Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
1965: Sejarah Harus Diungkap dengan Kerja Ilmiah Terukur
18 September 2017 8:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
Dua hari berturut-turut insiden pecah di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang berlokasi di pusat Jakarta, tepatnya Jalan Diponegoro Nomor 74, Menteng. Rencana penyelenggaraan seminar bertajuk “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” di tempat itu tak pernah terlaksana karenanya.
ADVERTISEMENT
Hari pertama, Sabtu (16/9), seiring kepungan massa dari sejumlah kelompok, Kepolisian memblokade dan merangsek masuk ke dalam gedung untuk membubarkan acara. Panitia disebut tak melayangkan pemberitahuan resmi hendak menggelar acara bertema sensitif.
Hari kedua, Minggu malam (17/9) hingga Senin dini hari tadi (18/9), LBH Jakarta kembali dikepung. Ratusan orang, dari luar gedung, meneriakkan ancaman dan melempar batu, sementara acara “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” berlangsung di dalamnya.
#AsikAsikAksi berisi gelaran seni--puisi, musik--sebagai wujud keprihatinan atas pembubaran acara sehari sebelumnya, seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966, oleh Kepolisian.
Kepungan massa alhasil membuat suasana ricuh lagi. Sekitar 200 orang yang berada dalam areal gedung LBH Jakarta terkurung dan bertahan. Sebagian dari mereka ialah penyintas Tragedi 1965 yang telah berusia sepuh. Sebagian lainnya, termasuk aktivis Melanie Subono, bersembunyi di atap gedung sembari memonitor situasi.
ADVERTISEMENT
“Saya terjebak di LBH. Setelah selesai lagu terakhir, di luar pagar tak kondusif lagi…” ujar Melanie di akun media sosialnya pukul 22.20 WIB. Ia terus meng-update situasi di LBH Jakarta hingga dini hari.
Berbeda dengan sehari sebelumnya kala polisi membubarkan acara, kali ini mereka mengadang massa untuk masuk ke dalam gedung dan mencoba memberi penjelasan persuasif kepada massa.
“Tidak ada acara terkait PKI, dan aparat Kepolisian mulai dari Kapolsek Menteng, Kapolres Jakarta Pusat, Kabaintelkan Mabes Polri, sampai Kapolda Metro Jaya telah melakukan klarifikasi langsung--melihat semua bahan, mengawasi terus-menerus, dan mengakui serta menjelaskan kepada massa bahwa tidak ada acara yang berkaitan sama sekali dengan PKI atau komunisme. Tapi massa tidak mau mendengar dan melawan aparat,” kata YLBHI dalam keterangan tertulisnya pagi ini.
ADVERTISEMENT
Ucapan terima kasih pun dilontarkan YLBHI atas respons dan perlindungan aparat keamanan terhadap peserta acara di dalam gedung.
“Hoax dan berita-berita bohong telah disiarkan, propaganda tuduhan yang mengada-ada telah diviralkan, instruksi-instruksi untuk menyerang LBH dilakukan secara sistematis dan meluas bahwa ini acara PKI, menyanyikan lagu Genjer-genjer, dan lain-lain. Padahal sama sekali tidak ada,” tegas YLBHI, yakin ada pihak-pihak yang dengan sengaja menghendaki kerusuhan terjadi.
Sehari sebelumnya, ketika seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966 tertunda dan akhirnya dibubarkan, YLBHI, Forum ‘65, KontraS, dan Amnesty International serempak melontarkan kecaman, menuding telah terjadi pemberangusan hak dasar untuk berkumpul dan menyatakan pendapat.
“Arah negara kita akan diserahkan bukan kepada hukum tertulis, tapi apa kata orang yang bisa memobilisasi orang sebanyak-banyaknya, termasuk dengan uang yang besar,” kata Ketua Umum YLBHI, Asfinawati.
Forum diskusi ilmiah. Itulah kata-kata kunci yang diucapkan Bonnie Setiawan, Ketua Panitia Penyelenggara Seminar Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966.
ADVERTISEMENT
“Seminar itu kan forum ilmiah. Bisa datang baik-baik. Kalau mau menantang, bisa membawa ilmuwannya sendiri-sendiri. Siapapun yang datang dengan semangat ilmiah, semangat diskusi yang baik, ikuti tertib seminar, kami sangat terbuka,” ucap Bonnie di LBH Jakarta.
Meski begitu, Bonnie menyadari segala sesuatu bertema Tragedi 1965 akan terus dirongrong oleh beberapa pihak yang tak menyukainya, sekalipun berwujud forum ilmiah. Hal ini, mau tak mau, membuatnya jengkel.
“Kenapa takut dengan seminar? Jelas karena ini seminar mengenai ‘65. Dan siapa yang takut dengan dibongkarnya masalah 65? Orang-orang Orde Baru yang masih kuat di pemerintahan ini. Mau mengupas sedikit saja, pasti diberangus,” tandasnya.
Menurut rencana semula--yang kemudian bubar seketika, acara seminar dibagi dalam 7 sesi. Pertama, meluruskan kontroversi 1948. Kedua, kontroversi sebelum 1965 dan konflik agraria. Ketiga, G30S (Gerakan 30 September)/Gestok (Gerakan Satu Oktober) serta TAP MPRS XXV (tentang pembubaran PKI) dan XXXIII (yang menuding Sukarno mendukung G30S) dan berujung pada Supersemar dan lahirnya Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Keempat, sesudah 1965--melingkupi terjadinya kejahatan kemanusiaan, genosida, pemenjaraan di kamp-kamp, periode pembebasan tahanan 1978/1979, tentang kaum eksil yang terhalang pulang. Kelima, periode 1981-sekarang--meliputi politik bersih lingkungan, termasuk dalam kurikulum pelajaran sejarah.
Keenam, mencari terobosan penyelesaian tragedi sejarah masa lalu dan KKR (rehabilitasi, rekonsiliasi, reparasi) dalam lingkup formal/kenegaraan. Ketujuh, mencari terobosan penyelesaian dan KKR dalam lingkup masyarakat sipil.
Ketujuh sesi seminar ilmiah itu sedianya diisi pembicara dari berbagai latar belakang, mulai dari sejarawan, pegiat kemanusiaan, hingga pejabat pemerintah. Sebut saja Dr. Asvi Warman Adam, Dr. Baskara T. Wardaya, Martin Aleida, Kusnanto Anggoro, Ifdhal Kasim, dan diplomat senior Makarim Wibisono.
Reza Muharam, anggota International People’s Tribunal 1965 (IPT ‘65), mengatakan seluruh rangkaian seminar ilmiah itu bertujuan mengungkap kebenaran peristiwa ‘65, dan bagian dari langkah pemutakhiran temuan sejarah terbaru.
ADVERTISEMENT
“Ini juga untuk memformulasikan narasi alternatif terhadap hoax-hoax yang sekarang kembali direproduksi,” ucap Reza.
Ia berpendapat, mempelajari sejarah tak bisa ditempuh dengan peranti-peranti buatan pemerintah seperti film propaganda Pengkhianatan G30S/PKI.
“Sejarah harus diungkap oleh kerja-kerja ilmiah yang disiplin dan terukur. Kami hendak mengetahui secara lebih komprehensif kebenaran pada masa 1965. Sebab, di satu sisi ada hoax ‘65 hasil manipulasi narasi pemerintah versi Orde Baru. Di sisi lain, banyak sekali temuan akademis yang justru menjungkirbalikkan narasi hegemonis yang masih dipegang dan diyakini sebagian besar rakyat Indonesia kini,” ujar Reza.
Seperti Bonnie, Reza pun paham betul narasi tandingan yang dilekatkan pada hantu komunis membuat semua serbasulit. Bagaimanapun, ia berprinsip kebenaran tak bisa dibangun oleh kecurihaan dan dogma seperti yang selama ini selalu digunakan untuk menybar kebencian pada para korban dan penyintas Tragedi 1965.
ADVERTISEMENT
“Kebenaran saat ini akan terus berkembang sesuai temuan-temuan terbaru. Sangat penting kerja-kerja akademik untuk pengungkapan ‘65,” ujarnya.
Reza mencatat, saat ini setidaknya ada puluhan produk akademik internasional yang mengambil tema Tragedi 1965. Beberapa contohnya, Jessica Melvin dari University of Melbourne, Australia, menemukan bukti genosida di Aceh.
Melvin merampungkan studi doktoralnya lewat disertasi berjudul Mechanics of Mass Murder: How the Indonesian Military Initiated and Implemented the Indonesian Genocide: The Case of Aceh.
Berikutnya, Andrew Marc Conroe dari University of Michigan, Amerika Serikat, meneliti mengenai tahanan politik Tragedi 1965. Disertasi berjudul Generating History: Violence and the Risks of Remembering for Families of Former Political Prisoners in Post-New Order Indonesia mengantarkan Conroe meraih gelar doktor filosofi.
ADVERTISEMENT
Ada pula disertasi doktoral Anna-Greta Nillson Hoadley dari Lund University, Swedia, berjudul Indonesian Literature Vs New Order Orthodoxy: The Afrtermath of 1965-1966 yang menelaah tentang hegemoni narasi yang dibangun Orde Baru.
Ketiga karya akademik itu hanya sebagian kecil dari puluhan kerja ilmiah di seputar Tragedi 1965--yang justru lebih leluasa dikaji ilmuwan asing karena kondisi psikologis masyarakat Indonesia yang menganggapnya tabu sehingga menghindari kajian ilmiah soal itu.
Jadi, sampai kapan kajian-kajian ilmiah yang dirancang cermat, dibangun dengan penelitian lapangan dan metodologi disiplin ketat, harus terpinggirkan dan terempas di negeri sendiri?
Tragedi 1965 mungkin selamanya akan menjadi medan tarik ulur kebenaran sejarah.
Sebetulnya, ujar Reza, ia akan amat senang jika terbangun diskusi akademis di antara kedua belah pihak yang berbeda pendapat.
ADVERTISEMENT
“Kami tidak antiperdebatan,” kata dia.
Ia tak terlalu mempermasalahkan perbedaan cara pandang yang bisa menghambat aspirasi pengungkapan kebenaran sejarah. Yang jadi masalah selama ini adalah: bagaimana diskusi ilmiah dijalankan beradab tanpa tendensi kekerasan.
“Kami ingin ada perdebatan terbuka Tapi jangan main pukul dan main kayu. Mari berdebat secara fakta dan akademis,” ujar Reza.
Mengutip data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENET), kegiatan yang berkaitan dengan Tragedi 1965 selama ini paling banyak mengalami represi. Data dari Januari 2015 hingga Agustus 2017 menunjukkan, setidaknya ada 44 kegiatan tentang Tragedi 65 yang direpresi.
Kegiatan tersebut terdiri dari pemutaran film Senyap dan Jagal, diskusi ilmiah, hingga pertemuan para penyintas. Pelaku adalah ormas hingga aparat TNI dan Polri.
ADVERTISEMENT
YLBHI menegaskan akan terus mendampingi mereka yang tertindas tanpa pandang bulu. “Tidak memandang suku, agama, ras, keyakinan politik, golongan. Termasuk korban-korban yang distigma ‘65 kami dampingi.”
Tentu saja, awan masih terus menggayut di atas kepala para korban dan penyintas Tragedi 1965.
Simak selengkapnya jalan panjang pengungkapan ilmiah Tragedi 1965 dalam ulasan berikut.