60 Persen Anak dengan Penyakit Jantung Bawaan Terlambat Dideteksi, Kok Bisa?

16 Februari 2023 11:37 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi bayi dengan penyakit jantung bawaan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bayi dengan penyakit jantung bawaan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Penyakit jantung bawaan (PJB) merupakan kelainan yang ikut menyumbang jumlah kematian tertinggi pada bayi setelah prematuritas. Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K) mengatakan, setiap 5 juta kelahiran bayi, terdapat 45 ribu sampai 50 ribu bayi lahir dengan PJB setiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
“Kejadiannya cukup sering ya, kalau ada 5 juta bayi yang lahir, antara 45 ribu sampai 50 ribu bayi lahir dengan PJB setiap tahunnya. Jadi, sebenarnya ini masalah yang cukup signifikan kontributor terhadap angka kematian bayi dan anak,” terang dr. Piprim dalam media briefing IDAI, Selasa (14/2).
Ilustrasi bayi sakit jantung. Foto: Simplylove/Shutterstock
Ketua Unit Kerja Koordinasi (UKK) Kardiologi IDAI, dr. Rizky Adriansyah, M.Ked(Ped), Sp.A(K), menambahkan, sekitar 25 persen dari jumlah kasus tersebut mengalami PJB kritis. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, tetapi yang paling sering terjadi adalah keterlambatan diagnosis.
“25 persen itu sekitar 12 ribu ya, kalau 80 persennya ya 10 ribu kasus ya kira-kira kalau kita generalisasi itu terlambat di ujung layanan tersier, dan 60 persen kasus penyakit jantung bawaan kritis itu meninggal memang bukan karena masalah yang lain tapi lebih banyak karena keterlambatan diagnosis,” papar dr. Rizky.
ADVERTISEMENT
Lantas, kenapa bisa terjadi keterlambatan diagnosis?

Alasan Penyakit Jantung Bawaan Bisa Terlambat Dideteksi

Menurut dr. Rizky, ada banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut, dua di antara yang umum terjadi, yaitu:
1. Kualitas alat yang digunakan
Pemeriksaan ekokardiografi. Foto: Shutterstock
Metode pemeriksaan yang digunakan untuk memeriksa kondisi jantung disebut ekokardiografi atau USG jantung. Alat ini dijual dengan berbagai jenis dan merek yang berbeda. Sehingga, kemampuan untuk mendeteksi dan mendiagnosisnya pun berbeda, Moms.
“Penegakan diagnosis ya memang itu bisa ditegakkan melalui alat kardiografi itu, tapi memang kenapa bisa yang lahir itu ternyata dibilang ada kelainan tapi waktu di dalam kandungan disebut tidak ada kelainan gitu ya, memang kemampuan alat-alat itu kan berbagai jenis ya merknya tidak sama,” jelas dr. Rizky.
ADVERTISEMENT
2. Keterbatasan jumlah dokter yang mumpuni
Ilustrasi bayi dirawat di rumah sakit. Foto: Iryna Inshyna/Shutterstock
“Kita belum banyak ahli yang mampu melakukan USG jantung janin itu, untuk dokter ahli jantung anak saja yang benar-benar serius belajar ekokardiografi fetal itu sedikit, itu harus betul-betul lama melakukan pemeriksaan itu, tidak bisa sebentar,” tutur dr. Rizky.
Ya Moms, berdasarkan data IDAI, dokter ahli jantung anak di Indonesia pada 2020 diketahui hanya berjumlah 78 orang. Oleh karena itu, sangat sulit untuk menangani semua kasus PJB pada bayi dan anak yang jumlahnya mencapai puluhan ribu setiap tahunnya.
Dr. Rizky juga menjelaskan istilah ‘penyakit jantung didapat’. Apa maksudnya? Biasanya kasus ini terjadi beberapa saat setelah bayi lahir. Umumnya disebabkan oleh infeksi dan penyakit yang didapat. Namun, saat ditanya hubungan sebab akibatnya, para dokter pun juga tidak mengetahui secara pasti. Sementara penyakit jantung yang umum terjadi di usia anak-anak adalah penyakit jantung rematik.
Ilustrasi Menjaga Kesehatan Jantung Anak. Foto: GOLFX/Shutterstock
“Kalau setelah lahir namanya penyakit jantung didapat, ini umumnya karena infeksi tapi ada beberapa penyakit juga yang didapat. Didapatnya bagaimana ya kita enggak tahu, ya. Misalnya karena penyakit Kawasaki, kita enggak tahu ya akibatnya apa. Yang banyak itu adalah penyakit jantung rematik yang biasanya terjadi pada usia sekolah dan remaja, jarang terjadi sesaat setelah lahir,” urainya.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini, penyebab PJB pada anak dan bayi belum diketahui secara pasti. Namun, ada beberapa faktor risiko yang bisa menjadi pemicunya. Misalnya saja ibu terinfeksi rubella saat hamil, mengkonsumsi obat-obatan, seperti obat anti kejang, dan tidak mengkonsumsi asam folat dalam jumlah yang cukup.