Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Mengapresiasi Prestasi Anak Tidak Selalu dengan Hadiah
26 Desember 2017 19:06 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
ADVERTISEMENT
Memberi apreasiasi atas prestasi anak merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang tua. Setelah berusaha bersikap baik dan belajar dengan tekun, rasa bangga orang tua terhadap anak biasanya terwujud dalam bentuk pujian hingga membelikan hadiah.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak selamanya hadiah berupa barang baik untuk anak. Pemberian yang diterima anak justru akan menimbulkan kebiasaan buruk jika terlalu dibiasakan, bahkan cenderung memanjakan anak.
Seorang psikolog anak dan keluarga, Roslina Verauli, M. Psi., Psi, mengatakan bahwa terlalu mengandalkan hadiah sebagai wujud apresiasi adalah cara pandang yang keliru. "Apresiasi sebaiknya diusahakan dalam bentuk cinta yang tanpa syarat. Jika orang tua menjanjikan anaknya hadiah apabila berhasil melakukan sesuatu yang baik, maka itu namanya bersyarat," jelasnya pada kumparan (kumparan.com) beberapa waktu lalu.
Menurutnya, bentuk apresiasi yang baik seharusnya bisa diungkapkan orang tua melalui perkataan dan tindakannya yang menunjukkan adanya rasa sayang yang tulus pada anak. "Ketika orang tua mengatakan, 'I love you' dengan perasaannya yang damai dan penuh cinta, maka resiliensi akan terbentuk dengan sendirinya," tambahnya.
ADVERTISEMENT
Resiliensi adalah kemampuan anak untuk beradaptasi, menilai suatu hal dengan pola pikirnya sendiri, meningkatkan kemampuan diri dan tetap tangguh dalam menghadapi situasi yang sulit sekali pun. Vera, sapaan akrabnya, mengatakan apabila resiliensi pada anak telah terbentuk dengan baik, maka anak akan merasa dicintai oleh keluarganya dengan tulus.
"Jika resiliensi pada anak terbangun dengan cara yang baik, maka saat anak ditanyakan perihal apa yang mereka punya, anak akan menjawab. 'Saya mempunyai keluaraga yang mencintai saya,' Hal itu menandakan baginya keluarga lebih berarti daripada hadiah yang diberikan kepadanya," ungkap perempuan yang pernah menuntut ilmu di Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia ini.
Hadiah atau yang juga biasa disebut imbalan, sebetulnya mengajarkan anak untuk berperilaku baik 'asalkan' mampu mendapatkan apa yang ia inginkan. Bisa saja imbalan akan membuat anak berperilaku baik dengan tidak adanya rasa tulus dalam hatinya.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi yang dilakukan oleh Virginia State University menungkapkan, ketika penghargaan atau hadiah berupa barang yang diberikan kepada anak justru dijadikan cara utama untuk memotivasi anak-anak, maka yang terjadi rupanya tak sama dengan apa yang dibayangkan orang tua. Anak-anak yang terbiasa mencari atau mengharapkan hadiah setiap kali telah melakukan suatu hal yang baik, akan terus mencari hadiah tersebut untuk kesempatan-kesempatan selanjutnya.
Lantas, bagaimana cara terbaik yang bisa dilakukan para orang tua untuk mengajarkan anaknya berbuat baik, tanpa harus menggunakan hadiah?
Vera menuturkan, hendaknya seorang anak diajak melakukan hal baik dengan teknik persuasif yang telah dibiasakan sejak dini. Ia memberi contoh seperti keadaan saat seorang anak berhasil mendapatkan nilai yang bagus pada 5 mata pelajaran, dan hal itu rupanya masih belum cukup untuk membantunya naik kelas. Maka, orang tua bisa mengajaknya dengan cara yang lebih nyaman dan menyenangkan bagi anak.
ADVERTISEMENT
"Orang tua bisa mengatakan, 'Nak, kemarin kamu sudah mendapatkan nilai yang bagus untuk 5 mata pelajaran ya? Selanjutnya, untuk 7 mata pelajaran yuk? Kalau lebih banyak, akan lebih bagus, bukan? Akan lebih menyenangkan juga kan untukmu?" tutur Vera.
Ia menyarankan sebaiknya orang tua sering menggunakan kalimat tanya kepada anak agar mereka merasa terlibat untuk berdiskusi dan berkompromi dalam menentukan langkah baik yang akan dilakukan kedepannya. Bukan secara serta merta menjanjikan anak sesuatu, asalkan ia mampu memiliki pencapaian yang 'lebih'. Lebih lanjut, Vera juga mengatakan bahwa memberikan pertanyaan atas kalimat yang diucapkan anak juga dianggap menjadi cara yang efektif untuk melakukan pendekatan terhadap anak.
"Saat anak mengatakan, 'aku lelah,' maka orang tua sebaiknya memberikan respon dengan mengajukan pertanyaan, 'apa yang membuatmu lelah?' sehingga anak akan merasa lebih dicintai orang tuanya karena telah diperhatikan dengan cara yang baik. Ini bisa menjadi dasar untuk memberikan pengertian kepada anak bahwa cinta dan kasih sayang dari keluarga jauh lebih penting daripada sekadar imbalan dan tuntutan," tutupnya.
ADVERTISEMENT