5 Dalil Pengacara Tom Lembong Minta Hakim Batalkan Status Tersangka Kliennya

26 November 2024 9:32 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Jumat (1/11/2024). Foto: Muhammad Ramdan/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan mengenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Jumat (1/11/2024). Foto: Muhammad Ramdan/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Menteri Perdagangan RI 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, bakal menjalani sidang putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, hari ini, Selasa (26/11).
ADVERTISEMENT
Dalam gugatan praperadilan itu, pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, mengemukakan sejumlah dalil untuk meminta Hakim PN Jakarta Selatan membatalkan status tersangka kliennya.
Hal itu disampaikannya saat membacakan kesimpulan hasil persidangan praperadilan di PN Jakarta Selatan, Senin (25/11). Berikut sejumlah dalilnya:
Tak Diberikan Kesempatan Pilih Pengacara Sendiri
Jumpa pers pengacara Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (22/11). Foto: Jonathan Devin/kumparan
Ari mengungkapkan kliennya tak diberi kesempatan untuk memilih penasihat hukumnya sendiri. Padahal, hal tersebut telah diatur dalam Pasal 54 dan 55 KUHAP. Namun, lanjutnya, ketentuan itu justru dilanggar oleh Kejagung, saat menetapkan Tom tersangka dan menahannya.
Ari menyebut tindakan Kejagung menjerat kliennya tersangka merupakan perbuatan yang sewenang-wenang.
"Hal ini terbukti dari keterangan tertulis Pemohon (Principal) yang disampaikan pula secara daring dalam persidangan, bahwa Termohon tidak memberikan kesempatan yang layak dan patut untuk Pemohon memutuskan penasihat hukum yang ingin Pemohon tunjuk mendampingi Pemohon dalam perkara ini," kata dia.
ADVERTISEMENT
Dalam persidangan, juga dihadirkan ahli hukum pidana dari pihak Pemohon, yakni Mudzakkir.
Dalam keterangannya, Mudzakkir menjelaskan bahwa jika seseorang tidak dapat menunjuk sendiri penasihat hukumnya sebagaimana dimaksud Pasal 54 dan 55 KUHAP dan selanjutnya justru ditunjuk oleh Penyidik, hal tersebut merupakan perbuatan yang menyimpang dan melawan hukum.
"Karena itu penetapan Tersangka tersebut adalah tidak sah karena melanggar ketentuan Pasal 54 dan 55 KUHAP," paparnya.
Tak Terpenuhinya 2 Alat Bukti yang Sah dan Relevan
Pengacara membacakan kesimpulan dalam sidang lanjutan praperadilan Tom Lembong di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (25/11/2024). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Dalam penetapan Tom Lembong sebagai tersangka, Ari menilai bahwa Kejagung tak memenuhi dua alat bukti yang sah dan relevan. Salah satunya yakni tidak ada perhitungan kerugian keuangan negara sebagai inti delik yang harus berdasarkan audit lembaga yang berwenang, dalam hal ini adalah audit yang dilakukan BPK.
ADVERTISEMENT
"Faktanya dalam persidangan, terkait kerugian keuangan negara, Termohon [Kejagung] tidak mampu membuktikan," kata Ari.
"Meskipun dalam jawaban Termohon menyampaikan bahwa Termohon telah memiliki 4 alat bukti berupa keterangan saksi, Ahli, surat, petunjuk, dan barang bukti elektronik, namun 4 bukti tersebut tidak memiliki kekuatan bukti yang primer dan relevan," ucapnya.
Padahal, lanjut Ari, putusan MKRI No. 21/PUU-XII/2014 menyatakan bahwa penetapan Tersangka mesti didasarkan pada bukti permulaan, setidaknya 2 alat bukti sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP.
"Adapun 2 alat bukti tersebut tidak dapat hanya sekadar formalitas meminta keterangan saksi, ahli, surat, dan/atau barang bukti lainnya. Namun 2 alat bukti dimaksud haruslah membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi," tegasnya.
Tak hanya itu, Ari menekankan bahwa Kejagung tak bisa membuktikan unsur dalam pasal yang disangkakan kepada kliennya. Dalam kasus ini, Tom Lembong dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam persidangan, Ari menyebut bahwa unsur 'kerugian keuangan negara', unsur 'perbuatan melawan hukum' dan/atau 'penyalahgunaan wewenang', serta unsur 'memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi' tidak terbukti.
SPDP Diterima Lebih dari 7 Hari usai Sprindik Terbit
Gawai dari seorang Jurnalis meliput jalannya sidang praperadilan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ari juga mengungkapkan bahwa kliennya menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) lebih dari 7 hari setelah terbitnya surat perintah penyidikan (Sprindik).
"Pemohon baru tahu adanya Sprindik 3 Oktober 2023 melalui Surat Pemberitahuan Penyidikan Perkara Tindak Pidana Korupsi No. R-3163/F.2/Fd.2/10/2024 tertanggal 29 Oktober 2024, sama sekali tidak terbantahkan," ujar Ari.
Padahal, lanjutnya, hal itu bertentangan dengan putusan MK Nomor 130/PUU-XIII/2015. Putusan itu mengamanatkan bahwa SPDP harus sudah diterima terlapor atau tersangka, paling lambat 7 hari setelah diterbitkannya Sprindik.
ADVERTISEMENT
Ari menjelaskan bahwa Kejagung justru berdalih pihaknya menggunakan Sprindik umum yang belum menyebutkan nama tersangkanya.
Ia menyebut, dalih itu kemudian terbantahkan oleh keterangan ahli pidana yang dihadirkan kubu Tom Lembong, Chairul Huda yang menyatakan bahwa tidak ada pembedaan antara Surat Perintah Penyidikan umum atau khusus.
"Surat Perintah Penyidikan umum sekali pun, tetap saja sudah jelas siapa yang akan dijadikan sebagai calon tersangkanya. Dengan demikian, maka Termohon [Kejagung] berkewajiban untuk menyampaikan kepada calon tersangka," tutur dia.
"Oleh karena itu, berdasarkan semua fakta penetapan tersangka tanpa terlebih dahulu menyampaikan SPDP kepada calon tersangka, merupakan tindakan yang tidak sah," jelasnya.
Kejagung Dinilai Tebang Pilih dan Tidak Adil
Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong berjalan dengan mengenakan rompi tahanan usai ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula oleh Kejaksaan Agung di Jakarta, Selasa (29/10/2024). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Dalam persidangan, kubu Tom Lembong menilai bahwa Kejagung telah tebang pilih dan tidak menjalankan prinsip keadilan dalam menegakkan hukum.
ADVERTISEMENT
Ia menyebut, penyidikan perkara yang dilakukan Kejagung adalah dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) RI yang terjadi pada kurun 2015–2023.
Namun, Kejagung hanya memeriksa kliennya saja sebagai Mendag 2015–2016. Sementara, ada 5 orang Mendag lainnya yang menjabat dalam kurun 2015–2023. Akan tetapi, Kejagung belum pernah memeriksanya.
"Dalam jawabannya, Termohon menyampaikan bahwa pemeriksaan terhadap 5 Menteri Perdagangan lainnya tidak ada kaitannya dengan penetapan Pemohon [Tom Lembong] sebagai Tersangka," protes Ari.
Kelima Mendag lain yang dimaksud, yakni:
1. Rachmad Gobel (2014–2015);
2. Enggartiasto Lukita (2016–2019);
3. Agus Suparmanto (2019–2020);
4. Muhammad Lutfi (2020–2022); dan
5. Zulkifli Hasan (2022-2024).
Tak hanya itu, Ari memaparkan bahwa Kejagung juga hanya mengajukan permohonan bantuan Audit Investigatif kepada BPKP terhadap kegiatan importasi gula yang terbatas pada periode 2015–2016 dan tidak mengikutsertakan periode 2017–2023.
ADVERTISEMENT
"Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa proses hukum yang dialami Pemohon adalah bentuk penegakan hukum yang tebang pilih," imbuhnya.
Terkait hal tersebut, Kejagung menekankan bahwa permintaan tim pengacara Tom Lembong untuk memeriksa Mendag lainnya tidak masuk ranah praperadilan.
Penahanan Tom Lembong Tidak Sah
Jurnalis meliput jalannya sidang praperadilan Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Lembong di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (21/11/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ari juga menyebut bahwa Kejagung telah melakukan penahanan yang tidak sah terhadap kliennya. Kejagung berdalih melakukan penahanan kepada tersangka berdasarkan alasan objektif dan subjektif.
Alasan objektif karena ancaman pidananya di atas lima tahun. Sementara itu, alasan subjektifnya karena tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana.
Dalil Kejagung tersebut dinilai Ari tidak terpenuhi dan dianggap kriminalisasi terhadap kliennya. Tak hanya itu, alasan subjektif penyidik Kejagung untuk menahan Tom Lembong juga tidak terbukti.
ADVERTISEMENT
Pasalnya, kata Ari, kliennya selalu bersikap kooperatif dan memenuhi panggilan penyidik Kejagung. Ari menyebut bahwa kliennya juga tidak memiliki kapasitas serta kewenangan dalam merusak dan menghilangkan barang bukti.
"Dengan demikian, tindakan penahanan terhadap Pemohon adalah bentuk kesewenang-wenangan Termohon dan tidak berdasarkan ketentuan hukum," ucapnya.
"Perbuatan Termohon tersebut telah senyatanya merugikan kepentingan hukum Pemohon sehingga sudah sepatutnya penahanan tersebut dinyatakan tidak sah menurut hukum," sambung dia.
Ilustrasi gedung Jam Pidsus, Kejagung. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Kejagung Nilai Praperadilan Tom Lembong Tidak Jelas, Minta Hakim Tolak

ADVERTISEMENT
Dalam kesempatan itu, Kejagung juga turut menyampaikan kesimpulan hasil persidangan praperadilan. Kejagung mengungkapkan bahwa permohonan praperadilan yang diajukan oleh Tom Lembong tidak jelas. Kejagung pun meminta hakim menolak praperadilan tersebut.
"Petitum permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon [Tom Lembong] tidak beralasan dan tidak jelas," ujar jaksa dari Kejagung di PN Jakarta Selatan, Senin (25/11) kemarin.
ADVERTISEMENT
Jaksa juga menyatakan bahwa penetapan dan penahanan terhadap Tom Lembong sebagai tersangka oleh Kejagung telah berdasarkan hukum dan sah menurut hukum.
Oleh karenanya, Kejagung pun meminta Hakim tunggal PN Jakarta Selatan untuk menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Tom Lembong.
"[Meminta Hakim praperadilan] menolak permohonan praperadilan dari Pemohon untuk seluruhnya," tegas jaksa membacakan petitumnya.

Sekilas Kasus Tom Lembong

Tom Lembong dijerat sebagai tersangka oleh Kejagung terkait kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada 2015-2016.
Berdasarkan penuturan dari pihak Kejagung, pada 2015 terdapat rapat koordinasi antar-kementerian yang telah menyimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak perlu impor.
Namun, pada tahun yang sama, Tom Lembong selaku menteri diduga mengizinkan persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105 ribu ton kepada perusahaan PT AP. Kemudian gula kristal mentah itu diolah menjadi gula kristal putih.
ADVERTISEMENT
Kemudian Januari 2016, Tom Lembong menandatangani Surat Penugasan kepada PT PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula nasional dan stabilisasi harga gula.
Hal itu melalui kerja sama dengan produsen gula dalam negeri untuk memasok atau mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih sebanyak 300.000 ton. PT PPI menggandeng delapan perusahaan untuk memenuhi stok gula itu.
Menurut Kejagung, diduga kasus itu merugikan negara hingga Rp 400 miliar. Kejagung menilai, kerugian negara itu karena keuntungan yang seharusnya diterima BUMN justru menjadi keuntungan pihak swasta.
Tak terima dengan penetapan tersangka itu, Tom Lembong kemudian mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Sejumlah rangkaian persidangan pun telah berlangsung sejak Senin (18/11) lalu. Siang nanti, nasib status tersangkanya bakal ditentukan oleh Hakim tunggal PN Jakarta Selatan.
ADVERTISEMENT