Sosok Cut Nyak Dhien Menurut Sha Ine Febriyanti

5 Mei 2018 17:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pentas Monolog Cut Nyak Dhien (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pentas Monolog Cut Nyak Dhien (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
ADVERTISEMENT
Tepuk tangan dari ratusan anak muda Makassar 'pecah', saat sosok Cut Nyak Dhien yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti berhasil memukau para penonton, Kamis (3/5) malam. Pentas monolog Cut Nyak Dhien yang diselenggarakan di Fort Rotterdam, Makassar, ini menyisakan bekas yang mendalam.
ADVERTISEMENT
Menurut Ine, Cut Nyak Dhien adalah sosok perempuan yang agung dan berjuang melawan penjajah pada saat itu. Ia pun berhati-hati dalam membuat naskah tersebut.
Sudah mementaskan pagelaran tersebut sebanyak 14 kali, tak membuat perempuan yang akrab disapa Ine itu kesulitan dalam memerankan tokoh perempuan asal Nangroe Aceh Darussalam. Pentas Cut Nyak Dhien pertama kali dipentaskan pada tahun 2014 lalu di Galeri Indonesia Kaya (GIK) dalam bentuk dramatic reading.
"Bentuknya seperti dramatic reading. Karena waktu itu saya persiapannya hanya empat hari, membuat naskah lalu riset. Karena itu kan tokoh yang di luar karakter saya, sebagai orang Aceh dan sebagainya," kata Ine saat ditemui di Cafe Ombak, Makassar, baru-baru ini.
Sejak pertama kali dipentaskan, Ine merasa bersyukur penampilannya mampu menyentuh hati para penontonnya. Pemain sinetron 'Dewi Selebriti' ini merasa seperti mengajarkan sejarah ketika bermain teater.
ADVERTISEMENT
"Cut Nyak Dhien banyak orang yang baru tahu kalau suaminya ada dua. Menarik karena lewat pertunjukan teater kita bisa memberikan pelajaran sejarah yang memang kalau anak muda kan sangat malas, jadi sangat mudah, menarik," ungkapnya.
Wanita 42 tahun ini mengatakan bahwa Cut Nyak Dhien versi Ine sedikit berbeda dari sosok yang selama ini diketahui. Masyarakat lebih mengetahui sisi perkasa seorang perempuan asal Aceh sebagai panglima perang. Sisi yang ditonjolkan oleh Ine adalah sekuat apapun manusia, pasti memiliki kelemahan.
Sha Ine Febriyanti (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sha Ine Febriyanti (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
Sebut saja ketika Cut Nyak Dhien ditinggal meninggal oleh suaminya, ketika berpisah dengan tanah kelahiran, diasingkan ke Pulau Jawa. Selang dua tahun diasingkan ke Sumedang, Cut Nyak Dhien meninggal dunia. Berangkat dari perspektif itulah yang lebih kuat untuk keseluruhan monolog. Ine sendiri tidak memahami mengapa sosok Cut Nyak Dhien menjadi pilihannya.
ADVERTISEMENT
"Dulu tuh siapa ya yang menawarkan ini dari GIK, Teguh, meminta saya ‘Mbak, bikin cerita tentang perempuan Indonesia yang menginspirasi’. Tiba-tiba entah kenapa yang terlintas dipikiran saya Cut Nyak Dhien. Padahal saya juga enggak terlalu tertarik dengan Aceh saat itu, saya juga enggak kenal sosok Cut Nyak Dhien, enggak tahu kenapa," jawabnya.
Tidak hanya sebagai aktor, Ine juga terlibat sebagai pembuat naskah. Sebelumnya, ia melakukan riset dalam waktu empat hari melalui novel-novel yang mengangkat kisah Cut Nyak Dhien. Ine pun mempelajari gestur yang sesuai dengan kondisi Nyak Dhien kala itu yang sudah rabun dan encok. Untuk mempelajari logat Aceh, ia bertemu dengan empat orang dari Aceh.
"Ketika saya udah jadi skripnya, saya undang tuh empat orang Aceh suruh ngomong 'ngomong dong', saya rekam. Rekam, rekam, rekam terus saya dengerin Mbak Christine (Hakim). Nah, ya sudah saya ambil tengahnya itu," ceritanya.
Pentas Monolog Cut Nyak Dhien (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Pentas Monolog Cut Nyak Dhien (Foto: Maria Gabrielle Putrinda/kumparan)
Seiring dengan berjalannya pementasan di banyak tempat, Ine terus belajar dan belajar.
ADVERTISEMENT
Barulah saat pementasan monolog Cut Nyak Dhien yang keenam yang mengantarkan Ine menginjakkan kaki di Aceh. Ditonton sekitar tiga ribu orang dan mendapat apresiasi. Dengan total 14 kali pertunjukan, menjadi hal yang menarik karena setiap ruang mempunyai tempat yang berbeda. Mulai dari tempat yang paling kondusif sampai paling tidak kondusif.
"Menarik bagi saya tiap ruang punya energi yang beda kita pernah main di tempat yg sangat tidak kondusif untuk sebuah pertunjukan. Monolog pula, saya sangat tergantung sama sound. Kalau enggak dapet sound yang bagus abis saya, susah untuk proyeksi besar kayak gitu-gitu yang menyenangkan," tutupnya.