Review Film Women From Rote Island: Bukan Soal Feminisme yang Membabi Buta

22 Februari 2024 12:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Irma Rihi dari film Women From Rote Island. Foto: Dok. GoodWork Indonesia
zoom-in-whitePerbesar
Irma Rihi dari film Women From Rote Island. Foto: Dok. GoodWork Indonesia
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Women From Rote Island merupakan film karya Jeremias Nyangoen yang tayang di bioskop Indonesia mulai 22 Februari 2024. Sebelum tayang di bioskop, film ini sudah menang di Festival Film Indonesia (FFI) pada 2023.
ADVERTISEMENT
Women From Rote Island berkisah tentang Martha (Irma Rihi) yang kembali ke Rote, NTT, setelah lama menjadi TKW di Malaysia. Namun, Martha pulang membawa trauma yang berat, karena kekerasan seksual yang dialaminya di perantauan.
Melihat dari judul dan premis utama, rasanya jelas jika dikatakan film ini mengangkat tema feminisme tentang perempuan yang hingga hari ini masih terus menjadi korban kekerasan seksual. Di sisi lain, film ini seolah ingin menyampaikan bahwa di dunia modern saat ini, sistem patriarki masih mengekang kaum wanita.
Linda Adoe dari film Women From Rote Island. Foto: Dok. GoodWork Indonesia
Namun, Women From Rote Island ini terasa menarik, karena feminisme yang disajikan tidak terasa membabi buta, seperti bagaimana Hollywood menyampaikan hal tersebut melalui film-filmnya akhir-akhir ini. Tidak ada yang terasa berlebihan di film ini, semua terasa nyata dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, biarpun latarnya berada di NTT.
ADVERTISEMENT
Contohnya saja tentang kekerasan terhadap TKW yang memang sampai detik ini masih jadi polemik. Jelang akhir tahun lalu saja, saat film Women From Rote Island ini sudah selesai syuting dan bahkan berkeliling di festival film internasional, masih ada TKW asal NTT yang menjadi korban kekerasan majikan hingga lebam parah dan hampir meninggal.
Film ini juga memperlihatkan bagaimana masyarakat Indonesia secara umum masih belum terbiasa dalam merawat seseorang yang menderita sakit mental, karena kekerasan yang dialami. Parahnya, ada berbagai budaya yang bukannya menyelamatkan, malah justru membuat luka dan derita korban semakin menjadi-jadi.
Linda Adoe dari film Women From Rote Island. Foto: Dok. GoodWork Indonesia
Secara tema, Women From Rote Island ini menarik untuk disimak, karena menyampaikan fakta secara gamblang dan tidak berlebih-lebihan. Di sisi lain, Jeremias sukses menampilkan sinematografi yang sangat apik dengan permainan long shot di 2/3 film.
ADVERTISEMENT
Banyaknya penggunaan long shot di film ini membuat penonton seolah ikut masuk dan menjadi 'tetangga' dari Martha. Grading warna juga berperan penting dalam membuat film ini terasa natural.
Kerennya lagi, Jeremias menggunakan jasa orang-orang asli NTT yang bukan aktor profesional sebagai pemeran film film ini. Bahkan, pemeran Orpa yang bernama Linda Adoe sebenarnya berprofesi sebagai ASN di kecamatan.
Linda Adoe dari film Women From Rote Island. Foto: Dok. GoodWork Indonesia
Biasanya, orang malas menonton film-film drama seperti ini, karena takut merasa bosan atau terlalu digurui dengan topik pembahasan dan bahasa-bahasa yang berat. Tapi, Women From Rote Island yang membawa pesan penting rasanya tidak seperti itu dan justru terasa sangat ringan.
Ada banyak selipan humor yang menarik di film ini. Para pemain pun sangat bisa menyampaikan ekspresi beragam yang tidak melulu serius dan terkesan tegang.
ADVERTISEMENT
Ada berbagai detail kecil serta simbol-simbol yang menarik untuk disimak di film ini. Detail-detail ini pula yang membuat pengalaman menonton Women From Rote Island terasa seru dan unik.