3 Hal yang Perlu Kamu Tahu Tentang Jalan Pajajaran di Yogyakarta

3 Oktober 2017 17:40 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:14 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Candi Prambanan Yogyakarta (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Candi Prambanan Yogyakarta (Foto: Munady)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sri Sultan Hamengkubuwono X meresmikan 6 nama jalan baru di Yogyakarta. Pemberian nama jalan ini menarik, karena untuk pertama kalinya ada Pajajaran dan Siliwangi sebagai nama jalan di tanah Jawa.
ADVERTISEMENT
Disadari atau tidak, tidak ada nama jalan terkait wilayah Sunda, seperti Pajajaran dan Siliwangi di kawasan Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sebaliknya, tidak ada nama Jawa seperti Majapaphit, Hayam Wuruk, dan Gadjah Mada di Jawa Barat.
Hal ini terjadi bukan tanpa sebab. Sejarah panjang sejak masa kerajaan rupaya belum bisa membuat move on.
Tidak adanya nama-nama jalan itu diyakini berawal dari perseteruan dua kerajaan Pajajaran dan Majapahit saat itu. Perselisihan itu dikenal dengan Perang Bubat.
1. Mempersunting sang putri Sunda
Semula, Prabu Hayam Wuruk menyatakan ketertarikan pada putri Dyah Pitaloka Citraresmi pada tahun 1357. Hayam Wuruk kemudian mengirim surat kehormatan kerajaan Majapahit kepada Maharaja Linggabuana untuk mempersunting putri Negeri Sunda itu.
ADVERTISEMENT
Hayam Wuruk ingin mempererat tali persaudaraan yang lama putus antara Pajajaran dan Majapahit melalui pernikahan ini. Niat baik itu, disambut positif oleh Maharaja Linggabuana.
Keputusan ini sempat ditentang oleh Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Dia menilai, tidak lazim pihak wanita datang ke pihak pria. Di sisi lain, ada kabar Majapahit akan memperluas wilayah kerajaan setelah menguasai Kerajaan Dompu.
Linggabuana akhirnya tetap berangkat membawa serta beberapa menteri dan tentu sang putri Dyah Pitaloka. Pertemuan dilaksanaan di Pesanggarahan Bubat.
Penggambaran Gadjah Mada (Foto: Flickr/Agung Nugroho)
zoom-in-whitePerbesar
Penggambaran Gadjah Mada (Foto: Flickr/Agung Nugroho)
2. Ego Merebut Tanah Sunda
Pertemuan itu pun berlansung. Tak disangka, Mahapati Gadjah Mada melihat pertemuan ini sebagai peluang untuk menguasai Jawa Barat.
Gadjah Mada lalu meminta Hayam Wuruk untuk menerima Dyah bukan sebagai putri yang akan disunting. Gadjah Mada ingin sang putri diterima sebagai tanda penyerahan diri Kerajaan Sunda pada Majapahit.
ADVERTISEMENT
Ego Gadjah Mada berujung panjang. Dia mendapat cacian dari para utusan Kerajaan Sunda yang ikut dalam pertemuan. Hal ini diperparah sikap Hayam Wuruk yang tidak jelas.
Diam-diam, Gadjah mada sudah menyiapkan pasukan tanpa sepengatahuan Hayam Wuruk. Linggabuana yang ingin mempertahankan kehormatan memilih berperang meski kalah jumlah.
Seluruh utusan termasuk menteri, pejabat kerajaan, dan keluarga Kerajaan Sunda ikut berperang. Tapi, upaya itu sia-sia. Seluruh utusan Kerajaan Sunda termasuk Linggabuana dan Dyah tewas dalam peperangan itu.
3. Sulit Move On
Tak disangka peristiwa ini terus berdampak sampai saat ini. Pemutusan hubungan Majapahit dan Pajajaran dimulai semasa Prabu Niskalawastu Kancana memimpin Kerajaan Sunda.
Salah satu kebijakan yang paling populer dikenal dengan istilah estri ti luaran. Hal ini merupakan larangan di antaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit.
ADVERTISEMENT
Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.
Meski peristiwa ini sudah berlalu bertahun-tahun, tradisi ini tampaknya masih sangat melekat baik di masyarakat Sunda maupun Jawa.
Misalnya, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan Gajah Mada atau Majapahit. Meskipun Gajah Mada dinilai memiliki andil besar perjalanan bangsa Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda berpandangan sebaliknya.
Tapi kini semuanya sudah berubah, dimulai dari Yogyakarta.