Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
5 Alasan Anak Putus Sekolah saat Pandemi: Menikah, Kerja, hingga Kecanduan Games
7 Maret 2021 20:23 WIB

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Anggota KPAI Retno Listyarti mengatakan, pantauan tersebut dilakukan di Kota Bandung, Kota Cimahi, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma dan Provinsi DKI Jakarta. Untuk Kota Bandung dan Cimahi, pantauan dilakukan secara langsung.
Selain pantauan, KPAI juga melakukan wawancara secara online dengan guru dan kepala sekolah dari Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI).
“Namun faktanya, KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” ujar Retno dalam keterangan tertulisnya, Minggu (7/3).
Berikut adalah hasil temuan KPAI yang menyebabkan angka putus sekolah tinggi selama pandemi.
Pertama, siswa putus sekolah karena menikah
Jumlah siswa yang berhenti sekolah karena menikah jumlahnya mencapai 33 peserta didik dari kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Rata-rata siswa yang menikah berada di kelas XII, yang beberapa bulan lagi ujian kelulusan sekolah.
ADVERTISEMENT
Karena masih PJJ, maka mayoritas yang sudah menikah tanpa sepengetahuan pihak sekolah. Wali kelas atau guru Bimbingan Konseling (BK) baru mengetahui setelah dilakukan “home visit” karena tidak pernah lagi ikut PJJ.
Pada tahun 2020 dari hasil pengawasan penyiapan sekolah tatap muka diperoleh data angka putus sekolah mencapai 119 kasus, yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bima, Sumbawa Barat, Dompu, Lombok Barat, Lombok Timur, Lombok Utara, kota Mataram, Kota Bengkulu, Seluma, Wonogiri, Jepara, dan kabupaten Bandung.
Kedua, siswa putus sekolah karena bekerja
Sejumlah siswa SMK dan SMP terpaksa bekerja karena orang tua terdampak secara ekonomi selama pandemi corona. Ada satu siswa SMPN di Cimahi bekerja sebagai tukang bangunan demi membantu ekonomi keluarganya.
ADVERTISEMENT
Kemudian, ada satu siswa di Jakarta yang bekerja di percetakan membantu usaha orangtuanya karena sudah tidak memiliki karyawan sejak pandemi.
Ketiga, siswa putus sekolah karena menunggak SPP selama berbulan-bulan
Kasus menunggaknya iuran SPP yang mengadu ke KPAI jumlahnya cukup tinggi, terhitung mulai Maret 2020 sampai dengan Februari 2021 ada 34 kasus.
Dari 34 kasus tersebut, 3 di antaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK.
Penunggak sekolah terjadi karena dampak pandemi di mana ekonomi keluarga dari anak-anak tersebut terdampak secara signifikan, memenuhi kebutuhan sehari-hari saja sudah sulit, sehingga bayar SPP yang dikorbankan.
Rata-rata yang mengadu sudah tidak membayar SPP 6-11 bulan, factor ekonomi keluarga yang terpuruk selama pandemic menjadi penyebab utama.
ADVERTISEMENT
“Beberapa sekolah memang melakukan penahanan ijazah anak yang lulus tahun 2020 lalu karena belum melunasi pembayaran SPP, ada juga yang tidak dikeluarkan tetapi tidak diberi akses PJJ,” pungkas Retno.
Keempat, kecanduan game online
Saat pengawasan di kota Cimahi, KPAI mendapatkan data bahwa ada 2 anak kelas 7 SMP yang berhenti sekolah karena kecanduan game online, satu di antaranya berhenti sementara (cuti) selama 1 tahun untuk proses pemulihan secara psikologi.
Kisah dari para guru di beberapa daerah juga menunjukkan fakta yang mengejutkan, bahwa anak-anak yang pagi hari tidak muncul di PJJ online ternyata masih tidur karena main game online hingga menjelang subuh.
Kelima, siswa meninggal dunia
Hasil pemantauan kasus siswa putus sekolah karena meninggal dunia terjadi di salah satu SMAN di Kabupaten Bima karena terseret arus ketika bencana banjir Januari lalu, dan satu lagi berasal dari salah satu SMK Swasta di Jakarta yang meninggal karena kecelakaan motor.
ADVERTISEMENT
Jadi secara data KPAI, ada dua siswa yang meninggal pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.