5 WNI Ditangkap di Bandara Juanda, Diduga Hendak Jual Ginjal ke India

11 November 2024 17:54 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kantor Imigrasi Kelas 1 Surabaya dan Lanudal Juanda menangkap 5 orang WNI yang diduga hendak menjual ginjal ke India di Terminal 2 Bandara Juanda. Foto: Imigrasi Kelas 1 Surabaya
zoom-in-whitePerbesar
Kantor Imigrasi Kelas 1 Surabaya dan Lanudal Juanda menangkap 5 orang WNI yang diduga hendak menjual ginjal ke India di Terminal 2 Bandara Juanda. Foto: Imigrasi Kelas 1 Surabaya
ADVERTISEMENT
Sebanyak lima Warga Negara Indonesia (WNI) ditangkap oleh petugas Imigrasi Kelas 1 Surabaya dan Lanudal Juanda di Terminal 2 Bandara Juanda pada Sabtu (9/11). Mereka diduga hendak menjual ginjalnya ke India.
ADVERTISEMENT
Kepala Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Surabaya, Ramdhani, mengatakan penangkapan ini berawal dari kecurigaan petugas kepada salah satu WNI.
WNI tersebut berencana menggunakan penerbangan pesawat Malindo Air dengan nomor flight OD353 tujuan Surabaya-Kuala Lumpur.
Kemudian, penerbangannya dilanjut dengan nomor flight OD205 rute Kuala Lumpur-Delhi. Petugas merasa ada kejanggalan kepada WNI tersebut saat pemeriksaan di konter keberangkatan.
"Ketika tiba di pemeriksaan awal di konter keberangkatan, tim kami merasa curiga dengan WNI tersebut. Karena keterangan yang disampaikan oleh WNI tersebut banyak kejanggalan. WNI ini mengaku hendak berobat, namun banyak informasi yang tidak sinkron dari data yang mereka miliki," kata Ramdhani pada Senin, (11/11).
Setelah diperiksa lebih lanjut, kata Ramdhani, terungkap bahwa ada lima orang yang diduga terlibat dalam transplantasi ginjal ilegal.
ADVERTISEMENT
Mereka yakni AFH (31) asal Sidoarjo, AWSR (28) asal Sidoarjo, RAHM (29) asal Malang, MBA (29), dan NIR (28) asal Sukoharjo.
"Si AFH dan istrinya ASWR mengaku kepada kami berencana bepergian dengan dalih pengobatan penyakit kulit. Namun, dokumen medis yang dimiliki ternyata mengarah pada pemeriksaan urologi dan transplantasi ginjal," terangnya.
Dalam penyelidikan itu juga terungkap bahwa lima WNI ini diduga merupakan bagian dari jaringan yang memfasilitasi transaksi jual beli ginjal melalui media sosial.
"Kami menemukan komunikasi digital yang menunjukkan keterlibatan perantara dan pendonor, serta penggunaan media sosial untuk mencari korban baru," jelasnya.
Ramdhani menuturkan bahwa mereka diiming-imingi uang sebesar Rp 600 juta setiap kali melakukan transplantasi ginjal.
"Biaya Rp 600 juta itu tidak serta merta langsung dikasihkan. Jadi Rp 600 juta itu terbagi dari beberapa tahap yang pertama adalah 2 juta dan selanjutnya diserahkan setibanya di India hingga usai menjalani operasi," terangnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Komandan Pangkalan Udara TNI AL (Danlanudal) Juanda Puspenerbal, Kolonel Laut (P) Dani Achnisundani, menjelaskan, mereka bekerja sama dengan tim yang saat ini belum diketahui keberadaannya.
"Yang jelas ada tim sebagai penerjemah, kemudian ada tim yang asistensi yang di sana untuk pola makannya, untuk yang memberikan jaminan dan lain sebagainya," jelas Dani.
Dani menyampaikan, dari lima WNI itu, dua di antaranya telah menjual ginjalnya pada tahun 2023 dan 2024. Kemudian, ada salah seorang dari mereka yang akan menjual ginjalnya juga.
"Yang akan menjual ginjal ini ada satu orang ibu-ibu dengan alasan untuk membantu suaminya, suaminya terlilit utang. Jual ginjalnya di India," ucapnya.
Dani mengatakan bahwa pihaknya akan melimpahkan ke lima WNI tersebut ke Polda Jawa Timur untuk penyelidikan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
"Jadi ini ada sesuatu hal yang mencurigakan kita tangani, dilaksanakan pendalaman. Setelah selesai dari imigrasi terus dipindah ke satgaspam baru kita berkoordinasi. Setelah ini akan kita limpahkan ke pihak terkait dalam hal ini ke Polda," katanya.
Dari hasil pemeriksaan sementara, para WNI tersebut melanggar Undang-undang (UU) Kesehatan Nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan dan Pasal 432 berbunyi setiap orang yang memperjualbelikan organ atau jaringan tabung dengan alasan apa pun.
"Serta pasal 124 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar," ungkapnya.