Melihat UU Permusikan di Amerika, Korea dan Inggris

7 Februari 2019 17:51 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Melihat UU Permusikan di AS, Inggris, dan Korea Foto: Putri Sarah
zoom-in-whitePerbesar
Melihat UU Permusikan di AS, Inggris, dan Korea Foto: Putri Sarah
ADVERTISEMENT
Rancangan Undang-Undangan (RUU) Permusikan tengah menjadi pembahasan serius musisi tanah air. Undang-undang yang dirancang, seharusnya dapat memberi perlindungan musisi dalam berkarya serta memberikan kepastian mereka dalam mendapatkan hak-hak yang ditimbulkan. Sebagian musisi justru merasa dibatasi ruang berekspresinya.
ADVERTISEMENT
Mulai dari isi RUU Permusikan yang dianggap merepresi musisi dari segi kreativitas dan banyak pasal yang tumpang tindih, hingga permasalahan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi sebagai musisi.
Lalu, bagaimana sebenarnya dengan Undang-undang musik di negara lain?
Bendera Amerika Serikat Foto: pixabay
Amerika Serikat, Inggris dan Korea Selatan bisa disebut sebagai negara-negara yang sudah lebih dulu berjalan soal undang-undang musik. Persoalan mengenai hak cipta dan royalti adalah hal yang diutamakan.
Di Amerika Serikat misalnya. Undang-undang Modernisasi Musik baru saja disahkan oleh Presiden AS, Donald Trump pada 2018 lalu. Dilansir The Verge, UU ini mengubah Bagian 115 Undang-Undang Hak Cipta AS dan bertujuan untuk mempercepat hukum hak cipta di era streaming.
Ada tiga hal. Yang pertama, UU Modernisasi Musik merampungkan proses perizinan musik untuk memudahkan pemegang hak menerima royalti, yakni saat musik mereka disiarkan secara online. Ini berlaku untuk lagu-lagu yang direkam sebelum tahun 1972.
ADVERTISEMENT
Kedua, Modernisasi Musik akan meningkatkan kinerja bagaimana cara penulis lagu dibayar oleh layanan streaming dengan basis data lisensi mekanis tunggal yang diawasi oleh penerbit musik dan penulis lagu. Biaya untuk membuat dan memelihara basis data ini akan dibayar oleh layanan streaming digital.
Ketiga, royalti akan diambil, terutama untuk yang tidak diklaim karena profesionalitas dengan memberikan proses hukum secara konsisten untuk menerimanya. Sebelumnya, royalti yang tidak diklaim ini dipegang oleh penyedia layanan streaming digital seperti Spotify.
Intinya, Modernisasi Musik membantu untuk memastikan bahwa para musisi dibayar lebih tinggi dan mempermudah mereka untuk mendapatkan royalti.
Selain itu, AS juga memiliki American Society of Composers, Authors, and Publishers (ASCAP). ASCAP adalah organisasi yang mengumpulkan komposer, pencipta lagu, dan publisher untuk membantu mereka mendapatkan haknya secara transparan.
ADVERTISEMENT
Sedangkan Inggris, ada undang-undang yang memproteksi musisi akan royalti lagu-lagu mereka. Dikenal sebagai 'hukum Cliff', UU yang berlaku memperluas hak cipta pada rekaman musik atau lagu yang awalnya hanya berlaku selama 50 tahun menjadi 70 tahun.
Jadi, jika ada seorang musisi yang merilis lagu pada tahun 1960, dia akan tetap mendapat royalti hingga 70 tahun ke depan, yakni hingga 2030. Undang-undang ini telah diratifikasi oleh European Union (EU) sejak 2011.
Selain itu, Inggris juga memiliki UK Music, badan yang mewakili kepentingan kolektif dari rekaman, publikasi, dan siaran langsung dari industri musik Inggris.
Melalui perwakilan kolektif, UK Music mempromosikan minat label rekaman dan penerbit musik (mainstream dan independen), penulis lagu, komposer, penulis lirik, musisi, manajer, produser, promotor, venue, dan hingga komunitas. UK Music juga memastikan minat mereka terdengar.
ADVERTISEMENT
AS dan US memiliki kekuatan yang sama dari segi undang-undang hak cipta. Mereka juga memiliki institusi sendiri untuk memantau hak cipta dan royalti, sekaligus memastikan para pekerja di industri mendapatkan hak mereka.
Lalu Korea Selatan. Negara ini terkenal akan industri hiburannya yang 'keras' karena untuk menjadi seorang idola K-Pop sangatlah tidak mudah. Namun, untuk urusan musik, mereka punya Korea Music Copyright Association atau KOMCA.
KOMCA adalah organisasi manajemen kolektif hak cipta nirlaba Korea Selatan untuk karya-karya musik. Fungsinya, mengelola kinerja publik dan hak siar, dan hak rekaman mekanik dan reproduksi.
Nantinya, pemilik hak cipta (penulis, komposer, arranger, dan penerbit musik) bisa bergabung dengan KOMCA sebagai anggota asosiasi, sama seperti ASCAP.
ADVERTISEMENT
Rata-rata, idola-idola K-Pop telah bergabung dengan KOMCA, terutama mereka yang andal menulis lagu.
Pada Februari 2018, KOMCA merilis daftar nama musisi dengan hak cipta lagu terbanyak karena bergabung dengan mereka. Sesuai dugaan, G-Dragon 'Big Bang' menduduki posisi pertama dengan 170 lagu. Tidak heran kan, kalau G-Dragon memiliki pendapatan besar.
G Dragon Foto: Instagram/@officialgdragonn
Jika melihat undang-undang dari tiga negara tersebut, persoalan mengenai hak cipta dan royalti adalah hal yang diutamakan.
Namun, ketiganya juga sama-sama--secara komersial-- membuat karya yang menonjolkan budaya mereka. Hal inilah yang menciptakan adanya genre British rock dan K-Pop.
Soal kebebasan berekspresi, meski tidak membatasi kreativitas, namun industri musik di Amerika Serikat dan Inggris telah memiliki panduan yang jelas bagi penikmatnya. Yakni dengan memberikan label 'Parental Advisory: Explicit Content'. Panduan ini sudah disahkan oleh Recording Industry Association of America (RIAA) dan British Phonographic Industry (BPI).
ADVERTISEMENT
Karena itu kita bisa melihat logo-logo ini di sejumlah album, seperti album 'Collision Course' milik Jay Z, 'The Paradigm Shift' milik Korn, dan album terbaru Eminem, 'Kamikaze'.
Sementara, untuk masalah uji kompetensi di luar negeri bersifat opsional. Dalam artian, musisi bisa memilih apakah harus mengikuti uji kompetensi atau tidak.
Hal ini juga diutarakan oleh pengamat musik Bens Leo saat berbincang dengan kumparan beberapa waktu lalu.
Dia mengatakan bahwa sebenarnya, uji kompetensi musisi itu penting, apalagi bagi mereka yang ingin tampil atau berkarya di luar negeri. Namun, uji kompetensi ini tidak wajib untuk dilakukan.
Sertifikasi ini hanya digunakan untuk pembuktian secara formal terkait kompetensi pelaku musik.
"Di luar negeri, kalau enggak bawa sertifikat, kalau audisi, disuruh pulang. Kalau lolos, (tergantung) rangkingnya gimana dulu? Uji kompetensi itu ada levelnya, bawah, madya, menengah, dan atas. Itu menunjukkan pendapatan mereka," ucap Bens.
Bens Leo Foto: Munady
Sementara di Indonesia, RUU Permusikan yang bentuknya masih draft dinilai bisa memangkas akar yang nantinya mampu melahirkan sebuah karya baru. Kreativitas seorang musisi diuji dengan keterbatasan berekspresi, membungkam suara-suara yang menolak adanya ketidakadilan dalam negeri ini. Untuk itulah kemudian KNTL RUUP, wadah yang dibentuk oleh para musisi yang menolak RUU tersebut menyampaikan suara bahwa RUU hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu diatur.
ADVERTISEMENT
Beberapa Pasal memuat redaksional yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Pasal yang menjelaskan tentang hak cipta dan royalti, misalnya. Pasal ini dianggap tumpang-tindih karena sudah diatur dalam UU Hak Cipta.
Kalau di AS ada ASCAP, Inggris ada UK Music, dan Korea ada KOMCA, di Indonesia juga sudah ada Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN yang mengatur soal royalti.
Dikutip dari laman resminya, LMKN adalah institusi berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti.
LMKN berfungsi untuk melakukan koordinasi dan mengawasi pengumpulan royalti oleh LMKN di bawahnya. Tempat-tempat umum atau kegiatan yang menggunakan musik seperti kafe, karaoke, dan pentas seni nantinya harus membayar royalti yang diatur oleh lembaga ini. Namun, lembaga ini masih disempurnakan dan butuh waktu untuk itu.
ADVERTISEMENT
Triawan Munaf selaku Kepala Bekraf mengatakan bahwa sistem LMKN masih terus digodok, apalagi dengan hadirnya komisioner-komisioner baru dengan energi baru yang dipercaya mampu memperbaiki prosedur pemungutan royalti.
Triawan Munaf. Foto: Munady
"Sebetulnya, kalau LMKN ini jalan seratus persen dengan satu sistem yang realiable, lagu yang diputar (di beberapa tempat hiburan) adalah lagu yang dibayar royaltinya. Kalau itu (sistemnya) sudah ketemu, itu sudah menjawab sebagian besar keluhan musisi tanpa undang-undang," jelas Triawan.
"Kedua, sistem yang sedang di-develop, Project Protamento (pencatatan data dalam bentuk blockchain) itu enggak mudah dan sedang dilaksanakan. Sudah disosialisasikan. Ini pun kalau jalan di atas kesepakatan, ini akan jalan bagus tanpa undang-undang dan menjawab keluhan besar seniman, (terutama) para pencipta lagu," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah, yang juga inisator RUU Permusikan menanggapi sejumlah kritik dari publik soal substansi materi yang tertuang dalam RUU Permusikan. Ia menyambut positif kritik dan tanggapan atas RUU Permusikan.
"Saya bersyukur atas respons dan kritik terhadap RUU Permusikan. Ini berarti ada kepedulian dari stakeholder atas keberadaan RUU ini," ujar Anang.
Anang Hermansyah melakukan pertemuan membahas tentang RUU permusikan di Cilandak Town Square, Jakarta, Senin (4/2/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan
Anang mengaku memahami apa yang menjadi penolakan musisi terhadap RUU Permusikan. Ia pun juga tidak setuju dengan beberapa pasal yang ada dalam draft. Hanya saja ia menginginkan penolakan diiringi dengan solusi.
"Saya bisa memahami kegelisahan teman-teman terkait dengan pasal 5 RUU Permusikan ini, itu bisa didiskusikan dengan kepala dingin," cetus Anang.
ADVERTISEMENT
Intinya, RUU Permusikan yang beredar masih berbentuk draft dan memang harus dikaji ulang untuk keabsahannnya.