Review 24 Jam Bersama Gaspar: Visualisasi Distopia Gemilang, Lemah di Cerita

18 Maret 2024 13:58 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Film 24 Jam Bersama Gaspar. Foto: Instagram/@24jambersamagasparfilm.
zoom-in-whitePerbesar
Film 24 Jam Bersama Gaspar. Foto: Instagram/@24jambersamagasparfilm.
ADVERTISEMENT
24 Jam Bersama Gaspar merupakan film terbaru karya sutradara Yosep Anggi Noen. Film yang tayang di Netflix ini menyajikan visualisasi distopia yang menarik. Kemuraman, kehancuran dan dunia pasca-apocalipstick Indonesia ditampilkan sangat elegan secara visual.
ADVERTISEMENT
Namun, kelemahan cerita membuat konflik dan kegetiran tiap tokoh seolah dipaksakan. Berdurasi 98 menit, 24 Jam Bersama Gaspar meninggalkan kesan yang hampa usai film berakhir.

Sinopsis Film 24 Jam Bersama Gaspar

Sebelum menyutradarai film 24 Jam Bersama Gaspar, Yosep Anggi Noen menggarap film Science of Fictions (2019) dan Istirahatlah Kata Kata (2016).
Atmosfer dalam film 24 Jam Bersama Gaspar bisa disebut senada dengan Science of Fictions. Permainan visual yang apik membuat film ini tak bosan untuk disaksikan.
24 Jam Bersama Gaspar adalah adaptasi dari novel berjudul sama karya Sabda Armandio. Irfan Ramly lalu menerjemahkan film tersebut menjadi skenario.
Film tersebut menceritakan seorang detektif swasta yang mempunyai sisa hidup hanya 24 jam. Dia mengikuti berbagai petunjuk membingungkan untuk menguak misteri hilangnya kawan masa kecilnya.
ADVERTISEMENT
Alur maju dan mundur tersaji di sepanjang film dengan harapan penonton mampu memahami keseluruhan isi cerita dan konflik yang ada di dalam diri Gaspar.
Film 24 Jam Bersama Gaspar. Foto: Dok. Istimewa

Bahasa Baku

Salah satu yang menarik dalam film 24 Jam Bersama Gaspar adalah dialog antar tokoh yang menggunakan bahasa baku. Bahasa yang diterjemahkan dari novel oleh Irfan Ramly sangat sesuai dengan kaidah dan jarang menggunakan bahasa percakapan.
Ada beberapa kalimat indah yang dilontarkan Gaspar dan membuat kita berpikir jika terus menerus diulang. Sebagai contoh:
"Seberapa sering kalian memikirkan niat jahat, tapi tak pernah berani melakukannya."
"Kematian bisa datang kapan saja, jadi tak perlu repot merencanakannya."
"Bahagia saja konsep yang rumit. Apalagi bahagia dalam kemiskinan."
Berbagai dialog dalam film ini memperkenalkan keindahan bahasa Indonesia yang teduh seperti aliran sungai. Meski begitu, bagi sebagian penonton yang tak terbiasa dengan bahasa sastrawi, film ini akan terkesan membosankan.
ADVERTISEMENT

Soundtrack yang Menghangatkan Suasana

24 Jam Bersama Gaspar memanfaatkan soundtrack yang indah. Beberapa lagu seolah menjadi bagian dari cerita itu sendiri, bukan sebagai pengiring. Oleh karenanya, scoring film menjadi elemen penegas warna distopia muram dalam 24 Jam Bersama Gaspar.
Lagu-lagu milik FSTVLST hingga Mustache And Beard, harus diakui, sangat pas menjadi soundtrack perjalanan Gaspar. Ditambah, lagu Mesra-mesraannya Kecil-kecilan Dulu milik Sal Priadi bisa membuat penonton ikut masuk dalam rasa haru-rindu tokoh Gaspar dengan teman masa kecilnya.
Eksekusi visual dan scoring yang mengesankan menjadi nilai plus untuk film 24 Jam Bersama Gaspar.
Film 24 Jam Bersama Gaspar. Foto: Dok. Istimewa

Kelemahan cerita

Akar cerita yang gagal dibangun dengan motif yang kuat menjadi penyebab utama penonton sulit terhubung dengan perjalanan Gaspar. Alasan itu bisa membuat rasa tertarik penonton tergerus, meskipun perjalanan Gaspar terus menemui beragam konflik.
ADVERTISEMENT
Salah satu penyebabnya adalah plot film yang berjalan tergesa-gesa. Pondasi kedekatan penonton dan karakter jadi gagal terbangun.
Motif Gaspar menggagas pencurian toko Wan Ali, misalnya, rasanya kurang kuat. Sengsara hidup tiap tokoh memang disebabkan oleh antagonis Wan Ali. Namun, penceritaan yang singkat membuat simpati jadi gagal terbangun.
24 Jam Bersama Gaspar adalah karya monumental Anggi Noen yang menegaskan bahwa dirinya piawai menerjemahkan sebuah novel menjadi film. Selain itu, permainan visual distopia yang unik dalam film ini juga salah satu yang patut dicatat sebagai hal baru di Indonesia.
Anggi Noen cermat memilih elemen futuristik film Gaspar. Sepanjang film, teknologi canggih Indonesia di masa depan ditampilkan, sebuah upaya merawat latar cerita agar tetap dekat dengan suasana lokal.
ADVERTISEMENT

Akting Reza Rahadian

Salah satu yang patut dibahas terpisah adalah akting Reza Rahadian sebagai Gaspar. Sekali lagi, Reza menegaskan bahwa dirinya adalah aktor serba bisa.
Dengan keterbatasan ruang dan dialog yang kaku, Reza bisa tetap menggambarkan kepedihan dan masalah yang menusuk Gaspar dari berbagai sisi kehidupan.
Gaspar selalu ingat akan mati dalam 24 jam, sementara dia harus membalas dendamnya kepada Wan Ali agar membayar kerinduannya terhadap teman masa kecilnya.
Namun, pujian di atas hanya bisa digambarkan oleh sosok Reza seorang. Reza terkesan kurang terhubung dengan aktor pendukung lain dalam film ini seperti Shenina Cinnamon, Laura Basuki, Sal Priadi, dan Cristo Immanuel. Chemistry di antara mereka terasa hambar dan hanya berfokus pada penuntasan misi.
ADVERTISEMENT
Secara singkat, film 24 Jam Bersama Gaspar adalah karya unik, warna baru bagi perfilman Indonesia. Bagi kalian yang suka suasana futuristik, post-apocalytic, hingga percakapan puitis, film ini tentu saja cocok dan bisa menghibur.