Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Imey terlihat resah siang itu, Sabtu (9/11). Berkali-kali ia me-refresh laman email pribadinya. Ia menanti sesuatu. Bukan kabar dari kekasih di negeri seberang atau hasil wawancara kerja, melainkan pengumuman undian untuk menghadiri fan meeting Arashi —idol group asal Jepang yang amat tenar di negerinya.
Arashi mungkin tak dikenal luas oleh khalayak Indonesia, namun amat berarti bagi Imey yang mengidolakannya. Idol group itu punya lima orang anggota (Satoshi Ohno, Sho Sakurai, Masaki Aiba, Kazunari Ninomiya, Jun Matsumoto), dan eksis sejak 1999.
Di Jepang, Arashi dikenal sebagai idol group yang konsisten menduduki puncak Oricon—tangga lagu bergengsi di negara itu. Pokoknya, tiap kali Arashi merilis single, album, dan DVD, ia selalu melesat ke puncak chart.
Sepuluh tahun sejak awal terbentuk, popularitas Arashi terus melejit. Pada 2008 dan 2009, ia menjadi grup musik pertama dalam sejarah Jepang yang menempati posisi dua teratas pada chart Oricon lewat sejumlah single mereka—Truth/Kaze no Mukō e dan One Love, serta Believe/Kumorinochi, Kaisei dan Ashita no Kioku/Crazy Moon (Kimi wa Muteki).
Tak heran album Arashi, All the Best! 1999-2009, menjadi album musik dengan penjualan terbaik di Jepang pada 2009 (mencapai 1,43 juta kopi). Dengan pencapaian spektakuler itu, wajar bila idola Arashi menyebar hingga luar Jepang.
Sayangnya, tak mudah jadi fans Arashi jika tak berdiam di Negeri Sakura. Pasalnya, Johnny’s Entertainment—agensi yang menaungi Arashi dan sejumlah idol group legendaris Jepang lain seperti SMAP, Tackey & Tsubasa, NEWS, KAT-TUN, Hey! Say! JUMP, dan Kanjani8—punya sederet syarat ketat bagi penggemar J-Pop di luar Jepang yang ingin bergabung dengan fan club Johnny’s Family Club (JFC) untuk menjangkau grup musik idola mereka, termasuk Arashi.
Bayangkan, salah satu syarat mendaftar menjadi member JFC adalah memiliki alamat rumah di Jepang. Artinya, ya tentu saja harus punya rumah di Jepang! Selain itu, pendaftar juga harus punya nomor telepon berkode area Jepang.
Alhasil, penggemar Arashi di luar Jepang harus cari akal untuk menjadi member JFC. Salah satunya dengan menggunakan “jasa penitipan” yang marak di internet. Satu situs penitipan, misalnya, membanderol tarif Rp 900 ribu-an buat mereka yang mau didaftarkan menjadi anggota JFC. Biaya itu belum termasuk ongkos kirim untuk mengirimkan kartu member ke luar Jepang dan newsletter kiriman dari JFC.
Demi dekat dengan idola, sebagian fans bersedia menempuh sejuta cara. Sebab, sekali menjadi anggota Johnny’s Family Club yang memayungi Arashi, fans mendapat berbagai keuntungan. Misalnya, bisa menonton video eksklusif berbagai idol group JFC, mendapat informasi terkini atau pamflet seputar para anggota band, dan berkesempatan nonton konser mereka.
Mungkin sebagian orang kemudian bertanya, kenapa harus repot-repot mengincar tontonan video eksklusif? Kenapa tidak nonton di YouTube saja?
Begini, Johnny’s Entertainment—dan bisnis J-Pop secara keseluruhan—memang berbeda. Mereka sangat eksklusif. Di zaman serba-digital seperti sekarang, mereka masih mementingkan penjualan album atau single secara fisik lewat CD atau DVD, bukan melalui saluran distribusi digital semacam YouTube atau Spotify.
Hampir semua idol group besutan Johnny’s Entertaiment tak punya channel YouTube maupun akun media sosial. Baru pada 20 Agustus 2019, official channel Arashi di YouTube dibuat. Instagram resmi Arashi pun baru dibikin pada 3 November 2019.
Sebelum itu, jangan harap para penggemar J-Pop bisa mendengar bebas lagu-lagu Arashi di pasaran. “Biasanya tuh harus punya CD atau DVD-nya kalau mau dengerin lagu mereka (Arashi). Kalau enggak, mau denger dari mana? Yang di Spotify dan YouTube kan baru-baru ini aja,” keluh Imey.
Cerita serupa terlontar dari Richa, seorang karyawan swasta di Jakarta yang menjadi fans Arashi sepuluh tahun terakhir. Ia rajin menyisihkan uang saku untuk membeli CD dan merchandise Arashi demi memuaskan hati. Buatnya, hal itu wajar saja sebagai bentuk kontribusi seorang fans terhadap idolanya.
Richa yang kini berusia 27 tahun, pertama kali mengenal Arashi saat duduk di bangku SMP.
“Pertama lihat Arashi tuh di (drama Jepang tahun 2003 berjudul) Stand Up! yang dibintangi Nino (Kazunari Ninomiya, anggota Arashi). Dari situ, aku mulai jadi stalker. Dulu kan juga sempet booming drama Jepang Hana Yori Dango (tahun 2005 yang dibintangi antara lain oleh anggota Arashi, Jun Matsumoto). Aku terus cari-cari informasi tentang Arashi dan lagu-lagunya,” kata Richa.
Hana Yori Dango yang disebut Richa sebetulnya berawal dari manga atau komik Jepang yang pertama kali terbit pada 1992. Saking populernya, ia diadaptasi menjadi serial TV di banyak negara Asia, mulai Meteor Garden di Taiwan pada 2001, Meteor Shower di Tiongkok pada 2009, Boys Over Flower di Korea Selatan pada 2009, Siapa Takut Jatuh Cinta di Indonesia pada 2002, hingga Boys Before Friends pada 2013 yang versi Hollywood.
Di negara asalnya sendiri—Jepang, Hana Yori Dango muncul dalam serial TV dengan judul yang sama pada 2005. Di situ, Jun Matsumoto menjadi salah satu aktornya. Oleh karena itu banyak penonton drama tersebut yang kemudian menggandrungi Arashi seperti Richa.
“Kalau mau nonton Arashi tuh harus ke Jepang. Belum lagi beli tiketnya di sana harus saingan pula sama fans Jepang. Terus sistem pembeliannya kan diundi, jadi enggak tahu kita dapetnya buat konser yang kapan,” kata Tisa, penggemar lain Arashi yang mengidolakan boy band itu sejak duduk di bangku SMA 13 tahun lalu.
Bagi Tisa kala itu, menonton konser Arashi secara langsung tidaklah mungkin. Jangankan nonton konser, mau mendengar lagu-lagunya saja sampai tahun lalu masihlah merepotkan. Para fans Arashi di Indonesia biasa mengincar rilis fisik lagu Arashi dalam bentuk CD atau DVD dengan memanfaatkan jasa titip atau memesan awal (pre-order).
Hal itu jelas tak dialami para penggemar K-Pop yang punya seabrek kemudahan untuk mengakses lagu-lagu idola mereka, bahkan menonton konsernya secara langsung.
“Tinggal nonton di YouTube atau streaming di Spotify dan Melon (jasa streaming musik Korea Selatan). Banyak bangetlah pilihannya,” ujar Niken yang menggandrungi K-Pop sejak 2009.
Memang K-Pop tak sama dengan J-Pop. Sementara model bisnis K-Pop berorientasi global, pemasaran J-Pop fokus di dalam negeri sehingga sulit dijangkau fans di luar Jepang.
Hal tersebut, menurut Hiroaki Kato—musisi Jepang yang kini berkarier di Indonesia, bukan tanpa alasan. Selama ini, artis Jepang bisa hidup dari bermusik tanpa harus susah-susah memasarkan produk mereka ke luar negeri.
“Pasar di Jepang saja sudah besar, daya belinya sangat tinggi. Dan mereka (Arashi) sudah punya nama di Jepang, jadi otomatis bisa hidup,” ujarnya di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, Minggu (10/11).
Hiroaki menjelaskan, regulasi soal keuntungan hasil penjualan CD, DVD, dan merchandise, sampai perkara fee artis dan hak cipta lagu, sangat ketat di Jepang. Selain itu, para pelaku industri musik di Jepang juga saling menjalin kerja sama erat untuk mematok satu harga untuk album/single agar para musisi dapat hidup dari bermusik.
Sebagai contoh, di Indonesia satu album musik dihargai Rp 50 ribu, sedangkan di Jepang nilainya jauh lebih tinggi. Di sana, satu single saja dibanderol 500 yen atau setara dengan Rp 64 ribu. Itu hanya untuk satu lagu, bukan satu album yang berisi kumpulan sejumlah lagu.
Nilai tinggi dalam industri musik itu tak ayal menjadi jaminan penghidupan layak bagi musisi-musisi Jepang. Alhasil, mereka tak merasa urgent untuk menembus pasar internasional.
Kondisi berbeda, lanjut Hiroaki, terjadi pada K-Pop. Ia memandang artis Korea tak bakal bisa hidup hanya dari pasar Korea. Mereka harus go international dan pemerintah Korea Selatan pun kerap memberi fasilitas atau kemudahan bagi artis-artisnya untuk merambah pasar luar.
Hal lain yang patut dicermati, menurut dosen bahasa dan budaya Korea UI, Zaini, K-Pop muncul bertepatan dengan melesatnya industri digital.
“Menjelang 2000-an, musik pop dunia terus berkembang. Saat itu Korea juga memperbaiki perinternetan dalam negeri yang menjadi dasar penyebaran berbagai informasi multimedia. Jadi Korea bisa tahu perkembangan selera (pasar) dari situ,” kata Zaini.
Perkembangan pop Korea yang beriringan dengan industri digital akhirnya pula menopang persebaran K-Pop ke pasar global. Berbanding terbaik dengan J-Pop yang menghindari ranah digital sebagai media promosi musisi-musisinya.
Lagu-lagu Arashi saja baru bisa didengar di platform musik digital seperti Spotify dan Apple Music pada 2019 ini.
2019 juga menjadi tahun “bersejarah” bagi Arashi. Setelah pada awal tahun ia mengumumkan hiatus atau vakum dari kegiatan bermusik, di akhir tahun ia mengejutkan penggemarnya dengan menggelar fan meeting keliling Asia bertajuk Jet Storm.
Tur menyapa fans di Jakarta, Singapura, Bangkok, dan Taipei itu bertepatan dengan ulang tahun ke-20 Arashi, sekaligus menjadi momen pertamanya keluar kandang setelah selama ini hanya berkarier di Jepang.
Meski demikian, acara digelar terbatas. Fan meeting hanya dihadiri 50 penggemar terpilih dari sekitar 2.200 orang yang ikut undian untuk berjumpa Arashi di Jakarta.
Itu sebabnya, Imey yang mengidolakan Arashi begitu risau menunggu hasil undian. “Aku pikir pengumumannya Sabtu siang, soalnya Minggu udah preskon Arashi. Tapi kok aku tunggu sesiangan nggak ada email (pemberitahuan hasil undian). Syukur akhirnya jam 16.45 aku dapat email menang undian. Seneng bangetlah,” kata Imey, tersenyum semringah.
Dengan sejarah Arashi—dan J-Pop secara umum—yang demikian eksklusif, mendapat kesempatan bertemu musisi idola jadi momen langka sekaligus istimewa.
Memang, tak semua band Jepang seeksklusif Arashi . Di luar genre pop, band-band rock Jepang (J-rock) seperti One OK Rock, X Japan, sampai L’Arc-en-Ciel atau Laruku, punya lagu-lagu yang lebih mudah diakses di internet. Rilis CD mereka pun masuk ke pasar Asia, bahkan konser mereka digelar di Indonesia.
“Lebih mudah jadi fans J-rock ketimbang J-Pop. Kalau J-Pop tuh kayak lu harus fan club member dulu kalau mau beli apa-apa. Jadi lu mau, lu bayar. Ada duit, ada barang,” tutup Richa.