Review Film Siksa Kubur: Hadirkan Kengerian Tanpa Harus Banyak Jumpscare

4 April 2024 12:07 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Poster film Siksa Kubur. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Poster film Siksa Kubur. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apakah kamu percaya Siksa Kubur ada? Jika ada, apakah siksa antara satu orang dan lainnya berbeda? Apakah dosa dan semua tindakan kita di dunia mendapatkan ganjarannya di alam kubur nanti?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan-pertanyaan di atas terbesit di benak Sita (Faradina Mufti), karakter utama yang menggerakkan cerita di film Siksa Kubur. Film terbaru sutradara Joko Anwar itu diproduksi oleh Come And See Pictures dan siap tayang di bioskop pada 11 April mendatang.
Menyaksikan film ini seperti disiksa secara psikologis. Berbagai aspek tragis dan kengerian digambarkan dengan sangat konkret tanpa ada kesan menggurui.
Joko Anwar memberikan suguhan horor yang jauh berbeda dari karyanya sebelumnya; meminimalisir jumpscare, serta menguatkan unsur penokohan dan cerita tragis secara psikologis. Pilihan yang dibuat Joko Anwar ini patut dicatat ke dalam beberapa bagian.
Konferensi pers official poster film Siksa Kubur di Epicentrum, Jakarta, Rabu, (28/2/2024). Foto: Agus Apriyanto

Sinopsis Film Siksa Kubur

Siksa Kubur mengisahkan seorang wanita bernama Sita yang kehilangan kepercayaan terhadap Tuhan semenjak kematian kedua orang tuanya yang diakibatkan oleh bom bunuh diri.
ADVERTISEMENT
Setelah kejadian memilukan itu, Sita mulai mempertanyakan kebenaran terkait adanya siksa kubur. Apakah siksa kubur itu nyata atau itu hanya mitos yang diciptakan oleh agama dan masyarakat?
Sita ingin membuktikan bahwa pandangan agama dan masyarakat itu keliru. Siksa kubur itu tidak ada dan agama itu tidak nyata.
Untuk membuktikannya, Sita memulai perjalanannya dengan mencari pendosa yang hidupnya sudah tidak lama lagi. Ia berencana untuk ikut dikuburkan dengan pendosa tersebut.
Tindakan Sita menuai konsekuensi besar. Dari sana, kengerian-kengerian mulai terjadi hingga membawa Sita kepada sebuah pemahaman sesungguhnya.
Teaser poster film Siksa Kubur. Foto: Instagram/@jokoanwar

Dua Bagian Cerita

Apabila diperhatikan, film ini bisa dibagi ke dalam dua bagian cerita besar. Bagian pertama, adalah pengenalan karakter. Di bagian ini Joko Anwar menggambarkan detail perjalanan tokoh Sita dan Adil serta tragedi yang mereka rasakan hingga menghasilkan rasa skeptis terhadap Siksa Kubur. Orang tua Sita dan Adil, Sanjaya (Fachry Albar) dan Mutia (Happy Salma) mati karena bom bunuh diri. Hal tersebut menjadi motif Sita tak percaya agama dan Siksa Kubur.
ADVERTISEMENT
Karakter lain juga diperkenalkan secara detail. Ada Slamet Rahardjo sebagai Wahyu, Ninik L Kariem sebagai Juwita, Christine Hakim sebagai Nani, dan Arswendy Bening Swara sebagai Pandi. Mereka adalah penghuni panti jompo, tempat Sita bekerja.
Sementara bagian kedua film berfokus pada kengerian yang lahir dari pertanyaan Sita mengenai Siksa Kubur. Sita masuk ke dalam kubur, berbaring di sisi orang paling berdosa, dan menemui beragam konsekuensi atas sikap skeptisnya tentang Siksa Kubur.
Pengalaman-pengalaman itu menghadirkan kengerian, terutama ketika Sita menyaksikan langsung bagaimana siksa di dalam kubur itu terjadi.
Joko Anwar saat ditemui di kantor Come And See Pictures di Kemang, Jakarta Selatan, Senin (4/3/2024). Foto: Vincentius Mario/kumparan

Kritik sosial

Melalui tema agama, Joko Anwar tidak sekadar mengandalkan visual mencekam, melainkan juga membawa gagasan yang menusuk hati penontonnya.
Ada dua fenomena sosial yang dianggap tabu di masyarakat, tetapi justru diangkat Joko Anwar dalam film ini. Dua isu itu adalah bom bunuh diri dan pelecehan seksual di kalangan santri.
ADVERTISEMENT
Joko Anwar menyajikan bagaimana relasi kuasa, uang dan kedudukan, bisa membuat orang bertindak semena-mena terhadap orang lain tanpa menyadari akibatnya.
Konferensi pers official poster film Siksa Kubur di Epicentrum, Jakarta, Rabu, (28/2/2024). Foto: Agus Apriyanto

Sinematografi

Tidak bergantung sepenuhnya pada CGI, film Siksa Kubur menggunakan efek praktikal untuk mencapai kecemasan maksimal. Hal tersebut menambah kengerian, meskipun film ini minim jumpscare.
Suasana redup, hampa, dan dingin, dihadirkan secara konsisten oleh Joko Anwar di sepanjang film.
“Tantangan terbesarnya adalah bagaimana membuat segala aspek dari film ini terasa nyata. Bagaimana supaya penonton percaya siksa kubur itu ada," kata Joko Anwar dalam konferensi pers, beberapa waktu lalu.
Terkhusus untuk set di kuburan, hampir semua elemen yang hadir adalah bagian dari practical effect. Joko Anwar hanya menggunakan CGI lewat ular Sajaul Al-Akra, ular yang menemani manusia di liang kubur.
ADVERTISEMENT
Ular tersebut menyiksa karakter paling berdosa yang berbaring bersama Sita di kubur tersebut.

Scoring

Tata suara juga menjadi elemen kuat, menemani desain visual Siksa Kubur yang mencekam. Scoring membantu penonton semakin meresapi setiap adegan dengan maksimal.
Penonton dibawa masuk ke dalam film dengan bantuan suara, sehingga pesan dengan lebih mudah ditangkap.
“Film ini penceritaannya separuhnya ada di tata suara. Kami ingin penonton merasa berada dalam kejadian yang dialami karakternya, termasuk di dalam kubur," ucap Joko Anwar.
Joko Anwar memang dikenal sering memanfaatkan scoring sebagai bagian dari cerita. Simak saja film horor seperti Pengabdi Setan pertama dan kedua. Elemen scoring atau suara itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari cerita.
Konferensi pers official poster film Siksa Kubur di Epicentrum, Jakarta, Rabu, (28/2/2024). Foto: Agus Apriyanto

Slamet Rahardjo Layak Dapat Piala Citra

Salah satu aktor yang menyita perhatian saya sepanjang film adalah Slamet Rahardjo. Sebagai Wahyu, Slamet Rahardjo membuktikan bahwa kemampuan beraktingnya tak lapuk dimakan usia.
ADVERTISEMENT
Hal itu ditunjukkan melalui kematangan emosi, ekspresi wajah, dan pelafalan setiap dialog yang keluar dari mulutnya.
Sebagai contoh, adegan ketika Adil (Reza Rahadian) mencekik Wahyu. Adegan ini dilakoni keduanya dengan sangat intens dan menyentuh.
Atau di adegan lain, ketika Wahyu bermonolog soal Siksa Kubur di hadapan Sita. Diiringi lagu Bengawan Solo, adegan itu jadi lebih bermakna dengan sentuhan teatrikal khas Slamet Rahardjo.
Untuk perannya di film ini, sepertinya Slamet Rahardjo layak diganjar Piala Citra.
Pemain film Siksa Kubur. Foto: Instagram/@jokoanwar

Kesimpulan

Secara singkat, Siksa Kubur adalah film yang menyajikan pertanyaan interaktif bagi penonton. Film ini adalah antitesis bagi banyak kalangan yang kerap mendengungkan bahwa film horor isinya selalu setan dan jumpscare.
Bentuk baru dan perspektif segar yang dibawa Siksa Kubur akan menjadi tonggak baru dalam film horor Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Ini sudah film saya yang ke-10. Setelah 20 tahun bekerja sebagai penulis dan sutradara, rasanya saya ingin membuat film yang lebih punya makna, lebih dewasa, dan secara cerita serta pembangunan karakter lebih kuat dari film-film saya sebelumnya,” tutur Joko Anwar.
Alih-alih sekadar menyuguhkan jumpscare dan kesadisan, Siksa Kubur akan membawa kengerian penonton hingga mempertanyakan keimanan yang dimilikinya setelah menonton film ini.
Kecerdasan Joko Anwar menciptakan sebuah film berkesan dan padat makna membuat saya tertarik menyimak hingga menit akhir Siksa Kubur. Tak sedetik pun saya mengalihkan pandangan dari layar bioskop dan berharap film ini terus mengalirkan keajaibannya.
Setelah kredit akhir film selesai diputar, saya tak bisa banyak berkata-kata dan hanya bisa duduk di dalam bioskop; merenung, dan berkata dalam hati, "saya akan percaya".
ADVERTISEMENT