Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
ADVERTISEMENT
Selain soal tata edar, permasalahan jumlah layar juga menjadi tantangan dalam perkembangan perfilman Indonesia. Jumlah film yang terus meningkat tidak diimbangi dengan pertambahan jumlah layar. Akses masyarakat terhadap perfilman jadi belum tergarap maksimal.
ADVERTISEMENT
Jika dibandingkan dengan negara lain, menurut data Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), rasio perbandingan layar dengan populasi penduduk di Indonesia masih sangat rendah, yakni 100.000:0,4. Jauh dengan Amerika Serikat yang rasionya mencapai 100.000:14, Cina dengan 100.000:1,8, bahkan Malaysia yang sudah mencapai 100.000:2,4.
“Banyak sekali kota yang tidak ada bioskopnya,” ujar sutradara sekaligus penulis skenario, Ernest Prakasa, dalam satu kesempatan.
Data Katalog Film Indonesia (KFI) menunjukkan, di kurun waktu antara tahun 2012 hingga 2016, jumlah bioskop di Indonesia hanya terdapat 145 bioskop dengan total 609 layar. Kemudian di tahun 2017 meningkat menjadi 1.518 layar. Hingga di tahun 2018, jumlah bioskop di Indonesia mencapai 312 dengan jumlah layar mencapai 1.681.
Namun, persebaran jumlah layar tersebut tidak merata. Sebagian besar hanya berada di kota-kota besar. Data filmindonesia.or.id menunjukkan, 70 persen bioskop dan layar saat ini ada di Pulau Jawa.
ADVERTISEMENT
Upaya dalam mendongkrak jumlah layar di Indonesia sendiri sudah dilakukan. Tepatnya, pada tahun 2015 ketika usulan BEKRAF untuk mencabut film dari Daftar Negatif Investasi diterima oleh Presiden. Sejak saat itu, dengan banyaknya investor asing yang masuk, membuat pertumbuhan jumlah layar meningkat hampir dua kali lipat.
Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Sjafruddin, mengatakan, dicabutnya film dari DNI memberi keuntungan dalam meningkatkan jumlah layar. Namun sayangnya, pencabutan itu tidak disertai dengan peraturan yang mengatur lebih jauh. Utamanya tentang pentingnya menjaga keberadaan bioskop-bioskop non jaringan yang ada di daerah.
"Boleh masuk investor, tapi ada batasan," kata Djonny.
Akibatnya, ujar Djonny, banyak bioskop independen, yang utamanya ada di tingkat kabupaten/kota harus menyerah dengan hadirnya bioskop berjaringan.
ADVERTISEMENT
Ia mencontohkan bioskop miliknya di Tegal, Jawa Tengah, harus menyerah ketika bioskop berjaringan mulai masuk. Begitu juga bioskop lain di Purwokerto, Pekanbaru, dan lainnya.
Tidak kurang dari satu tahun sejak kehadiran bioskop-bioskop berjaringan dengan suntikan investor luar, bioskop-bioskop independen berguguran.
"Bukan saya anti, boleh investor luar masuk. Tapi, you masuk ke kota provinsi, jangan kabupaten/kota. Kasihan daerah," kata Djonny.
Padahal, lanjut Djonny, keberadaan bioskop-bioskop di daerah itulah yang selama 30 tahun terakhir menjadi "rumah" bagi film Indonesia. Bioskop independen tersebar tidak di wilayah provinsi, tapi di wilayah tingkat II, kabupaten dan kota, serta kecamatan.
Karena sejatinya, masyarakat di daerah lebih memilih film-film lokal dibanding dengan Hollywood.
ADVERTISEMENT
"Saya berpengalaman dari tahun 1975 mengelola bioskop di daerah. Bahwa kantong-kantong penonton film nasional terbesar adanya di wilayah itu," jelas Djonny.
Untuk itu, ia meminta agar pemerintah daerah bisa lebih memperhatikan hal-hal seperti ini. Jika di daerah tersebut terdapat bioskop atau sinema independen, bisa lebih tegas menyikapi tawaran modal asing.
"Perlu ada jeda waktu, setidaknya beberapa tahun. Biarkan bioskop independen berkembang lebih dulu, atau setidaknya dapat mengikuti perubahan teknologi yang ada," ujar Djonny.
Untuk menumbuhkan bioskop-bioskop di daerah, Djonny menegaskan perlu campur tangan pemerintah. Bisa dengan memberikan kredit lunak ke UMKM di daerah. Jika biasanya dibutuhkan investasi sebesar Rp 2,5 miliar untuk satu layar, setidaknya bisa diberikan fasilitas kredit hingga setengahnya.
ADVERTISEMENT
Pemda kemudian bisa memberikan bantuan dengan menyewakan gedung yang mungkin tidak terpakai.
"Presiden bisa membuat kepres atau inpres yang diteruskan ke Bekraf, Kementerian Keuangan, atau Kemendikbud. Pemerintah harus turun, lebarkan sayap, bantu. Investor besar dibatasi," ujar Djonny.
Skema seperti itu dinilai Djonny lebih realistis. Karena selain menumbuhkan jumlah layar, juga dapat meningkatkan jumlah penonton di daerah.
"Film Indonesia saya jamin 75 persen akan laku di daerah," kata Djonny.
Aktris sekaligus Ketua Parfi '56, Marcella Zalianty, mengatakan bahwa akses penonton yang lebih luas ke bioskop memang hal yang penting dalam perkembangan perfilman di Tanah Air, terutama di daerah.
"Secara infrastruktur adalah pertambahan layar yang dibutuhkan, itu saya pikir perlu kita dukung bersama. Tidak hanya oleh filmmaker, tapi juga masyarakat," kata Marcella.
ADVERTISEMENT
"Mengajak penonton semangat datang ke bioskop, walaupun saat ini platform digital meningkat, tapi menonton ke bioskop tetap ada experience lebih. Tren film Indonesia yang saat ini naik jangan sampai turun lagi," kata Marcella.