Memahami Cultural Appropriation yang Dituduhkan ke Agnez Mo

16 Agustus 2019 16:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Penampilan model rambut terbaru Agnez Mo. Foto: dok. @agnezmo/ Instagram
zoom-in-whitePerbesar
Penampilan model rambut terbaru Agnez Mo. Foto: dok. @agnezmo/ Instagram
ADVERTISEMENT
Agnez Mo baru-baru ini mengunggah swafoto dengan rambut terkepang ala cornrow. Penyanyi lagu Coke Bottle ini juga tampil dengan warna kulit yang lebih coklat dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Selain menuai pujian atas gaya rambut barunya, Agnez Mo juga mendapat kritikan pedas dari netizen. Mereka menilai, keputusan Agnez mengubah gaya rambutnya sebagai cultural appropriation. Tampilan barunya diduga meniru gaya wanita suku Afrika-Amerika.
Kritikan tersebut datang dari akun Twitter @awkvert pada (11/08). Ia menyampaikan bahwa gaya yang dipilih Agnez itu mengeksploitas budaya kulit hitam.
"Sayangku @agnezmo kami bangga dengan kesuksesanmu tapi kita perlu bicara tentang eksploitasi budaya kulit hitam (tidak, kamu bukan bagian dari kulit hitam hanya karena kamu tinggal di negara yang sama dengan orang-orang Papua) dan mempermalukan kami dengan mengenakan kepang di depan Megan thee Stallion."
Selain itu, akun lain yakni @MuslimahAngry menyebut, langkah Agnez bukanlah sebuah apresiasi kepada budaya kulit hitam.
ADVERTISEMENT
Namun, Agnez membantah segala tudingan terkait cultural appropriation. Dia mengklaim, kepangan conrownya diadopsi dari gaya rambut wanita Papua yang dikenal dengan nama anyam rambut.
Tuduhan mengenai cultural appropriation memang tidak hanya menimpa Agnez Mo. Selebritis lain pernah lebih dulu mengalaminya, sebut saja Kim Kardashian. Ia pernah dituduh hal yang serupa karena mengepang rambutnya dalam beberapa kesempatan.
Bahkan, penyanyi Selena Gomez juga pernah mendapat tuduhan serupa saat manggung pada 2013 lalu. Ia dikritik karena mengenakan gaun merah dan kalung khas India dengan menyertakan bindi di dahinya.

Memahami cultural appropriation

Dikutip dari Everyday Feminism, secara sederhana istilah cultural appropriation, adalah sebuah konsep yang biasa digunakan untuk menyebut seseorang yang meminjam atribut budaya lain. Dalam hal ini, anggota budaya dominan meminjam budaya minoritas.
ADVERTISEMENT
Alih-alih mengapresiasi atribut etnis tertentu, penggunaan atribut budaya lain justru dinilai sebagai perampasan budaya.
Dalam jurnal tersebut disebutkan, kesensitifan pro-apropriasi dipengaruhi oleh sejumlah konteks. Pertama, cultural appropriation membiarkan orang-orang menunjukkan cinta untuk budaya tertentu, namun tetap berprasangka terhadap orang-orangnya. Apropriasi juga membuat segala sesuatu terlihat 'keren' untuk orang kulit kutih, tapi 'terlalu etnik' untuk orang dengan kulit berwarna.
Selain itu, perlakuan apropriasi terhadap budaya tertentu, memungkinkan pelaku mendapatkan untung dari pemilik budaya itu sendiri. Bahkan, cultural appropriation disebut melestarikan streotip rasis dan menyebarkan kebohongan massal tentang budaya yang terpinggirkan.
ADVERTISEMENT
Seorang spesialis Africa hairstyle bernama Tamara Albertini berpendapat, cultural appropriation menjadi sensitif. Itu karena, hal tersebut dapat menyinggung latar belakang budaya-budaya tertentu.
"Sejarah kami menunjukkan kerusakan yang disebabkan (cultural appropriation) menyebabkan kami berjuang dengan citra diri dan penerimaan diri," kata Tamara dikutip Fashionista.
Selena Gomez. Foto: Getty Images
Untuk menghindari tuduhan cultural appropriation atau perampasan budaya, Susan Oludele yang pernah menata rambut Beyoncé, menawarkan solusi. Khususnya, dalam penataan rambut kepang yang akhir-akhir ini menjadi tren.
Dia berpendapat, cultural appropriation dapat diatasi tergantung dengan niat awal yang ingin disampaikan ketika membuat imaji dengan gaya rambut tersebut. Yakni, berupaya menciptakan inspirasi. Jangan hanya, mencari popularitas semata.
Selaras dengan itu, Tamara Albertini menambahkan, agar menyertakan kredit terhadap inspirasi gaya rambut yang diadopsi. Lewat penyebutan spesifik nama budaya yang dipakai.
Throwback: Agnez Monica Foto: Putri Sarah Arifira/kumparan
Namun, Rosemary J. Coombe dalam esainya yang berjudul The Properties of Culture and the Politics of Possessing Identity: Native Claims in the Cultural Appropriation Controversy (1993) menolak konsep cultural appropriation.
ADVERTISEMENT
Sebagai anti-apropriasi, menurut dia budaya itu terbuka. Artinya, bebas mengalir ke segala arah, terus-menerus berproses, berkembang, dan berubah. Dia menentang para penuduh cultural appropriation yang hanya berasumsi bahwa suatu budaya merupakan inventori yang tertutup.
Mendukung pendapat Coombe, Philip Carl Salzman dalam esainya yang berjudul Cultural Diffusion and Cultural Appropriation (2017) menganalisis bahwa cultural appropriation sebenarnya sebuah serangan kritik terhadap orang kulit putih. Namun, tidak berlaku sebaliknya.
Itu karena, orang kulit putih tidak marah ketika orang Afrika-Amerika meluruskan rambut mereka atau mewarnainya pirang. Juga ketika orang Afrika-Amerika lebih memilih berbicara dalam Bahasa Inggris dibanding bahasa ibunya sendiri.
"Jadi apa yang tampaknya dituduhkan oleh tuntutan budaya adalah upaya untuk membingkai orang kulit putih salah secara moral. Dengan kata lain, apropriasi budaya tidak lebih dari politik rasial dengan cara lain," tulis Salzman dalam esainya.
ADVERTISEMENT