Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Yosep Anggi Noen Imbau Sineas Tak Malu Gunakan Bahasa Daerah
30 Maret 2018 16:59 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
ADVERTISEMENT
Layar bioskop komersial Indonesia beberapa tahun belakangan ini diwarnai dengan film-film independen yang bukan dibuat oleh rumah produksi ternama yang berpusat di Jakarta. Tengok saja judul-judul, seperti 'Istirahatlah Kata-kata ' (2017), 'Turah ' (2017), dan 'Sekala Niskala' (2018).
ADVERTISEMENT
Terdapat dua kesamaan yang dimiliki film-film tersebut. Mereka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing dan menceritakan tentang kondisi sosial yang terjadi di daerah tersebut.
Melihat ada banyaknya film independen yang bercerita tentang problematika tersebut, Yosep Anggi Noen selaku sutradara film 'Istirahatlah Kata-kata' berkata bahwa film-film tersebut bisa menjadi bahan ajar alternatif bagi masyarakat untuk mempelajari suatu daerah tertentu.
"Kita enggak pernah melihat Bali dengan sudut pandang 'Sekala Niskala', kita enggak pernah lihat Pantura dengan sudut pandang 'Turah'. (Film-film) Itu bakalan menjadi alternatif belajar mengenai Indonesia," ujar pria yang akrab disapa Anggi saat dihubungi kumparan (kumparan.com) via telepon, pada Kamis (29/3).
Namun hal ini berimbas baik bagi industri perfilman Indonesia karena setiap sineas memiliki haknya masing-masing untuk menyampaikan pendapatnya lewat film sebagai mediumnya. Bahkan dengan adanya perkembangan teknologi yang semakin mutakhir, kata Anggi, semakin membuka kesempatan bagi sineas daerah untuk mengembangkan kemampuannya.
ADVERTISEMENT
Sutradara berusia 35 tahun itu merasa optimistis jika membicarakan jumlah sineas daerah yang semakin meningkat. Meski demikian, Anggi berharap bahwa para sineas daerah luar Jakarta ini bisa mempertahankan identitas bahasanya masing-masing dengan rasa bangga.
"Ketika berbicara mengenai bagaimana film tersebut dituturkan, bagaimana bahasa film itu digunakan untuk bercerita mengenai kegelisahan di daerahnya, itu menjadi penting," katanya.
Menurutnya, sineas daerah jangan melulu membuat film dengan bahasa sinematik yang selalu digunakan untuk film-film komersial. Karena, akan lebih afdol bagi para sineas daerah untuk menceritakan kondisi sosial daerahnya menggunakan bahasa ibunya masing-masing.
"Ketika berbicara mengenai bagaimana film tersebut dituturkan, bagaimana bahasa film itu digunakan untuk bercerita mengenai kegelisahan di daerahnya itu menjadi penting," ujar Anggi.
ADVERTISEMENT
"Menurut saya yang harus dielaborasi itu enggak cuma bahasanya. Tapi juga problematika, gagasan, solusi kehidupan, dan sifat manusia yang hadir dalam kenyataan di daerah-daerah tersebut," lanjutnya.
Sutradara film 'A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One' itu memiliki pesan penting bagi para sineas daerah. Dia mengingatkan agar para sineas daerah tidak terjebak dengan industri film yang tidak mengindahkan estetika dan kualitas, tapi hanya berbicara soal bisnis.
Menjaga identitas daerah masing-masing menjadi salah satu poin penting dalam menciptakan suatu karya. Para sineas daerah juga diingatkan bahwa setiap karya, termasuk film, pasti memiliki pasarnya masing-masing.
"Orang masih malu-malu untuk menggunakan bahasa tutur yang sangat lokal yang menurut saya itu juga jadi potensi besar," ujar Anggi. "Setiap film itu punya pasar sendiri-sendiri dan punya ruang untuk bertemu dengan penontonnya sendiri."
ADVERTISEMENT