Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pemilu bisa menjadi ajang kreativitas para calon anggota dewan memperkenalkan diri kepada masyarakat. Lihat saja bagaimana spanduk dan baliho mereka dirancang.
Lucky Hakim, misalnya. Mantan calon wali kota Bekasi di Pilkada Bekasi 2012 ini menghiasi spanduk dan baliho miliknya dengan gambar aneka satwa. Alasannya?
“Karena udah bosan dan sangat malas lihat foto caleg. Udah terlalu mainstream dan standar banget kan. Tapi karena saya nyaleg, saya harus pasang,” jawabnya via sambungan telepon kepada kumparan, Rabu (6/3).
Akhirnya ia mengombinasikan potret dirinya bersama berbagai jenis hewan seperti ular, beruang, burung, ikan, kucing, singa, atau harimau. Hal tersebut semata ia lakukan karena jenuh dengan pose yang melulu begitu: senyum formal dan tangan mengepal.
“Idenya adalah supaya mereka berhenti 3 detik saja di gambar saya,” ucap aktor yang kini bernaung di bawah bendera partai NasDem.
Ia setidaknya menyiapkan desain dengan 10 gambar binatang. Namun, dari kesepuluh binatang itu, harimau menjadi gambar yang paling diminati oleh para caleg DPRD di Bekasi dan Depok yang akan memasang potretnya bersama Lucky.
“Katanya, ‘Iya kan kalau harimau identik dengan Prabu Siliwangi’. Sebetulnya saya juga enggak tahu terkait dengan Prabu Siliwangi, saya enggak tahu histori-nya seperti apa,” ujar Lucky yang maju dari dapil Bekasi dan Depok, Jawa Barat.
Di dunia politik—dan ide unik desain spanduk kampanye, Lucky bukanlah orang baru. Ia mengawali karier politiknya dengan masuk Partai Amanat Nasional (PAN) dan maju jadi calon wali kota di Pilkada Bekasi pada 2012. Setelah kalah dalam perebutan kursi wali kota Bekasi periode 2013-2018, Lucky mencoba peruntungannya untuk duduk jadi anggota DPR periode 2014-2019.
Jika tema spanduknya pada Pemilu Legislatif tahun ini adalah aneka satwa, di Pileg 2014 tema superhero lah yang dipilih oleh Lucky. Baginya, melalui spanduk itulah ia harus bisa mencuri perhatian warga barang sejenak.
Di periode lalu, Lucky menghias baliho dan spanduknya dengan gambar-gambar pahlawan super seperti Ultraman, Power Rangers, atau Robocop. Alasannya sederhana saja, pahlawan super dikenal sebagai sosok yang selalu membela kebenaran dan membasmi kejahatan. Seperti itulah kiranya ia ingin dicitrakan.
Tapi, bukannya mendapat kesan kepahlawanan, ia malah tersandung kasus hak cipta karena penggunaan gambar. “Saya waktu itu masih bodoh. Tidak tahu ada karya cipta,” ujar Lucky.
Tak cuma bertema superhero, ide liar lain yang pernah dicoba Lucky adalah dengan memasukkan gambar keranda mayat dalam poster kampanyenya. Ia bahkan hampir saja memasang gambar pocong di balihonya. “Cuma dinasehatin, karena kan mungkin menganggu ya. Disturbing gitu (gambar pocong),” imbuh aktor pecinta reptil ini.
Niat hati ingin berfilosofi dengan memberi pesan bahwa kuburan adalah rumah masa depan demi mengingat kematian, poster itu malah membuat banyak orang bingung. Lucky mau jadi ustaz atau anggota dewan.
Spanduk bertema ajal itu sempat terpajang selama kurang lebih dua minggu di berbagai tempat di Bekasi dan Depok sebelum akhirnya diturunkan.
Lucky sebenarnya tak ambil pusing jika ada yang menertawakan atau bahkan menghina desain spanduknya. Toh spanduk uniknya tetap membantu ia melenggang jadi anggota dewan periode 2014-2019.
“Mereka menanyakan dan heran Tapi di satu sisi, mission accomplished-lah bagi saya. Artinya Anda melihat. Menghina artinya melihat. Hinaan adalah satu keberhasilan,” imbuhnya.
Lain Lucky, lain pula Roy Suryo. Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era Susilo Bambang Yudhoyono ini beraksi dengan menggunakan potret terbalik dirinya di berbagai baliho kampanye di Yogyakarta, daerah pemilihannya.
Setelah sempat gagal jadi anggota dewan pada periode 2014-2019, Roy kembali menguji peruntungannya pada pemilu kali ini. Tak tanggung-tanggung, ia bahkan merancang sendiri desain dan layout spanduknya.
“Saya pikir harus ada perbedaan dan berpikir, ‘Apa ya (desainnya). Ah kenapa enggak pake strategi eye catching yang bisa menarik mata masyarakat, tapi tetap enggak keluar dari tema’,” tuturnya ketika ditemui kumparan, tepat di bawah salah satu balihonya di Perempatan Ring Road Utara, Kentungan, Jalan Kaliurang, Sleman, Jumat (8/3).
Ia pun mengeluarkan lima desain spanduk yang telah ia perhitungkan benar hingga lokasi pemasangannya. Gambar versi blangkon yang menunjukkan simbol kedaerahan untuk dipasang di daerah Gunung Kidul dan Kulon Progo, gambar bersama Agus Harimurti Yudhoyono demi menggaet milenial ditempatkan di area-area dekat kampus, potret bersama Susilo Bambang Yudhoyono di wilayah perkotaan, sementara spanduk jungkir baliknya tampak terpajang di area jalan-jalan utama.
“Dulu aku mantan dosen di ISI (Institus Seni Indonesia) dan dosen komunikasi, ini kan cara bagaimana kita untuk bagaimana menggaet perhatian, tapi tetap pesannya harus tersampaikan,” ujar caleg DPR RI dari partai Demokrat ini.
Baliho dengan potret terbalik dirinya bertuliskan “KADER DEMOKRAT S14P JUNGKIR BALIK DEMI RAKYAT JOGJA” menjadi desain yang paling banyak diminati. Beruntung tulisannya tak ikut dibuat terbalik seperti gambarnya.
“Oh jangan, kalau tulisan kebalik nanti susah bacanya, bisa bikin kecelakaan juga,” ucap Roy diiringi tawa. Ia senang gambarnya berhasil menarik banyak perhatian masyarakat.
Ia juga tak kesulitan untuk menyebarkan dan memasang balihonya di berbagai tempat strategis. Sebab, Roy memiliki jaringan relasi yang cukup luas di Yogyakarta.
Maklum saja, lulusan Ilmu Komunikasi UGM ini memang bukan orang sembarang. Ia berasal dari keluarga bangsawan Puro Pakualaman dengan nama lengkap bergelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo Notodiprojo.
Tak heran jika ia mendapat banyak telepon dari relasinya di berbagai penjuru Yogya. "Mas tempat saya pasangin gambarnya Mas Roy, lucu kae (itu),” ujar Roy menirukan ucapan salah satu pengusaha ayam goreng ternama di Kota Gudeg itu.
Roy juga mendapat permintaan untuk memasang balihonya di sebuah dealer motor milik sahabatnya. Tak hanya itu, Roy bisa meminjam salah satu sisi billboard milik temannya sebagai sarana berkampanye.
Berkat jaringan relasinya ini lah ia dapat sedikit menghemat biaya pemasangan baliho. “Ya kira-kira at least Rp 100 juta sampai Rp 150 jutaan untuk (biaya cetak) media luar ruang ini,” kata Roy.
Sebenarnya memasang potret terbalik di baliho bukan sesuatu yang baru-baru amat. Pada November 2018, spanduk milik Adang Juhandi, caleg DPRD Cirebon dari Partai Amanat Nasional (PAN) juga memasang fotonya secara terbalik. Bahkan, tulisan yang disematkan pun serupa, “Siap Jungkir Balik Demi Rakyat.”
Pada Pileg 2014 tercatat ada tiga caleg dari berbagai daerah yang menggunakan foto terbalik di balihonya. Ia adalah Pradia Handika Daryanes, caleg DPRD Indragiri Hulu, Riau, dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP); Muhammad Abdul Razak, caleg DPRD dari Partai Hanura asal Sidoarjo; dan Mandiri Ratu Warang Agung, caleg DPRD Dapil I Banyuwangi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Semuanya dengan janji serupa, jungkir balik demi rakyat.
Keunikan desain spanduk kampanye tak hanya memasang foto terbalik. Baliho ‘Mission: Impossible’ milik Basri Kinas Mappaseng dari Gerindra yang menempel di tiang listrik di daerah Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, mencuri perhatian warganet.
Desainnya tampak jelas terinspirasi dari poster film Mission Imposible: Fallout (2018) dengan latar belakang Menara Eiffel dan pasangan calon presiden nomor urut 02, Prabowo-Sandi di belakang potretnya.
Dalam baliho tersebut ia menuliskan janji, "Membentuk Lembaga Tabung Haji Indonesia sebagai sumber permodalan usaha rakyat menciptakan pekerja migran Indonesia yang profesional dan bermartabat.”
Ada pula Moh. Amin, caleg DPR RI dari partai Nasdem daerah pemilihan Sulawesi Tengah yang menggunakan istilah pelakor dalam spanduk kampanyenya. Istilah tersebut ia pilih sebab sedang ramai diperbincangkan di tengah masyarakat.
“Waktu itu lagi heboh-hebohnya di TV, pelakor. Saya coba terjemahkanlah pelakor dari segi politiknya,” ujar Amin saat ditemui kumparan di kawasan BSD, Tangerang, Jumat (8/3). Kata tersebut pun ia pelesetkan menjadi jargon kampanye, Pengganti Legislator Kotor.
Sebelumnya Amin sempat merasa kebingungan dalam mencari jargon yang pas. Sebagai pendatang baru di kancah politik, ia butuh sesuatu yang bisa langsung diingat masyarakat akan dirinya.
Istilah pelakor pun tak langsung mengena di hatinya. Saat itu ramai juga petikan rayuan Dilan dalam film Dilan 1990 yakni, “Jangan rindu, berat. Biar aku saja.” Ia pun tertarik memodifikasi kalimat Dilan itu menjadi, “Pengabdian itu berat, biar aku saja.”
Setelah meminta pendapat teman-teman, keluarga, dan juga istrinya, Amin akhirnya mantap menggunakan kata ‘Pelakor’ alias Pengganti Legislator Kotor. Ia tak menduga jargon pelakor itu mendapat sambutan hangat di masyarakat Sulteng.
“Responsnya luar biasa. Jujur, saya sekarang lebih terkenal pelakornya daripada nama sendiri,” ujar Amin diiringi tawa.
Bagi para caleg, mengenalkan dirinya melalui media luar ruang tersebut terbukti efektif. Terutama demi menyasar masyarakat akar rumput yang tak bermain media sosial.
Tak heran jika mereka berdaya upaya mencari panggung di jalanan, perempatan, jembatan penyeberangan, dan berbagai pusat keramaian. Berbagai spanduk, poster, dan baliho itu diupayakan sebisa mungkin menonjol dan terlihat, baik melalui desain ataupun lokasi pemasangan.
Tapi klaim efektivitas itu disanggah oleh Sumbo Tinarbuko. Bagi pemerhati budaya visual dari ISI Yogyakarta ini, ramainya spanduk kampanye termasuk dari caleg-caleg petahana membuktikan bahwa para petahana ini tidak punya prestasi.
“Karena dia tidak memiliki prestasi apa-apa saat menjabat sebagai anggota DPR, kemudian dia mengatakan bahwa iklan luar ruang efektif karena itu satu-satunya cara dia menunjukkan diri lagi,” ujar Sumbo ketika dihubungi kumparan, Sabtu (9/3).
Ia mengkritik cara-cara konvensional yang dilakukan oleh para caleg dalam memperkenalkan dirinya. Potret wajah manis, kesan berwibawa, dengan jargon mirip-mirip—yang menurut Sumbo—tak ada isinya itu hanya menipu masyarakat.
“Saya belum menemukan satu pun alat peraga kampanye berisi janji politik tentang ide yang sangat dekat dengan kebutuhan warga masyarakat. Nggak ada. Isine nang opo? (isinya apa-red) Headline-nya, ‘Mohon doa restu dan dukungannya’,” ucapnya.
Tapi pada kenyataannya berbagai spanduk dan poster itu hanya memuat tiga hal: identitas diri, logo partai, dan nomor urut. Sementara tulisan yang disematkan pada desain tak jauh dari ucapan mohon doa restu dan jargon-jargon sederhana.
Alhasil, warga hanya melulu disodori potret-potret wajah calon anggota dewan tanpa mengenal apa visi dan misi mereka.
Sehingga baginya, spanduk para caleg yang bertebaran itu tak ubahnya surat lamaran berbentuk pas foto politik. “Saya menyebutnya pengangguran yang mencari lowongan kerja anggota legislatif. Surat lamarannya dipasang di tiang listrik, jembatan, dan segala macam.”
Baginya, hiruk pikuk iklan kampanye luar ruang itu tak efektif. “Iklan luar ruang hanya punya masa keterlihatan maksimal satu minggu. Setelah satu minggu, orang tidak lagi bisa mengidentifikasi siapa dan apa pesannya,” ujar dosen Komunikasi Visual ini.
Ia memberi usul, mengapa tidak para caleg itu membuat performance art. Turun ke masyarakat, ikut membersihkan selokan, mencabuti rumput dan dahan-dahan yang rimbun. “Atau pada saat jam sibuk, jam masuk kantor, atau jam pulang sekolah caleg-caleg ini kampanyenya sambil mengurai kemacetan.”
Baginya daripada spanduk yang sering bikin semrawut, penggunaan seni instalasi yang apik akan lebih menarik dan berkesan. Apakah para caleg berani mencoba dan keluar dari cara-cara kampanye konvensional?