18 Korban Korupsi Bansos Tetap Lanjutkan Perlawanan

28 Desember 2021 20:25 WIB
ยท
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara (kiri) bersiap mengikuti sidang lanjutan kasus korupsi Bansos COVID-19 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/6/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Terdakwa mantan Menteri Sosial Juliari Batubara (kiri) bersiap mengikuti sidang lanjutan kasus korupsi Bansos COVID-19 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/6/2021). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tim Advokasi Korban Korupsi Bansos meluncurkan hasil eksaminasi atas penetapan hakim PN Jakarta Pusat yang menolak penggabungan perkara gugatan ganti kerugian para korban korupsi bansos.
ADVERTISEMENT
Tim advokasi berharap kasasi yang mereka ajukan dikabulkan Mahkamah Agung.
Adapun eksaminator terkait putusan ini adalah Agustinus Pohan (Dosen FH UNPAR), Ahmad Sofian (Dosen FH Universitas Binus), Fachrizal Affandi (Dosen FH UNBRAW), Leopold Sudaryono (Ahli Kriminologi), dan Elisabeth Sundari (Dosen FH Universitas Atmajaya Yogyakarta).
Dalam keterangannya, Tim Advokasi menyebut secara umum, para eksaminator menyimpulkan adanya kekeliruan mendasar dari penetapan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta ketika menganulir upaya hukum korban korupsi bansos tersebut.
Sebagaimana diketahui, para korban korupsi bansos itu sedang mengupayakan pemulihan hak-haknya yang telah dirampas oleh pelaku korupsi. Dalam hal ini terkait dengan perkara bansos mantan Menteri Sosial, Juliari Batubara.
Para korban menilai perbuatan korupsi Juliari berimbas pada kualitas bansos yang sangat buruk. Maka dari itu, 18 masyarakat yang berdomisili di sekitaran Jakarta mengajukan perlawanan hukum dengan menggunakan mekanisme penggabungan perkara gugatan ganti kerugian.
ADVERTISEMENT
"Alih-alih diperiksa dan dikabulkan, langkah hukum mereka justru ditolak dengan alasan yang sangat janggal, yakni kewenangan relatif pengadilan," demikian keterangan dari tim advokasi, Selasa (28/12).
Dalam permohonannya, para korban meminta menggabungkan gugatan ganti rugi dengan penuntutan yang sedang dilakukan KPK terhadap Juliari Batubara. Namun, penggabungan itu ditolak hakim.
Mensos Juliari Batubara konferensi pers di Istana Negara. Foto: Kemensos
Alasannya, terkait dengan locus delicti yakni domisili Juliari Batubara di Jakarta Selatan. Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menilai gugatan seharusnya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun dari hasil eksaminasi, argumen hukum majelis hakim itu bisa diperdebatkan. Sebab dalam pasal 98 KUHAP yang mengatur soal ganti rugi dengan penggabungan perkara ini, sama sekali tidak mensyaratkan ketentuan domisili tergugat sebagai dasar untuk mengajukan perlawanan hukum.
ADVERTISEMENT
Berikut ketentuan dalam Pasal 98 KUHAP:
1) adanya kerugian yang dirasakan oleh seseorang;
2) penggugat merupakan korban langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa;
3) hubungan antara kejahatan dengan kerugian (kausalitas) harus bisa dijelaskan;
4) permohonan diajukan sebelum penuntut umum membacakan surat tuntutan.
"Dalam dokumen yang diserahkan ke Pengadilan Tipikor, praktis seluruh persyaratan itu telah dipenuhi dan dijelaskan secara rinci oleh para korban, akan tetapi majelis hakim mengabaikan argumentasi-argumentasi yang disampaikan oleh penggugat," kata tim advokasi.
"Dari sini bisa dilihat perspektif majelis hakim belum meletakkan korban sebagai entitas penting dalam suatu perkara yang harus dipulihkan hak-hak dasarnya," sambung mereka.
Selain itu, tim advokasi menilai Pasal 98 KUHAP itu dibentuk dengan tujuan efisiensi bagi korban untuk memperoleh kembali hak-hak dasarnya yang hilang akibat suatu tindak pidana.
ADVERTISEMENT
"Menjadi hal yang tidak masuk akal, jika kemudian majelis hakim PN Tipikor Jakarta justru meminta para korban menempuh gugatan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Lagi pun, Pasal 98 KUHAP dapat dianggap sebagai turunan Pasal 35 Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC) yang mengatur kewajiban negara-negara peserta (termasuk Indonesia) untuk mengatur mekanisme pemulihan korban korupsi. Penetapan PN Tipikor itu justru bertolak belakang dengan semangat pemulihan korban sebagaimana diharapkan oleh UNCAC," ucap tim advokasi.
Eks Menteri Menteri Sosial Juliari P Batubara (tengah) menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Rabu (21/4). Foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO
Meski demikian, putusan hakim pengadilan Tipikor ini dipandang belum final. Tim advokasi masih menempuh upaya hukum lainnya yakni kasasi ke MA.
Alasannya kasasi tersebut didasari Pasal 253 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan bahwa salah satu alasan untuk mengajukan upaya hukum kasasi ketika peraturan hukum diterapkan tidak sebagaimana mestinya.
ADVERTISEMENT
"Jadi, dikaitkan dengan konstruksi eksaminasi ini, yang mana menghasilkan kesimpulan bahwa majelis hakim Pengadilan Tipikor telah keliru menafsirkan Pasal 98 KUHAP, maka sudah selayaknya Mahkamah Agung segera mengeluarkan putusan dan mengabulkan seluruh dalil para korban korupsi bansos. Putusan Mahkamah Agung ini akan menjadi penentu nasib pemulihan korban korupsi pada masa mendatang," ungkap tim advokasi.
Adapun advokasi ini terdiri dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Indonesia Corruption Watch, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Visi Integritas Law Office, change.org, Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM, dan Lokataru.
Gugatan ini terkait 18 warga Jabodetabek yang mengaku korban korupsi bansos. Mereka mengajukan ganti rugi dalam perkara Juliari ketika mantan Mensos itu masih disidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Gugatan itu digabungkan dengan penuntutan yang dilakukan jaksa KPK.
ADVERTISEMENT
Mereka meminta ganti rugi total sebesar Rp 16 juta. Nilai tersebut berdasarkan nominal paket bansos sebesar Rp 300 ribu yang seharusnya diterima mereka.
Majelis hakim sempat memberikan akses bagi Tim Advokasi untuk melengkapi dokumen bahkan ikut sidang bersebelahan dengan JPU KPK. Namun, setelah itu, permohonan penggabungan perkara gugatan ganti kerugian ditolak.
Sementara untuk Juliari, politikus PDIP itu divonis 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Ia dinilai terbukti menerima suap terkait pemilihan vendor bansos. Kini, mantan orang nomor satu di Kemensos itu telah resmi menjadi penghuni Lapas Klas 1 Tangerang.