Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
ADVERTISEMENT
Vaksin adalah salah satu pencapaian terhebat dalam usaha intervensi kesehatan di dunia. Dengan pemberian vaksin atau imunisasi , berbagai penyakit berbahaya yang mengakibatkan kecatatan bahkan kematian dapat dihindari bahkan tidak ditemui lagi atau menjadi punah.
ADVERTISEMENT
Hasilnya, manusia bisa menambah usia harapan hidup hingga 30 tahun lebih lama dibanding 1 abad yang lalu. Puluhan penelitian juga telah membuktikan vaksin adalah salah satu penemuan medis paling aman dan efektif sepanjang sejarah.
Seluruh negara di dunia pun memiliki dan menggalakkan program imunisasi. Tak terkecuali, negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Islam seperti Malaysia, Brunei Darusallam, Qatar dan Arab Saudi yang cakupan imunisasinya sangat tinggi.
Namun penolakan terhadap vaksin atau anti-vaksin juga tetap ada bahkan banyak ditemui di berbagai negara dunia. Tak hanya di Indonesia, negara maju seperti negara-negara di Eropa juga menghadapinya lho, Moms. Bahkan, warga anti vaksin terbanyak di dunia saat ini ada di Prancis.
Secara pribadi maupun berkelompok, gerakan anti vaksin datang dari berbagai golongan dan lapisan masyarakat. Apa artinya?
ADVERTISEMENT
Maju tidaknya suatu negara, tingkat ekonomi dan faktor pendidikan yang tinggi atau pengetahuan yang luas tidak bisa menjadi patokan akan penerimaan dan penolakan pemberian imunisasi.
Lantas, mengapa ada orang -khususnya orang tua, yang menolak imunisasi atau jadi anti vaksin?
Sikap anti-vaksin muncul dengan berbagai alasan, Moms. Seperti agama, tidak percaya manfaatnya, hingga dianggap membahayakan nyawa. Secara garis besar, berikut penjelasannya:
Ini Zaman Media sosial
Kelompok-kelompok anti vaksin sebenarnya telah ada jauh sebelum munculnya media sosial. Dilansir oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) gerakan anti vaksin bahkan sudah ada sejak vaksin diciptakan dan terus berkembang meskipun konsensus ilmiah menunjukkan bahwa vaksin itu aman dan efektif.
Tapi media sosial telah mempermudah penyebaran klaim-klaim tidak benar mengenai vaksin, Moms!
ADVERTISEMENT
"Banyak media sosial daring yang tidak memiliki kontrol kualitas oleh jurnalis dan editor yang membentuk konten media massa tradisional," papar peneliti Marina Joubert seperti dilansir The Conversation.
"Karena itu, konten yang dibuat oleh ahli maupun penipu, lalu opini dan fakta jadi tidak bisa dibedakan. Hal ini mempersulit untuk bisa menilai apakah informasi di media sosial itu kredibel atau tidak," tambah dia.
Selain itu, banyak grup di Facebook yang turut mendorong suatu sudut pandang tertentu. Padahal sudut pandang itu tidak didukung bukti ilmiah yang kuat.
Ada yang Mendanai
Bagaimana informasi yang tidak benar seputar pemberian vaksin atau imunisasi bisa begitu masif di media sosial? Ternyata, ada yang mendanainya, Moms.
Baru-baru ini, tim peneliti dari George Washington University, Amerika Serikat, mengungkap bahwa mayoritas kampanye anti vaksin di Facebook, yakni 54 persen, disebar oleh dua organisasi kontroversial asal AS: World Mercury Project milik Robert F. Kennedy Jr. dan Stop Mandatory Vaccinations milik Larry Cook.
ADVERTISEMENT
Dilansir The Guardian, para peneliti menemukan kebanyakan iklan tersebut berisi informasi hoaks soal vaksinasi.
“Dua orang (di balik kedua perusahaan) merupakan penghasil sebagian besar konten (anti vaksin di Facebook),” ujar David Broniatowski, salah satu peneliti yang terlibat riset.
Iklan garapan Stop Mandatory Vaccinations--sesuai nama pembuatnya--punya ruh gerakan yang jelas: menentang keragaman vaksinasi yang diwajibkan. Cook mendanai iklan dari kocek pribadi dan penggalangan dana lewat situs-situs crowdfunding untuk kampanye anti vaksinya.
Adapun Kennedy, yang merupakan anak mantan Jaksa Agung AS Bobby Kennedy, mendapat penetangan dari saudara kandung dan keponakannya sendiri. Mereka bahkan menyebut kampanyenya sebagai disinformasi yang berbahaya. “(Dia) salah dengan cara yang tragis,” tulis mereka, seperti dikutip Politico.
Suka dan Percaya dengan Teori Konspirasi
Diberitakan oleh Science Daily, sebuah hasil studi yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti mengungkap adanya hubungan antara para anti vaksin dengan kepercayaan mereka pada teori-teori konspirasi. Temuan dari studi ini telah dipublikasikan di jurnal Health Psychology.
ADVERTISEMENT
Matthew Hornsey, Ph.D dari University of Queensland yang memimpin penelitian ini mengatakan studi yang dilakukan bersama para koleganya ini merupakan studi pertama yang melihat hubungan antara para anti vaksin dengan kepercayaan pada teori konspirasi dengan melibatkan sampel global.
Hornsey dan tim mensurvei 5.323 orang dari 24 negara di lima benua dengan menggunakan angket online pada 31 Maret hingga 11 Mei 2016.
Mereka ingin tahu apa pendapat para anti vaksin terhadap empat teori konspirasi, yaitu: Putri Diana dibunuh, Pemerintah AS sudah tahu mengenai 9/11 sebelum terjadi, ada kelompok elit politik yang ingin membangun Tatanan Dunia Baru, serta John F. Kennedy dibunuh sebagai bagian dari rencana besar.
Hasilnya?
Di mana pun pengisi angket tinggal, mereka yang mempercayai teori konspirasi tersebut cenderung anti terhadap vaksin.
ADVERTISEMENT
“Sikap seseorang itu bergantung pada emosi dan perasaan,” kata Hornsey, “diberikan bukti sebanyak apapun tidak akan mengubah sikap mereka.”
Selain cenderung lebih percaya pada teori-teori konspirasi, menurut hasil studi ini, sikap anti vaksin juga berhubungan dengan sikap intoleransi orang-orang yang membatasi kebebasan mereka, ketakutan pada darah dan jarum, serta pandangan individualistik.
Kesalahan institusi medis terdahulu
Rasa tidak percaya vaksin juga bisa muncul akibat rasa tidak percaya terhadap pemerintah.
Di Amerika Serikat misalnya, menurut laporan Newsweek, antara 1932 ke 1972 ratusan orang kulit hitam Amerika diminta menjalani eksperimen.
Para peserta dalam eksperimen bernama Eksperimen Tuskegee itu adalah penderita sipilis. Dalam eksperimen itu, penyakit mereka tak dirawat, padahal pada tahun 1940-an penisilin telah dibuktikan bisa mengobati penyakit itu dengan efektif.
ADVERTISEMENT
Akibatnya muncul infeksi baru, kematian, dan juga anak-anak yang lahir dengan penyakit sipilis bawaan. Hal ini menyebabkan adanya rasa tidak percaya pada komunitas orang kulit berwarna kepada institusi medis di AS.
Selain itu sebuah riset yang terbit di jurnal Information, Communication & Society pada 2017 juga mengungkapkan bahwa daya tarik dari situs anti vaksin berasal dari rasa sakit atas penyakit masa kecil serta kematian orang terdekat yang orang-orang alami. Hal ini ditambah dengan kurangnya penjelasan medis yang mereka terima atas penyakit serta kematian tersebut.
"Dalam hal ini, pendapat anti vaksin 'mengisi' kekosongan tersebut dengan menenangkan para orang tua yang merasa ditinggalkan atau diacuhkan oleh komunitas medis," jelas para peneliti di riset itu.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, banyak orang yang menganggap bahwa para perusahaan farmasi banyak mengeluarkan vaksin untuk mencari uang. Dan ketika perusahaan-perusahaan tersebut tidak bisa memberi informasi atas keamanan obat buatannya, hal ini menambah rasa tidak percaya itu.
Meski di Indonesia sejarah dan kondisinya berbeda, tapi ketidakpercayaan terhadap pemerintah oleh sebagian masyarakat mungkin terjadi juga ya, Moms? Begitu pula dengan munculnya blog, situs atau laman anti vaksin.
Asimilasi yang Bias
Asimilasi yang bias adalah fenomena ketika informasi baru dilihat melalui kacamata yang telah kita percayai. Hal ini membuat sulitnya kita menyerap informasi yang mungkin secara radikal mengubah apa yang telah kita percayai sebelumnya.
Bahkan informasi akurat yang berlawanan dengan asumsi bisa membuat orang semakin kuat memegang asumsi tersebut. Hal ini dibuktikan dalam sebuah riset oleh American Academy of Pediatrics pada 2014 lalu.
ADVERTISEMENT
Mereka mempelajari 1.700 orang tua yang skeptis memandang vaksin. Para orang tua diberikan hasil riset yang membantah adanya hubungan antara autisme dengan vaksin MMR untuk melawan gondok, campak, dan rubella.
Hasilnya, meski para orang tua melaporkan bahwa persepsi salah mereka mengenai vaksin berkurang, mereka malah semakin kukuh untuk tidak memberikan vaksin pada anak mereka.
Riset lainnya di tahun yang sama juga menunjukkan hasil serupa. Orang yang sejak awal tidak setuju dengan vaksin, semakin memilih untuk tidak mendapatkan vaksin flu setelah diberikan fakta atas hal tersebut.
Riset-riset ini memberikan pesan bahwa usaha pro vaksin sebaiknya fokus kepada hal positif mendapatkan vaksin, dibanding melawan misinformasi mengenai vaksin itu sendiri.
Jadi apa yang sebaiknya kita lakukan? Tak perlu dikomentari apalagi dilawan, Moms.
ADVERTISEMENT
Teruslah mencari informasi dan bukti-bukti dari sumber yang bisa dipercaya, tanpa perlu meributkannya dengan mereka. Pastikan juga, Anda selalu mencari atau bertanya pada ahli yang memang mengerti mengenai vaksin dan imunisasi .
"Jangan bertanya pada orang yang tidak paham, nanti jawabannya ya, juga tidak bisa dipertanggungjawabkan," demikian pesan Prof. DR. dr. Soedjatmiko , SpA (K), Msi., Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada kumparanMOM.