41,36% Pembaca Nilai Empati Jadi Keterampilan Hidup yang Paling Penting

18 April 2025 10:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi keluarga bahagia.  Foto: Tirachard Kumtanom/Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga bahagia. Foto: Tirachard Kumtanom/Shutterstock
ADVERTISEMENT
Sebanyak 41,36 persen atau 225 pembaca kumparan menilai asah keterampilan hidup empati adalah yang paling penting. Angka ini merupakan hasil polling kumparan yang dilakukan pada 24-31 Maret 2025.
ADVERTISEMENT
Total ada sebanyak 544 responden yang menjawab polling ini. Sementara, terdapat 30,88 persen atau 168 pembaca menilai regulasi emosi menjadi keterampilan kedua yang paling penting untuk diasah,.
Disusul dengan gigih di posisi ke-3 sebesar 13,97 persen atau 76 orang. Sementara itu, kreativitas menempati posisi ke-4 keterampilan yang penting dengan capaian 13,79 persen atau 75 pembaca.
Kenapa empati paling banyak dipilih?
Di tengah dunia yang semakin terhubung tapi juga rentan konflik, empati menjadi fondasi penting dalam menjalin hubungan sosial yang sehat. Kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain membuat seseorang lebih bijak dalam berinteraksi, tidak mudah menghakimi, dan lebih mampu membangun kerja sama—baik di rumah, di sekolah, maupun di tempat kerja.
ADVERTISEMENT
Di media sosial, misalnya, empati dapat membuat seseorang berpikir dua kali sebelum menyebarkan komentar yang menyakiti orang lain. Sementara di tempat kerja, empati bisa menciptakan suasana tim yang sportif dan produktif.
Selama Ramadan, kita terbiasa diajak merenung dan menahan diri. Di momen inilah banyak orang mulai lebih sadar bahwa berempati bukan kelemahan, melainkan kekuatan yang menyatukan manusia. Maka, tak heran jika empati dipilih sebagai keterampilan hidup paling penting.
Sementara itu, regulasi emosi yang berada di posisi kedua juga sebetulnya sangat krusial. Sebab, emosi yang tidak terkelola bisa merusak hubungan, menghambat pengambilan keputusan, hingga memicu tindakan negatif seperti kekerasan atau intimidasi.
Saat marah, misalnya, orang yang bisa mengatur emosinya akan memilih menarik napas dan berpikir jernih sebelum merespons. Di dunia kerja, regulasi emosi yang baik juga membuat seseorang bisa lebih fokus dan tidak gampang panik.
Ilustrasi pria marah. Foto: Daniel Tadevosyan/Shutterstock
Meski berada di posisi ketiga dan keempat, sikap gigih dan kreatif juga sebetulnya tak kalah penting. Gigih adalah sikap tidak mudah menyerah. Misalnya, ketika gagal dalam ujian atau pekerjaan, seseorang yang gigih akan mencari cara untuk bangkit, bukan larut dalam kegagalan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, kreativitas adalah kemampuan melihat solusi dari berbagai sudut pandang. Seseorang yang kreatif bisa melihat kesempatan dalam kesempitan. Orang Minangkabau, misalnya, menciptakan rendang bukan hanya sebagai makanan lezat, tapi juga sebagai solusi praktis untuk menyimpan lauk tahan lama saat bepergian jauh atau merantau. Dengan memanfaatkan bahan lokal seperti santan kelapa dan rempah-rempah, mereka menciptakan masakan yang tahan berhari-hari tanpa pengawet, bahkan bisa sampai berminggu-minggu.

SES adalah Keterampilan Hidup

Sikap empati, kreatif, gigih, dan regulasi emosi merupakan Social Emotional Skills (SES) yang dapat mendukung kesuksesan dalam belajar di sekolah, dunia kerja, hubungan baik dalam antar personal maupun di dalam komunitas.
Meski Ramadan telah usai, nilai-nilai yang telah kita latih selama sebulan penuh sebaiknya tidak ikut pergi. Apa yang sudah diperbaiki dalam diri—seperti belajar lebih sabar, lebih empati, atau lebih mampu menahan emosi—adalah bekal penting yang layak dijaga dan dilanjutkan.
ADVERTISEMENT
Keterampilan sosial-emosional bukan hanya relevan di bulan suci, tapi akan terus berguna dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari. Karena sejatinya, membentuk karakter bukan perkara satu bulan, tapi ia adalah proses seumur hidup.
Ilustrasi anak korban bullying. Foto: Shutterstock
Bahkan, menurut psikolog klinis anak dan remaja, Anastasia Satriyo, jika keterampilan sosial-emosional ini tidak bisa dikelola dengan baik, bisa menjadi salah satu penyebab terjadinya bullying di lingkungan sekolah. Menurutnya, otak anak-anak usia praremaja dan remaja memiliki daya tahan stres yang masih terbatas.
Di usia ini juga, mereka sedang berada dalam pencarian jati diri, yang ingin berusaha mengenal siapa dirinya, sehingga kerap menghadapi emosi yang membingungkan.
Menurut Anas, hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah orang tua maupun guru perlu berlatih tentang kesehatan mental, mengelola emosi dan stres diri sendiri, lalu barulah mengajarkannya kepada anak-anak.
Ilustrasi anak marah. Foto: Shutter Stock
Selain itu, penting untuk mengedukasi diri tentang hal-hal apa saja yang membuat anak stres. Anak pun perlu diajarkan tentang keterampilan mengelola konflik dan resolusi konflik untuk bisa berdiskusi, bernegosiasi, dan berdialog.
ADVERTISEMENT
Di dunia yang semakin kompleks, generasi muda kita menghadapi tantangan yang tak selalu bisa diselesaikan dengan kecerdasan kognitif saja. Mereka juga memerlukan bekal keterampilan sosial-emosional—seperti empati, daya juang, kreativitas, dan regulasi emosi—untuk tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan bermakna.
Menumbuhkan keterampilan ini, baik pada diri sendiri maupun orang-orang di sekitar kita menjadi penting untuk dilakukan di setiap momen kehidupan. Karena sejatinya, keterampilan ini akan selalu relevan bagi manusia di sepanjang hidup.