SGIFF 2023 Wadah Sineas Muda Regional Eksperimen dan Unjuk Gigi

10 Desember 2023 15:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Natasha Tontey dalam gelaran Singapore International Film Festival 2023. Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Natasha Tontey dalam gelaran Singapore International Film Festival 2023. Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Singapore International Film Festival 2023 banyak menampilkan karya eksperimental dari sineas-sineas Asia Tenggara. Film arahan sutradara Indonesia tak hanya dapat kesempatan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, di antaranya juga mendapatkan dukungan pendanaan.
ADVERTISEMENT
‘24 Jam Bersama Gaspar’ karya sutradara Anggi Noen tayang 4 Desember lalu di Kallang, dilanjutkan ‘Monisme’ arahan Riar Rizaldi yang bercerita tentang sudut pandang tiga karakter terhadap Gunung Merapi. ‘Monisme’ yang tayang di National Museum pada (8/12) lalu juga sebelumnya menang Golden Hanoman Award di JAFF 2023.
kumparan juga sempat menyaksikan pemutaran film pendek ‘Of Other Tomorrow’s Never Known’ arahan sineas Yogyakarta Natasha Tontey di Oldham Theatre, (9/12). Film yang terinspirasi dari pengetahuan adat kuno Minahasa bernama Makatana ini disajikan lewat perspektif teknologi, di mana Natasha membuat science fiction melibatkan karakter vampir yang diperankan aktor berdarah Minahasa Freddy Wowor.
Film pendek Of Other Tomorrow's Never Known karya Natasha Tontey. Foto: Istimewa
“Dalam film saya, saya membuat suatu metafora tentang teknologi Makatana sebagai spiritual enforces yang hidup sebelum manusia ada sampai manusia punah. Keseimbangan antara kepercayaan kuno, umum dan dunia manusia itu tidak seimbang karena ulah manusia juga,” kata Natasha saat berbincang sebelum pemutaran filmnya.
ADVERTISEMENT
Mengangkat unsur leluhur yang kini dianggap tabu, Natasha merasa mendapatkan pengalaman yang mencerahkan. “Ini seperti pilgrimage journey buat saya,” kata sutradara yang film sebelumnya ‘Wa’anak Witu Watu’ juga tayang di Singapore International Film Festival ke-32.
Sutradara asal Makassar Khozy Rizal juga berkesempatan memutar film pendek bernuansa komedi berjudul ‘Basri and Salma’ yang terinspirasi dari Odong-odong. ‘Basri & Salma’ merupakan satu-satunya film Indonesia yang berkompetisi di Palme d’Or at Cannes.
Khozy Rizal dalam gelaran Singapore International Film Festival 2023. Foto: kumparan
“Senang Basri and Salma bisa diputar di SGIFF, karena institusi ini juga salah satu yang memberi pendanaan ke film kita,” ucap Khozy saat ditemui di Objectiff, Middle Road.
Menurut Khozy, draft awal ‘Basri and Salma’ bercerita tentang kerapuhan dalam maskulinitas seorang tokoh pria, tetapi dalam perjalanannya tema sentral film tersebut berubah menjadi eksistensi umat manusia dalam sudut pandang pasangan suami-istri yang mengelola Odong-odong. Penggarapan skenario dilakukan selama enam bulan dengan supervisi dari produser John Badalu.
ADVERTISEMENT
“Produksi dua bulan, dan syutingnya cuma tiga hari,” kata sutradara yang sebelumnya mengarahkan City for Football Fans (2021).
Basri & Salma jadi film Indonesia pertama yang berkompetisi di Cannes. Foto: Istimewa
Singapore International Film Festival (SGIFF) merupakan rangkaian acara Singapore Media Festival (SMF) yang diinisiasi Infocomm Media Development Autorithy (IMDA) untuk mendukung dan menemukan talenta-talenta lokal serta regional agar karyanya bisa menjangkau audiens yang lebih luas. IMDA juga sempat memberikan pendanaan untuk film Vietnam berjudul ‘Inside the Yellow Cocoon Shell’, drama bertempo lambat yang menyorot kehidupan seorang pemuda dalam melewati serangkaian kejadian dalam hidupnya.
‘Inside Yellow Cocoon Sheel’ yang berdurasi hampir tiga jam mendapat respons beragam dari penonton, salah satunya soal pendekatan sutradara yang bisa menampilkan adegan selama 60 detik tanpa karakternya banyak bergerak atau berdialog.
ADVERTISEMENT