Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Nasib Seorang Stuntman: Hidup Berkalang Bahaya
1 Desember 2017 18:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Thank you istriku Utami Ayuh buat kekuatan doa… kesabaran… dukungan buat kami di sini. Tuhan beserta kita. Amin.
ADVERTISEMENT
Tulisan itu diunggah Edison Wardhana di akun Instagram-nya, menyertai video pendek yang memperlihatkan saluran televisi SCTV tengah menayangkan persiapan atraksi Death Drop Demian. Hari itu, Rabu (29/11), pesulap Demian Aditya hendak mengulang atraksinya yang tak memuskan di America’s Got Talent, pada ajang SCTV Awards.
Edison, salah satu kru Demian, juga ikut bersiap. Sebelum beraksi membantu Demian, ia berucap salam mesra untuk sang istri, Ayuh Dyah Utami, via Instagram.
Beberapa waktu kemudian, kita tahu, Edison yang ternyata stuntman, terluka parah. Ia berada di dalam peti yang jatuh ke tombak-tombak yang telah disulut api.
Edison dilarikan ke rumah sakit dan sempat koma sebelum kini sadar.
Pada abad 21, aksi-aksi berbahaya dan mencengangkan yang biasa kita saksikan di layar kaca maupun perak sudah jadi tontonan umum. Kebut-kebutan liar di jalan, melayang dari ketinggian, hingga bergumul dengan aksi ledakan.
ADVERTISEMENT
Tak semua orang sadar bahwa di setiap aksi berbahaya yang ditampilkan, ada sebuah profesi yang amat berisiko. Mereka adalah stuntman.
Stuntman mempertaruhkan nyawa untuk setiap adegan menegangkan itu. Mereka kerap dianggap sebagai daredevil, sebutan bagi orang-orang yang melakukan aksi berbahaya, dan bisa jadi berujung maut.
Profesi stuntman ada di setiap ranah produksi yang membutuhkan aksi pemeran pengganti. Umumnya, stuntman memang lebih dikenal di industri perfilman. Namun, industri hiburan seperti sirkus, teater, dan sulap ternyata justru menjadi awal dari kelahiran profesi tersebut.
Menggeluti pekerjaan sebagai seorang pemeran pengganti jelas tak mudah. Risiko cedera hingga mati niscaya mengintai para pelakon profesi ini.
Sejak tahun 1959 hingga 2012, sekitar 23 stuntman meninggal di lokasi syuting. Ini belum termasuk korban stuntman yang tak terlaporkan.
ADVERTISEMENT
Selain harus bertaruh dengan nyawa, stuntman pun harus puas hidup di balik bayang-bayang popularitas sang aktor. Dengan kata lain: mereka harus rela tidak terkenal.
Bayaran stuntman di tiap negara berbeda-beda. Di Inggris, stuntman digaji lebih mahal, sekitar 30.000 poundsterling atau hampir setara Rp 550 juta. Itu kalau si stuntman terus-menerus stabil memperoleh pekerjaan.
Sementara industri Hollywood, AS, menetapkan upah stuntman sesuai kebijakan yang dibuat oleh Screen Actors Guild-American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA)--sebuah serikat pekerja Amerika di bidang industri hiburan--sebesar 889 dolar AS atau setara dengan Rp 12 juta per harinya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Jelas lebih kecil dari itu. Maka di sini, pekerjaan stuntman pada dasarnya tak mendatangkan kestabilan secara finansial.
Pekerjaan stuntman terasa lebih sulit ketika ia harus melakukan aksi-aksi pertunjukan langsung, seperti dalam perhelatan sirkus maupun sulap. Keduanya sungguh berbeda dengan stuntman pada syuting film.
ADVERTISEMENT
Bila dalam tiap aksi yang difilmkan, mekanisme keamanan dibuat untuk mendukung aksi dapat diedit oleh tim produksi, tidak begitu dengan pertunjukan langsung. Penonton dapat melihat jelas apa yang dilakukan oleh performer maupun stuntman.
Freese dalam bukunya, Hollywood Stunt Perfomers, 1910s-1970s: A Biographical Dictionary, mengungkapkan bahwa stuntman terbiasa membuat koreografi dengan bantuan teknologi dalam beraksi. Tapi tetap saja, aksi mereka berbahaya dan berisiko tinggi. Alhasil, kecelakaan seolah jadi nasib umum dalam kehidupan stuntman.
Penelitian Screen Actors Guild pada 1982 dan 1984 memperlihatkan, sekitar 53 persen pemeran film yang mengalami kecelakan di lokasi syuting merupakan stuntman. Bentuk kecelakaan yang paling sering terjadi adalah terjatuhnya stuntman dari bangunan tinggi, dan tabrakan.
Itu angka di luar Indonesia. Sementara Indonesia sendiri belum memiliki catatan soal jumlah stuntman atau data kecelakaan yang dialami stuntman.
ADVERTISEMENT
Namun seiring industri hiburan yang semakin maju, risiko kecelakaan seharusnya bisa dikurangi. Paling tidak, stuntman tak lagi harus bertaruh dengan nyawa.
Akar Kemunculan
Aksi stuntman dapat ditelusuri sejak abad ke-18 dan 19 di belahan dunia Barat. Penampilan awal dari profesi stuntman biasanya dilakoni oleh anggota sirkus maupun penghibur jalanan, khususnya para pesenam dan pelaku akrobat terlatih. Mereka biasa disebut cascadeur.
Selanjutnya pada tiap pertunjukan sirkus Jerman dan Belanda, mereka mulai disebut dengan nama kaskadeur. Istilah ini berarti “melakukan lompatan dan aksi yang berani tanpa cedera”. Untuk itu, para pelakonnya perlu latihan khusus dan kontrol tubuh sempurna.
Istilah stunt secara formal mulai diadopsi pada abad ke-19, ketika Vaudeville--pertunjukan hiburan yang berkembang di Amerika Utara--mulai terkenal pada 1880-an. Dalam Vaudeville, aksi-aksi menegangkan digelar, melibatkan pertarungan dengan senjata api dan panah.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, adegan-adegan stage combat--tahapan teatrikal yang melibatkan adegan pertarungan dengan senjata--mulai umum dilakukan para pemain teater di Eropa, negara-negara Commonwealth, dan Amerika Utara.
Aksi permainan dan pertempuran dengan menggunakan ilmu bela diri anggar juga menjadi formula umum dalam pertunjukan-pertunjukan teatrikal pada masa itu. Senjata yang digunakan tak hanya pistol, tapi mulai berkembang dari rapier (pedang khusus untuk beladiri anggar) hingga pisau belati.
Peran stuntman lantas berlanjut di industri perfilman. Awal tahun 1900-an menjadi titik kebangkitan industri film Barat. Namun saat itu, stuntman belum menjadi profesi yang umum di industri perfilman.
Sutradara dan produser film cuma akan menyewa orang-orang yang cukup gila dan mau melakukan aksi-aksi menegangkan secara gratis untuk bermain di film produksi mereka.
ADVERTISEMENT
Stuntman yang disewa secara profesional untuk pertama kalinya adalah Keystone Kops, sebuah kelompok komedi yang terdiri dari anggota polisi bohongan yang inkompeten, dan Buster Keaton, seorang aktor Amerika.
Dalam kiprah awal sebagai stuntman, mereka sama sekali tak terlatih. Film-film aksi modern juga belum lahir saat itu. Karenanya pekerjaan stuntman waktu itu lebih ditujukan pada komedi slapstick, jenis komedi fisik yang mudah dicerna penonton.
Selanjutnya sekitar tahun 1910, penonton film Barat mulai menyukai film-film action yang melibatkan pertempuran atau perkelahian menegangkan. Kemunculan film jenis ini mendorong perkembangan stuntman. Mereka menggantikan aktor memainkan adegan berbahaya dalam film.
Kebangkitan semangat Western dalam film bisu maupun film dengan suara, juga mendorong para pelakon rodeo, olahraga menggiring ternak seperti kuda, untuk menjadi bintang film dan stuntman. Tom Mix dan Yakima Canutt menjadi dua aktor yang terkenal pada masa itu. Hingga Canutt yang sukses kemudian mendirikan perusahaan penyedia stuntman.
ADVERTISEMENT
Dengan perusahaan barunya, Canutt merekrut orang untuk menjadi stuntman dan mengembangkan teknik-teknik berbahaya secara relatif aman. Aksi stuntman pun semakin dikenal seiring perkembangan zaman dan kian dibutuhkan di era perfilman masa kini yang lebih modern.
Aksi stuntman jadi beragam. Dilansir actionartist.de, terdapat 9 jenis aksi stuntman, yakni body stuntman yang menggantikan peran aktor, stage-combat atau bela diri, auto-stunt yang melibatkan mobil, motorrad-stunt atau aksi berlaga di atas motor, crash-stunt atau aksi terlibat kecelakaan, horse-stunt atau aksi laga di atas kuda, rigging atau aksi terkait tali-temali, pyroeffekte atau aksi yang melibatkan api sebagai efek spesial.
Perkembangan Teknologi
Pada awal kemunculan industri perfilman, teknologi stuntman masih sangat tradisional dan tidak memiliki standar keamanan yang baik. Para sutradara dan produser film pada masa itu sering kali menyewa orang yang benar-benar mau melakukan aksi berbahaya, seperti menggantungkan diri di sebuah bangunan tinggi, tanpa prosedur keamanan.
ADVERTISEMENT
Era 1960 dan 1970-an menandai perkembangan teknologi pengganti (stunt) yang modern. Sebut saja kantong udara (air bag) dan petasan peluru.
Akan tetapi, kecanggihan teknologi di sisi lain justru menjadi ancaman bagi stuntman. Ancaman terutama datang dalam wujud teknologi computer generated images atau yang lebih dikenal sebagai CGI.
Teknologi CGI memungkinkan seorang aktor untuk melakukan aksi berbahaya tanpa benar-benar melakukannya, namun dengan bantuan manipulasi grafis komputer. Teknologi ini pun memungkinkan sutradara dan produser film untuk menghadirkan aksi-aksi berbahaya yang mahal dan tak terbayangkan sebelumnya.
Pada 2003, seperti dilansir latimes , studio dan produser film di Amerika mulai memperhatikan prosedur keamanan dengan lebih matang, dan kebanyakan adegan berbahaya pun digantikan dengan teknologi CGI.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, teknologi CGI bukan tanpa cela. Ia mahal dan tak mudah. Selain itu, selalu ada permintaan untuk konteks realisme dalam industri perfilman. Artinya, adegan-adegan yang dulu bohongan dan uji coba, diminta untuk dilakukan secara nyata.
Nuansa nyata yang diinginkan penonton, ironisnya, menjadi salah satu penyebab terjadinya banyak kasus kecelakaan stuntman. Hal ini dikemukakan Quirke dalam penelitiannya, Stunt Related Injuries in the Motion Picture and Film Industry: A Literature Review.
Meski tentu, tingginya permintaan realisme dalam film menjamin profesi stuntman terus eksis.
Kebutuhan atas tontonan menegangkan (baca: berbahaya) selamanya jadi candu.