Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Anda tentu setuju, pemerkosaan adalah perbuatan yang sangat keji, apalagi bila anak yang menjadi korbannya. Itulah yang terjadi di daerah Mojokerto, Jawa Timur.
ADVERTISEMENT
Seorang pria, Aris (20), terbukti telah melakukan pemerkosaan terhadap 9 anak di bawah umur. Atas kasus ini, pelaku diberikan hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.. Namun menurut Jaksa Penuntut Umum, pidana yang dijatuhkan terlalu ringan, sehingga dewan hakim mempertimbangkan dan memutuskan untuk menambah hukuman terdakwa dengan hukuman kebiri kimia.
Meski begitu, hukuman kebiri kimia tidak akan dijalankan Aris dalam waktu dekat. Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jawa Timur, Richard Marpaung, menjelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah diubah setelah terbitnya Perppu nomor 1 tahun 2016 dijelaskan waktu pengebirian predator seksual berlangsung.
"Dia (Aris) mesti jalankan pidana pokoknya, baru bisa dilaksanakan pidana tambahannya kebiri kimia," kata Richard, Senin (26/8).
ADVERTISEMENT
Mengacu padan Undang-undang, Aris artinya baru menjalani hukuman kimia setalah hukuman 12 tahun penjara selesai. UU perlindungan anak juga mengatur, pelaku akan dikebiri selama 2 tahun lamanya.
"Itu juga hanya 2 tahun. Ada rehabilitasi setelah itu. Dalam Perppu itu tindakan dan rehabilitasi diatur peraturan pemerintah (PP). saat ini sedang kami cari (PP-nya)," ujar Richard.
Menanggapi kasus ini, Menteri Kesehatan Nila Moeloek menegaskan Kementerian Kesehatan menghormati putusan tersebut. Oleh karena itu, Kemenkes akan mengikuti dan mendukung apa yang sudah ditetapkan undang undang.
“Kan, sudah Undang-Undang Dasar. Kalau UU kita harus ikut, kita tidak boleh melanggar UU,” ujar Nila di gedung Kemenkes RI, Jakarta Selatan, Senin (26/8).
“Kalau seperti itu ya, saya mendukung. Dan saya juga lihat kasusnya seperti demikian, kita harus hormati,” lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, terkait hal ini, Ikatan Dokter Indonesia, menolak untuk berperan sebagai juru eksekusi kebiri. Ketua Biro Hukum Pembinaan dan Pembelaan Anggota ID,I HN Nazar mengatakan, buntut masalah terkait eksekusi kebiri kimia sudah diprediksi. Hal itu yang membuat IDI menolak tindakan tersebut sejak awal.
"Perkara teknis itu domainnya eksekutor, jangan dipojokkan bola panas itu ke dokter. makanya jauh-jauh hari kami katakan menolak sebagai eksekutor," kata Nazar, Senin (26/8).
Nazar juga menyatakan, tindakan pengebirian secara kimia juga tidak perlu dilakukan dokter. Jaksa selaku eksekutor yang dipandangnya harus mengebiri predator seksual setelah ada putusan pengadilan.
"Itu eksekutor harusnya bukan dokter, eksekutor itu harusnya jaksa penuntut umum. Teknisnya tidak juga mesti dokter," sebut Nazar.
ADVERTISEMENT
Mengenai penolakan IDI menjadi eksekutor kebiri kimia, Nazar menjelaskan sikap itu diambil karena bertentangan dengan kode etik dokter. Aturan itu menyatakan dokter harus jadi penyembuh.
"Itu (kebiri) juga timbulkan side efect yang luar biasa. Nanti kalau kami yang suntik, nanti beberapa bulan kemudian ada side efect. Tulang keropos, sakit jantung, badan bengkak-bengkak, masa itu yang obati kami lagi," kata Nazar.
Nazar menegaskan IDI setuju adanya hukuman tambahan untuk pelaku kekerasan seksual. Namun, kebiri bukan hukuman tambahan yang dianggap sesuai oleh IDI.
Moms, hukuman kebiri kimia memang baru pertama kali ini dilakukan di Indonesia. Namun, jika menilik negara lain, beberapa negara sudah menerapkan hukuman kebiri kimia untuk para pelau kejahatan seksual.
Sejarah mencatat, Amerika Serikat dan Kanada merupakan dua negara yang paling pertama melakukan praktik pengebirian kimia guna mengurangi fantasi seks dan impuls seksual pada pelaku kejahatan seksual. Kebiri kimia pertama kali dilakukan pada tahun 1944.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2011, Korea menjadi negara pertama di Asia yang memperkenalkan pengebirian kimia pada pelaku kejahatan seksual. Mereka menerapkan hukuman itu kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur, dengan usia kurang dari 16 tahun. Bahkan, seruan untuk dilakukan pengebirian kimia semakin meningkat setelah serangkaian pelanggaran seksual terjadi pada wanita dan anak-anak.
Pengebirian kimia sendiri dilakukan dengan cara menggunakan obat-obatan hormonal anti-androgen, seperti diethylstilbestrol, medroxyprogesterone acetate, dan cyproterone acetate. Androgen sendiri adalah kumpulan hormon yang mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan organ reproduksi atau organ seksual pria. Androgen yang paling aktif dan dominan adalah testosteron. Pada pria, testosteron diproduksi oleh testis.
Sebuah makalah yang diterbitkan Journal of Korean Medical Science menjelaskan, beberapa hasil penelitian telah melaporkan bahwa para pelaku kekerasan seksual memiliki tingkat androgen yang lebih tinggi daripada orang-orang biasa lainnya. Kadar androgen ini berkorelasi positif dengan kekerasan dan tingkat keparahan agresi seksual seseorang.
ADVERTISEMENT
Obat-obatan yang digunakan dalam kebiri kimia berperan penting dalam mengurangi jumlah testosteron yang dihasilkan dalam testis dan menekan dorongan seksual tanpa menghilangkan kemampuan seseorang untuk berhubungan seks. Hal itu berarti, pria yang dikebiri secara kimia masih bisa melakukan hubungan seks, hanya saja keinginan mereka untuk melakukan hubungan seks itu sangat kecil. Efek kebiri kimia ini dapat hilang dari waktu ke waktu seiring dengan berhentinya pemberian obat-obatan kimia guna pengebirian untuk orang tersebut.
Meski masih dinilai kontroversial, beberapa hasil penelitian mengenai pengebirian kimia untuk pelaku kejahatan seksual mencatat adanya penurunan drastis pada tingkat kekambuhan seorang pelaku kekerasan seksual yang dihukum dengan kebiri kimia. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, sebagaimana dipaparkan di situs National Youth Leadership Network, tingkat residivisme untuk pelaku kekerasan seksual yang dihukum dengan kebiri kimia hanya sekitar 2 persen, jauh lebih kecil dibandingkan tingkat kekambuhan pelaku kekerasan seksual tanpa hukuman kebiri kimia yang sebesar 40 persen.
ADVERTISEMENT
Nah Moms, jadi bagaimana pendapat Anda? Setujukah hukuman kebiri kimia diterapkan untuk membuat jera para pelaku kekerasan seksual, khususnya pada kasus kekerasan seksual terhadap anak ?