Kenapa Ada Anak dengan Autisme yang Suka Ikut Berteriak?

28 Juli 2022 18:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilsutrasi anak dengan autisme. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilsutrasi anak dengan autisme. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anak dengan autisme biasanya menunjukkan beberapa tanda, seperti kerap melakukan perilaku berulang, sulit berinteraksi dan berkomunikasi, hingga mengalami gangguan sensoris. Menurut Psikolog Anak dan Keluarga yang ahli menangani anak dengan autisme, Anita Chandra, M.Psi., tanda anak mengalami autisme bisa terlihat sejak usia 4-6 bulan atau usia 15-18 bulan.
ADVERTISEMENT
“Waktu munculnya gejala gangguan autisme secara umum dibagi jadi dua. Sudah bisa tampak di usia 4-6 bulan, sedangkan satu lagi di periode 15-18 bulanan,” kata Anita, kepada kumparanMOM, beberapa waktu lalu.
Gejala autisme pada anak bisa berbeda atau pun serupa. Namun, beberapa gejala yang umum terjadi pada anak dengan autisme adalah memiliki tingkat sensitivitas yang sangat tinggi atau pun sangat rendah. Maka dari itu, anak dengan autisme cenderung memiliki perilaku yang khas.
Ilsutrasi anak dengan autisme. Foto: Shutterstock
Salah satu perilaku anak dengan autisme yang mungkin kerap dijumpai adalah ikut berteriak bila ada orang di sekelilingnya yang berteriak. Bisa juga, bila di sekitarnya ada anak tantrum, maka anak dengan autisme juga bisa ikut tantrum. Apa alasannya, ya?
ADVERTISEMENT

Alasan Ada Anak dengan Autisme Suka Ikut Berteriak

Ilustrasi anak berteriak. Foto: Shutter Stock
Anita mengatakan, hal itu disebabkan karena adanya gangguan pada sensoris anak. Akibatnya, anak-anak dengan autisme sering kali memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi atau rendah terhadap rangsangan tertentu.
“Ini berkaitan dengan isu sensorisnya. Jadi, anak-anak dengan autisme sering kali memiliki hipersensitivitas terhadap rangsangan tertentu, atau batas tingkat sensitivitasnya terlalu rendah. Sehingga, kalau ada rangsangan sedikit saja sudah begitu mengganggu,” ungkap Anita.
Psikolog yang berpraktik di Rumah Sakit Columbia Asia Pulomas, Jakarta, itu menambahkan bahwa rangsangan atau teriakan tersebut bisa menimbulkan sesuatu yang sangat tidak nyaman. Bahkan, sering kali bisa menyakitkan dan membuat anak menjadi mudah marah.
“Bagi mereka itu adalah sesuatu yang sangat tidak nyaman, bahkan seringkali menyakitkan. Itulah kenapa kalau ada anak lain yang tantrum atau berteriak, maka anak ini bisa jadi disregulasi (emosinya meningkat), mudah marah, dan mudah emosi),” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, kemampuan komunikasi anak dengan autisme belum cukup berkembang baik, Moms. Ditambah lagi, si kecil perlu menghadapi masalah orang lain yang tidak mereka ketahui. Sehingga, satu-satunya cara untuk mengungkapkan rasa tidak nyamannya itu adalah ikut berteriak.
“Ini juga bisa disebabkan karena kemampuan komunikasi dan problem solving-nya belum berkembangan dengan baik. Jadi, yang mereka bisa lakukan adalah ikut nangis ataupun berteriak. Belum bisa mengungkapkan rasa ‘belum nyaman’ atau ‘berisik’,” tutur Anita.
Lalu, bagaimana cara menghadapinya?
Ilustrasi terapi perilaku anak. Foto: Freepik
Cara efektif untuk meredakan situasi tersebut adalah dengan menghilangkan penyebab atau pencetusnya terlebih dahulu, seperti membawa anak dengan autisme untuk menjauhi sumber.
Jika memang perilaku itu cukup sering terulang, tak ada salahnya untuk melakukan terapi pembentukan perilaku untuk anak dengan autisme. Terapi itu dilakukan agar si kecil memiliki alternatif kebiasaan bila menghadapi situasi serupa. Misalnya, jika ada orang di sekitarnya berteriak atau nangis, dan anak merasa tidak nyaman, maka ia bisa menutup kedua telinga, meninggalkan tempat itu, atau mengungkapkan kepada orang tua atau orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
“Pertama itu hilangkan dulu pencetus atau penyebabnya. Bisa anaknya yang nangis kita tarik keluar untuk menjauh, atau si anak dengan autismenya. Lalu, lakukan terapi perilaku untuk anak dengan autisme supaya bisa punya alternatif kebiasaan lain. Misal kalau ada yang nangis dan dia gak nyaman, ya bisa tutup telinga, keluar, atau bilang ke orang di sekitarnya,” tutup Anita.