Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
ADVERTISEMENT
Hari Film Nasional diperingati setiap tanggal 30 Maret, yang pada 69 tahun lalu, merupakan hari pertama pengambilan gambar film 'Darah & Doa' karya Usmar Ismail. Namun, peringatan Hari Film Nasional masih dirasa sekadar seremonial yang berulang. Tak banyak dampak yang dirasakan insan film maupun industri secara keseluruhan.
ADVERTISEMENT
Contohnya dari hal yang paling mendasar: UU Perfilman No 33 Tahun 2009. Jika diibaratkan pertumbuhan manusia, UU itu sudah mendekati masa puber. Tapi dia sudah usang bahkan sebelum produktif.
Sejak pertama kali ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, peraturan pelaksana tentang berbagai pasal-pasal yang ada di dalamnya belum juga muncul. Hanya ada dua hal yang diikuti keluarnya Perpres dan Permen dari UU tersebut, yaitu soal Lembaga Sensor Film (LSF) dan Badan Perfilman Indonesia (BPI).
Akhirnya, selama 10 tahun hingga saat ini, undang-undang yang sejatinya diterbitkan untuk memproteksi dan memperkuat film nasional termasuk SDM di dalamnya, serta untuk menjawab tantangan perkembangan teknologi, hanyalah menjadi ‘bacaan’ yang tidak memiliki kekuatan mengikat.
ADVERTISEMENT
"Hari Film Nasional ini memang harus menjadi momentum untuk mempertanyakan lagi Undang-Undang Nomor 33 itu. Seefektif apa undang-undang itu?” kata pengamat perfilman, Shandy Gasella kepada kumparan.
Shandy mengatakan, sejak pertama kali kemunculannya, UU Nomor 33 tentang perfilman sudah menimbulkan banyak pro dan kontra. Beberapa pasal di dalamnya selalu menjadi perdebatan. Bahkan Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Djonny Sjafruddin dalam satu kesempatan mengatakan jika UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman terlalu prematur untuk diterbitkan.
Rencana untuk revisi ini pernah mendapat secercah harapan. Pada tahun 2016, saat masa sidang ke-3 Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi X yang membidangi film kerap mengadakan rapat panitia kerja (panja) perfilman. Hingga kemudian Venna Melinda, anggota DPR di Komisi X saat itu berhasil memasukkan revisi RUU Perfilman ini ke Prolegnas tahun 2018 lalu.
ADVERTISEMENT
Namun akhirnya harapan itu juga belum memberi dampak yang terasa pada industri hingga saat ini. "Daripada merevisi UU 33 tahun 2009, mending sekalian dirombak total," saran Shandy.
Peran Badan Perfilman Indonesia
Salah satu amanat dalam UU Nomor 33 tentang Perfilman adalah pembentukan Badan Perfilman Indonesia. Melalui Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 akhirnya dikukuhkanlah Badan Perfilman Indonesia. Dalam tugasnya, BPI memiliki fungsi utama yakni menyelenggarakan festival di dalam negeri; mengikuti festival di luar negeri; menyelenggarakan pekan film di luar negeri serta mempromosikan Indonesia sebagai lokasi pembuatan film asing.
Selain itu juga memberikan masukan untuk kemajuan perfilman; melakukan penelitian dan pengembangan perfilman; memberikan penghargaan; serta memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi.
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua Umum Badan Perfilman Indonesia (BPI) Dewi Umaya, mengatakan, untuk penyelenggaraan festival dalam negeri, BPI telah menunjuk Lukman Sardi sebagai Ketua Komite FFI dengan masa kerja 3 tahun (2018-2020). Hal ini dilakukan agar terdapat kesinambungan sistem dalam penyelenggaraan FFI.
FFI memang kerap dilanda masalah di setiap penyelenggaraannya. Pada 2006, generasi muda perfilman melakukan protes atas kemenangan film 'Ekskul' sehingga kompak mengembalikan Piala Citra yang mereka raih.
Kemudian FFI tahun 2008, banyak yang mempertanyakan keputusan dewan juri yang tidak memilih film ‘Ayat-Ayat Cinta', 'Mengaku Rasul' dan 'Doa yang Mengancam' dalam kategori film terbaik. Bahkan 'Laskar Pelangi' yang menjadi film terpopuler saat itu tidak mendaftar di FFI.
ADVERTISEMENT
Atau di tahun 2017, ketika panitia penyelenggara FFI membuat terobosan dengan aturan bahwa film tak lagi harus mendaftar. Film Indonesia yang tayang di bioskop bakal langsung masuk radar FFI. Namun hal ini menjadi masalah, karena film ‘Posesif’ yang belum tayang secara komersial, bahkan baru menerima surat tanda lulus sensor sehari setelah pengumuman nominasi, justru masuk dalam nominasi.
“Jadi dengan tidak berganti ketua, tidak berganti sistem. Kita berharap kemudian penyelenggaraan FFI bisa sustain,” kata dia kepada kumparan.
“Misalnya di tahun 2019 ini, dari awal tahun sudah ada kegiatan-kegiatan road to FFI. Kemudian juga pencarian dana bisa mandiri, tidak hanya bergantung pada satu sistem pendanaan, tapi bisa ke yang lain (swasta),” ujar Dewi.
ADVERTISEMENT
Dalam fungsinya, BPI juga memiliki tugas untuk memfasilitasi pendanaan pembuatan film tertentu yang bermutu tinggi. Bekerja sama dengan BEKRAF, BPI kemudian menginisiasi kegiatan Indonesian Film Financing Forum yang diberi tajuk Akatara. Kegiatan ini mempertemukan proyek-proyek film potensial dengan para calon investor, distributor, filantropi yang tertarik turut serta dalam pembiayaan produksi film Indonesia.
Pada Akatara 2018 lalu, BEKRAF dan BPI memberi kesempatan pada 50 proposal proyek film terpilih untuk bertemu dengan puluhan investor nasional dan mancanegara.
Salah satu produk hasil dari fasilitasi pendaan ini adalah produksi film ‘Keluarga Cemara’ yang tayang pada pada 3 Januari 2019, dan meraih penonton sebanyak 1.701.498.
"Secara bisnis, Indonesia masih jadi potensial market. Untuk itu BPI terus berjalan, mempertemukan proyek-proyek film potensial dengan investor," kata Dewi.
ADVERTISEMENT
Di bawah kepemimpinan Chand Parwez sebagai ketua BPI saat ini, salah satu hal penting yang juga sedang digarap adalah penyusunan rencana induk perfilman nasional (RIPN). Rencana induk ini akan menjadi perencanaan yang menitikberatkan pada uraian arah kebijakan pemerintah, strategi pencapaian, serta berbagai indikator pencapaiannya. Rencana ini mempunyai tujuan jangka panjang (20 tahun), mempunyai ruang lingkup yang luas dan menyeluruh.
"RIPN sedang kita godok, karena enggak segampang dan se-simple itu. Rencana induk perfilman itu, yang kita harus formulasikan adalah kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya diperlukan masyarakat film di Indonesia, melihat film di masa depan itu seperti apa. Makanya kita lihat rancangan itu, goalnya akan seperti apa," kata Dewi Umaya.
Menurutnya, dalam menyusun RIPN, BPI mengumpulkan atau menginventarisir berbagai permasalahan yang ada. Kemudian bersama-sama dengan organisasi yang bernaung di bawahnya, BPI melihat dan merumuskannya menjadi solusi jangka panjang.
ADVERTISEMENT
"Sulitnya adalah hal mendasar: data. Karena kita melihat persoalan dari data, itu yang kita coba. Kalau di BPI sendiri ada 9 ketua yang sebenarnya membawahi bidang-bidang tertentu," kata Dewi Umaya.
Selain itu juga penyusunan skema sertifikasi profesi produksi film serta pembentukan lembaga sertifikasi profesi perfilman.
"Capacity building itu penting, SDM, sekolah film, literasi secara umum untuk lebih ditingkatkan. Jadi pada akhirnya orang nonton itu tidak merasa dipaksa untuk nonton. Tumbuh secara natural kan lebih enak," kata dia.
Namun Dewi mengakui jika peran BPI selama ini belum maksimal. Hal ini karena definisi BPI sebagai badan swasta murni mempersulit mereka untuk mengelola, terutama dalam hal pendanaan.
ADVERTISEMENT
Revisi UU Nomor 33 Tahun 2009 kemudian dikatakannya sudah perlu untuk dilakukan. Tidak hanya soal BPI, tapi juga berbagai hal lainnya yang selama ini masih menjadi perdebatan. Mulai dari tata edar, ataupun antisipasi perkembangan teknologi.
“Untuk revisi undang-undang, mungkin bisa sepenuhnya. Tidak hanya soal BPI, tapi banyak hal lainnya. Ada tata edar yang urgent. Terus terang saat ini kita masih terbata-bata dengan UU 33 2009,” kata dia.
Tata Edar yang Masih Diperdebatkan
Tata edar menjadi pembahasan selanjutnya yang selalu jadi perdebatan dalam tata kelola industri film tanah air. Di UU Nomor 33 tahun 2009 tentang perfilman Pasal 32, disebutkan bahwa pelaku usaha pertunjukan film (eksibitor) wajib menayangkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukkan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut. Namun lagi-lagi, ketentuan lebih lanjut belum juga diterbitkan. Padahal sebagian besar kalangan menilai, petunjuk pelaksanaan yang mengatur lebih jauh soal tata edar dapat memberikan perlindungan yang besar terhadap film nasional.
ADVERTISEMENT
Salah satu orang yang paling keras menyuarakan untuk segera diterbitkannya Peraturan Pemerintah soal tata edar adalah produser Firman Bintang. Di berbagai kesempatan ia bersuara bahwa apa yang diatur dalam UU terkait tata edar akan memberikan keadilan bagi film nasional. Sebab ia merasa, selama ini banyak film nasional yang mendapat perlakuan kurang adil dalam jadwal tayang di bioskop.
Jadwal tayang di bioskop dikuasai produser-produser besar yang sudah mematok tanggal di momen-momen 'banjirnya' penonton film Indonesia. Hal berbeda akan diterima produser baru dari rumah produksi kecil.
Jika Firman berpendapat demikian, pihak lainnya juga banyak yang memilih bunyi pasal itu itu disusun ulang karena dinilai memiliki kesimpangsiuran. Di antaranya adalah yang tertulis adalah jam pertunjukan, bukan judul film. Sehingga menimbulkan persepsi bahwa jumlah film Indonesia yang ditayangkan bisa berapa saja, asal jumlah jam pertunjukan memenuhi.
ADVERTISEMENT
Belum lagi definisi soal film Indonesia itu sendiri. Apakah memang hanya yang 100 persen dikerjakan rumah produksi lokal dan sebagainya disebut film Indonesia? Apakah film yang bekerja sama dengan rumah produksi luar negeri juga termasuk film Indonesia?
Semakin pelik lagi, karena penjelasan dari pasal itu, bahwa film Indonesia yang ditayangkan adalah film yang bermutu. Pertanyaanya, siapa yang bisa menentukan sebuah film itu bermutu atau tidak?
Coorporate Secretary Cinema21, Catherine Keng, menjelaskan, sangat sulit untuk menilai atau menentukan standardisasi film Indonesia yang bermutu itu seperti apa. Karena film merupakan hasil karya kreatif, sehingga sangat sulit jika harus memberikan standar dari sisi produksi atau cerita.
"Saya kira tidak ada formula pasti untuk cerita, atau apapun, sutradara mana atau pemain mana yang filmnya pasti berhasil. Tidak ada formulanya," kata Catherine Keng kepada kumparan.
ADVERTISEMENT
Lalu bagaimana cara Cinema21 sebagai eksibitor film di tanah air dalam menentukan atau menyeleksi film Indonesia juga Hollywood yang akan tayang?
Catherine mengatakan, hal tersebut bergantung ke banyak faktor. Mulai dari production value, production house, sutradara, pemain dan juga nilai komersial. "Tapi yang pasti adalah ketika kami sudah menonton trailer maupun filmnya untuk menentukan pilihan kami," kata dia.
Selanjutnya, saat film-film tersebut tayang, Cinema21 akan melihat jumlah penonton di hari pertama penayangan. Dari situ akan ditentukan penambahan jumlah layar.
"Kalau memang di hari pertama jumlah penontonnya baik, otomatis keesokan harinya akan ditambah jumlah layar tayang," kata dia.
"Sebaliknya kalau jumlah penontonnya minim, akan dievaluasi pada hari pertama juga. Jadi sebenarnya penonton yang menentukan sebuah film akan mendapatkan berapa layar bioskop," kata Catherine.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh, kita bisa melihat film ‘Dilan 1991’ yang rilis beberapa waktu lalu. Di hari pertama, film tersebut langsung mendapat jumlah penonton sebanyak 720 ribu di hari pertama pemutaran. Hal ini kemudian membuat film tersebut terus bertahan di layar. Apalagi di perjalanannya, film tersebut terus mendapat jumlah penonton yang tinggi. Sampai hari ketiga penayangan, film tersebut mendapat 2.082.000 penonton. Statistik itulah yang memudahkan pengambil keputusan di Cinema21 untuk menambah jatah layar. Sesuai dengan prinsip ekonomi.
Catherine menjelaskan bahwa Cinema21 selalu terbuka terhadap produser untuk melihat langsung perolehan penonton pada hari-hari sebelumnya filmnya diturunkan. Artinya, perolehan semua film yang tayang di bioskop dapat dilihat produser untuk memastikan bahwa filmnya layak diganti/diturunkan.
ADVERTISEMENT
"Yang sering kali justru menjadi isu klasik adalah produser meminta filmnya tetap dipertahankan putar di bioskop walaupun perolehan penontonnya sudah sangat minim," tulis Catherine Keng di filmindonesia.or.id.
Ia menegaskan bahwa masyarakat penonton sebagai pihak yang sesungguhnya menghidupi industri perfilman, harus dipandang sebagai bagian dari stakeholder perfilman. Pilihan penonton terhadap film menjadi ujung tombak.
“Apa pun yang dilakukan bioskop dan apa pun yang diatur dalam tata edar film tak akan menggerakkan penonton ke bioskop selama tidak memihak kepada penonton,” kata Catherine.
Transparansi jumlah penonton
Keberadaan penonton sebagai darah dari industri perfilman tanah air tentunya harus dipandang dengan serius. Bahwa naik-turunnya film Indonesia, ditentukan oleh keberpihakan penonton. Meski juga harus ada perpanjangan pemerintah dalam menentukan skema yang baik, di antara seluruh pihak yang terkait di dalam industri film tanah air. Karena itu, penyampaian ke publik soal jumlah penonton film Indonesia perlu diwujudkan.
ADVERTISEMENT
Di UU Nomor 33 Tahun 2009 sendiri sudah mengatur soal transparansi jumlah penonton, yakni di Pasal 33 ayat 1 dan 2. Bahwa pelaku usaha pertunjukan film di bioskop wajib memberitahukan kepada menteri secara berkala jumlah penonton setiap judul film yang sedang tayang. Kemudian menteri wajib mengumumkan kepada masyarakat secara berkala jumlah penontonnya.
Namun lagi-lagi, sama dengan pasal-pasal lainnya, ketentuan lebih lanjut mengenai pasal tersebut belum juga diterbitkan. Sehingga transparansi jumlah penonton di Indonesia masih jadi hal yang abu-abu.
Satu-satunya data soal jumlah penonton yang bisa diakses secara umum oleh masyarakat adalah data yang dikeluarkan situs filmindonesia.or.id. Situs inilah yang secara berkala menyajikan jumlah penonton film yang sedang dan telah beredar.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya jumlah film, tapi juga daftar film-film yang tayang berdasarkan tahun penayangan, film yang sedang tayang, akan tayang, dan sedang produksi.
JB Kristanto dari filmindonesia.or.id menjelaskan, tidak mudah bagi pihaknya untuk mengumpulkan data penonton film Indonesia. Prosesnya cukup panjang.
"Dulu pihak bioskop juga enggak mau kasih datanya ke kita pertama-tama, dan kita harus cari cara lain untuk dapat dari sana. Kalau sekarang sih enak ya, bioskop sudah mau memberi datanya," ujar JB Kristanto kepada kumparan.
Bioskop-bioskop tersebut, ujar dia, adalah tiga jaringan eksibitor terbesar di tanah air yakni Cinema 21, CGV dan Cinemaxx. Namun tidak termasuk puluhan bioskop di luar jaringan tersebut.
Ia mengatakan sudah sejak lama mencoba mendapatkan data dari bioskop-bioskop di luar tiga jaringan besar itu. Beberapa kali dihubungi, tidak pernah ada jawaban.
ADVERTISEMENT
"Jadi ya kita pakai tiga (jaringan bioskop) yang besar, dan untuk melengkapi sisanya dari produser yang mau memberikan data," ujarnya.
"Tapi memang tidak semua produser mau memberi. Tapi kalau produser yang besar-besar sih pasti mau memberi data dan pasti kita muat," kata dia.
Janji Pemerintah
Ketua Pusat Pengembangan (Pusbang) Film, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Maman Wijaya, mengatakan, kekosongan yang panjang memang telah terjadi terkait UU perfilman. Bahwa selama 10 tahun terakhir ini pula, banyak perubahan yang terjadi baik secara industri maupun teknologi di perfilman nasional. Jika dikatakan UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman sudah tidak dianggap lagi relevan, maka penggantian undang-undang menjadi solusi.
"Sekarang sudah masuk Prolegnas, tahun 2019 sama dengan RUU Permusikan, sudah bareng di situ," ujar Maman kepada kumparan ketika ditanya sejauh mana proses revisi UU Nomor 33 tentang perfilman.
ADVERTISEMENT
Maman mengatakan, bersama stakeholder perfilman, Pusbang Film dalam beberapa tahun terakhir aktif menyusun Daftar Inventaris Masalah (DIM) dari UU Nomor 33 tentang perfilman.
"Biasanya kalau DIM lebih dari 50 persen, maka (nanti) diganti undang-undangnya. Tapi kalau kurang, (hanya) revisi," kata Maman.
Maman mengakui banyak hal di dalam UU Nomor 33 tentang perfilman yang sudah tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini. Salah satunya adalah tentang Badan Perfilman Indonesia (BPI) terkait kelembagaan dan perannya. Berbeda dengan Dewan Film atau BP2N sebagai wakil pemerintah dulu, keberadaan BPI saat ini lebih kepada wakil dari masyarakat.
"Cuma dari sisi kelembagaan di undang-undang belum mendukung. Misalnya disebutkan bahwa badan yang bentuknya swasta murni, tapi apa betul swasta murni yang bersifat independen? Dalam hal ini belum jelas, pendanaan juga belum jelas," kata Maman.
ADVERTISEMENT
Kemudian terkait industri perfilman. Kondisi saat ini dengan 10 tahun lalu jauh berbeda. Dulu teknologi dan informasi tidak semaju saat ini. Begitu juga dengan penayangan film, tidak terbatas lagi pada bioskop dan layar lebar. Tapi kini juga lebih banyak non bioskop, internet, OTT (Over The Top) yang belum terakomodir di undang-undang.
Kemudian terkait dengan standardisasi insan perfilman juga banyak yang belum diatur. Jika dulu hanya ada 13 profesi di perfilman, seiring berkembangnya teknologi perfilman, kini berkembang lebih banyak lagi.
"Seperti CGI (Computer-Generated Imagery) itu belum terakomodir. Artinya, ada tenaga perfilman yang berdasarkan teknologi saat ini belum terakomodir di undang-undang, belum terlindungi karena ini terkait dengan ketenagakerjaan," kata Maman.
ADVERTISEMENT
Tidak luput juga tentang tata edar. Maman mengakui jika hal ini menjadi bola panas yang terus bergulir. Sehingga kehadiran pemerintah memang sangat penting, dengan tentunya mendengar masukan dari para insan film dan pemangku kepentingan.
"Nanti kuota akan tetap ada, tapi formulasinya akan ditinjau lagi. Karena kita masih perlu film impor untuk pembelajaran masyarakat, buat filmmaker dan lain-lain," kata Maman.
"Kalau selama ini tata edar untuk hanya di bioskop, lalu bagaimana dengan film Indonesia di televisi? Bagaimana dengan di internet? Itu perlu diatur, sementara tren teknologi film lebih maju di OTT dan regulasinya belum ada," kata Maman.
Terlepas dari pentingnya seluruh pembahasan, Maman mengatakan, tidak kalah penting adalah melihat lagi cara pandang seluruh stakeholder terhadap film. Apakah sebagai budaya, bahan komoditi atau lainnya. Film apakah sebagai bagian dari ekonomi kreatif atau sebagai pendukung pariwisata, atau sebagai basis kebudayaan.
ADVERTISEMENT
"Prinsip sifatnya itu, karena (nanti) turunannya akan banyak. Kalau murni secara azas kebudayaan, maka akan berubah undang-undangnya," kata dia.
Intinya, jelas Maman, revisi UU Nomor 33 tentang perfilman ini harus dilihat kembali tujuan, fungsi, azas dan prinsip.
"Saya kira kita akan mendasar, terutama terkait mendudukkan film sebagai budaya apa penunjang ekonomi kreatif. Kedua tentang antisipasi kemajuan teknologi," kata dia.
Ia tidak menampik jika dari sisi kebutuhan, revisi undang-undang sangatlah mendesak.
"Prinsip dasarnya tahun ini kita revisi, tapi teknisnya dimulai dari Komisi X. Kita dari tahun kemarin sudah mulai mengkaji beberapa pasal untuk jadi masukan," ujar Maman.
Maman mengatakan, jika dorongan untuk merevisi ini sudah diajukan ke Rapat Paripurna dan disetujui untuk digarap, maka akan diajukan ke presiden. Baru kemudian ditunjuk tim. Dan biasanya Kemendikbud ditunjuk sebagai ketua dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait seperti Kementerian Pariwisata, Kementerian Perindustrian dan lainnya.
ADVERTISEMENT
"Paling tidak kita akan bangun undang-undang menjadi 4 hal, pertama tentang penyelamatan, pemanfaatan, pembinaan dan pengembangan perfilman nasional," kata Maman.
"Kita tunggu dari DPR, kemudian paripurna, disetujui presiden baru kemudian membentuk tim, kata dia.
Lalu, apakah optimistis akan terwujud di tahun ini?
"Kalau saya dengar tidak terlalu optimis, karena (kembali lagi) ke DPR kan, pemerintah siap kapan saja," kata dia.
Pilih Fokus Membuat Film
Momentum Hari Film Nasional memang penting untuk melihat kembali segala permasalahan yang ada dalam film nasional. Namun, ketimbang melihat apa yang ada dalam UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang perfilman, sejumlah filmmaker tanah air justru lebih ingin fokus untuk terus berkarya.
ADVERTISEMENT
Produser Mira Lesmana misalnya. Ia tidak menampik jika banyak sekali masalah yang ada di dalam undang-undang tersebut. Bahkan Mira adalah satu filmmaker yang kerap bersuara untuk segera melakukan revisi UU tersebut kala itu.
“Banyak yang harus direvisi, tapi kalau bertanya, saya dari dulu sih ada undang-undang merepotkan, mendingan dari saya enggak usah ada aja ‘lah,” ujar Mira pragmatis.
Namun ia melihat dengan adanya BEKRAF dan Pusbang Film, diharapkan bisa memberi masukan terbaik terhadap undang-undang.
“Mudah-mudahan mereka pahami kebutuhan kita apa dan filmmaker fokus deh buat film yang baik, dengan SDM kita perhatikan, supaya kualitas (film Indonesia) terus meningkat,” kata dia.
Satu hal yang pasti, ujar Mira, ketika nanti ternyata ada di dalam undang-undang yang mengganggu, ia pasti akan bersuara.
ADVERTISEMENT
“Enggak ada masalah untuk revisi, asal ada kebaikan buat kita semua. Tapi ya itu tadi, saya tidak mau undang-undang akhirnya jadi barang politik yang harus perhatikan banyak kepentingan orang, dan saya tidak mau berada di dalamnya,” ujar Mira.
“Ketika nanti ternyata semua justru mengganggu, saya pasti akan teriak. Saya siap (bersuara) jika mengganggu teman-teman bekerja. Tapi saya kira (revisi) maksudnya baik,” kata Mira.
Hal senada diutarakan penulis skenario yang juga sutradara Joko Anwar. Saat ini merupakan masa keemasan film nasional. Sutradara ‘Gundala’ itu merasa kepercayaan masyarakat sedang berada di tahap paling tinggi. Jumlah penonton dari tahun sebelumnya 35 juta meningkat ke angka 44 juta.
“Tapi tentu saja dengan kejayaan perfilman, masalah-masalah lainnya tumbuh,” kata Joko.
ADVERTISEMENT
Dengan permintaan yang tinggi, kuantitas film semakin banyak. Masalahnya, hal itu tidak diimbangi kuantitas sumber daya manusia yang baik. Hal itu lantaran kurangnya keberadaan lembaga-lembaga film, atau pihak-pihak yang membuat kursus singkat.
“Jadi jangankan tenaga yang punya skill, sekarang yang enggak punya aja laku banget. Kalau ini dibiarkan akan membuat produksi tidak memiliki kualitas teknis dan estetika. Ini bisa membuat berkurangnya penonton film Indonesia,” ujar Joko Anwar.
Menurutnya, saat inilah stakeholder perfilman harus memikirkan bagaimana mencetak SDM yang memiliki skill.
“Pemerintah bisa mendorong pihak swasta untuk membuat sekolah film, atau produser sebelum produksi film, ketimbang hire pekerja yang enggak punya skill mending bisa bikin pelatihan untuk penulisan skenario misalnya,” ujar Joko.
ADVERTISEMENT
“Enggak usah undang-undang, practical aja perbaiki secepatnya,” kata Joko.