film itu berserta ceritanya akan hancur dalam waktu singkat.
Shandy Gasella selaku pengamat film, punya komentar terkait film-film reborn atau remake di Indonesia. Menurutnya, salah satu kunci agar film-film reborn atau remake itu banyak peminatnya, karakter dan film harus relevan dengan generasi saat ini.
"Terakhir film reborn itu 'Lagi-lagi Ateng' dan film itu flop, enggak laku. Setelah Reza Rahadian jadi Benyamin juga flop. Menurut saya, kalau tren reborn itu adalah tokoh legendaris dulu dijadikan kekinian. Saya rasa, semua tokoh legendaris kita sudah habis di-reborn, enggak ada lagi yang ikonis," jelasnya saat dihubungi kumparan lewat telepon baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
"Penonton kita kebanyakan milenial, dan kalau angkat film kayak Ateng, ya, jeblok. Karena terlalu berjarak. Ateng populer di tahun '70-an, 'kan. Tokoh yang diangkat jangan jauh-jauh banget sama generasi sekarang. Janganlah angkat tokoh dari era '70-an karena penonton zaman dulu sudah nenek-nenek, kakek-kakek, enggak relevan," sambungnya Shandy.
Shandy menambahkan, beberapa rumah produksi banyak yang membuat film reborn atau remake karena kemungkinan besar, mereka kekurangan ide. Tapi, hal itu juga bisa menjadi ide baru buat mereka.
"Karena mereka mau angkat nostalgia, membawa balik orang yang dulu terkenal ke bioskop. Sebenarnya, bahan baku film itu skenario, ya. Kalau skenarionya kuat, enggak cuma asal mirip doang, pasti akan maksimal. Kayak, Benyamin itu flop, ya, karena skenarionya enggak jelas. Di situ, saya heran banyak produser yang sekadar bikin reborn pilih artis tapi enggak terlalu kasih waktu yang lebih untuk garap skenario yang matang," terang Shandy.
ADVERTISEMENT
Padahal, kata Shandy, rata-rata film-film reborn memiliki production value yang besar.
"Contoh, film Suzzanna itu pasti besar, Ateng juga. 'Warkop DKI Reborn' apalagi, sampai puluhan miliar, Benyamin juga besar. Tapi, saya heran, kenapa tokoh Rhoma Irama enggak di-reborn-kan? Padahal, itu menurut saya sih, kansnya gede dibanding Ateng atau PSP," kata Shandy.
Soal tren, jawaban Shandy berbeda dengan mereka yang berkecimpung langsung di dunia film seperti produser dan sutradra. Menurutnya, film-film reborn dan remake adalah bagian dari tren yang tengah naik di industri film. Dia pun menjelaskan tren pasar untuk film-film tersebut.
"Reborn mungkin bakal tamat, ya. Mungkin satu atau dua tahun lagi, orang jenuh. Tapi, untuk remake, tiga sampai empat tahun ke depan, akan merajai. Kalau film remake, kita sudah tahu jalan cerita yang akan di-remake. Cuma, gimana menyesuaikan dengan keadaan saat ini di Indonesia. Memang itu trik remake, sih, mengalihkan medium semula ke medium baru dengan packaging yang sesuai sama kultur saat ini," ucap Shandy.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Sunil mengatakan bahwa membuat film remake bukanlah sebuah tren, tapi hal yang sulit. Bahkan, dia menyebut film remake atau reborn lebih mudah gagal dan kansnya bisa mencapai 90 persen.
“Film ini (remake atau reborn) untuk jadi tren susah. Story dan adegannya tuh waktunya lama, bener-bener original idea-nya keluar semua. Contohnya, adegan komedi di ‘Suzzanna’ itu ‘kan baru, ya, yang cocok sama kultur kita. Lihatnya gampang, tapi proses pembuatan itu yang susah,” ungkapnya.
Lalu, apa contohnya? Luna diharuskan menggunakana make up prostetik agar mirip dengan Suzzanna.
“Pertama kali dibuat prostetiknya Suzzanna, awalnya enggak mirip. Hati kita drop. Gimana buat Luna Maya jadi seperti Suzzanna, itu memang enggak masuk akal, butuh orang-orang yang bener-bener energinya enggak bisa drop gitu. Orang Moscow itu memproses lagi. Saya juga harus lihat, ‘Jidatnya enggak match, nih. Suaranya enggak match’. Jadi, harus obsesi sekali,” terang Sunil.
ADVERTISEMENT
Usaha keras Soraya Intercine Films untuk membangkitkan kembali karakter Suzzanna pun berhasil. Luna Maya banjir pujian, dan hal itu terbukti dengan banyaknya penonton film tersebut, yakni lebih dari 3,3 juta penonton.
“Saya enggak berpikiran penonton akan suka karena ini remake. Yang saya pikirkan adalah, perlu enggak ini dibuat? Ada ceritanya enggak? Ada remake di pasar yang enggak terlalu diminati. Ada orang datang ke saya bawa IP remake zaman dulu gitu, dia bilang, 'Wah, Anda ‘kan sudah buat Suzzanna, nah, film ini bagus nih, kita bikin remake, penontonnya pasti banyak'. Saya bilang, bukan seperti itu,” cerita Sunil.
“Remake itu enggak menggaransi penonton. Kita harus punya sesuatu dulu. Ada sesuatu enggak, yang bisa dibahas di film ini? Diam orangnya. Berarti, niatnya bukan buat film, tapi buat remake agar penonton ramai. Nanti, kehilangan arah di tengah-tengah karena penonton juga enggak tahu maunya apa. Penonton mau sesuatu yang baru. Kalau penonton sudah nonton ‘kan, basi. Penonton itu raja, enggak bisa diganggu-gugat, seleranya berubah-ubah,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kembali ke Shandy, menurutnya, jenis film yang masih akan terus berjaya adalah film-film yang diangkat dari novel. Selain itu, remake film Korea juga sedang naik daun.
"Kemarin ada 'Antologi Rasa', dan kayaknya tren ini akan ada tiap tahun. Karena pangsa pasarnya jelas. Pembaca novelnya sudah ada, tinggal menggaet yang belum baca novel untuk nonton film. Nah, yang lagi tren sekarang ini justru remake film Korea, nih. Karena sudah ada tiga, nih, 'Sunny', 'Miracle In Cell No.7', dan 'Sunyi'. Kita cenderung terlambat sih, remake film luar, karena India dan Amerika itu sudah lumrah banget," tutup Shandy.