6 Dampak Negatif Pemilu Serentak 2024: KPPS Terancam hingga Banyak Penjabat

8 Februari 2021 17:35 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pekerja melipat surat suara Pilkada Medan di Gudang Logistik KPU Medan, Sumatera Utara, Selasa (17/11/2020).  Foto: Irsan Mulyadi/ANTARA FOTO
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melipat surat suara Pilkada Medan di Gudang Logistik KPU Medan, Sumatera Utara, Selasa (17/11/2020). Foto: Irsan Mulyadi/ANTARA FOTO
ADVERTISEMENT
Urusan RUU Pemilu bagi DPR mungkin hanya soal kekuasaan. Tapi bagi KPU, ini bisa jadi soal nyawa. Semula, parpol di Senayan ramai-ramai mendorong UU Pemilu direvisi agar skenario Pilkada Serentak Nasional pada 2024 direvisi.
ADVERTISEMENT
Mereka ingin Pilkada 2022 dan 2023 tetap digelar, tidak ditarik serentak ke 2024. Salah satu pertimbangannya, DPR belajar dari Pemilu 2019 yang menewaskan ratusan KPPS.
Tapi, sepekan terakhir tiba-tiba parpol koalisi pemerintah balik badan. NasDem, PKB, Golkar menolak revisi UU Pemilu. Mereka ingin Pilkada tetap diserentakkan di 34 provinsi pada 2024.
Hanya PKS dan Demokrat yang ingin RUU Pemilu di revisi. Mereka mendorong agar Pilkada dinormalisasi yakni tetap digelar pada 2022 dan 2023.
Apa risikonya jika RUU Pemilu tidak direvisi? Pilpres, Pileg (DPR/DPRD/DPD) hingga Pilkada akan digelar di tahun yang sama yakni 2024, yaitu April sedangkan Pilkada digelar November.
Komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi menegaskan, pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 jangan sampai kembali terjadi. Sebab banyak petugas KPPS meninggal dunia akibat kelelahan.
ADVERTISEMENT
"Pemilu dengan desain seperti itu sebaiknya jadi yang pertama dan terakhir. Saya harapkan jadi yang pertama dan terakhir karena secara teknis melampaui kapasitas manusia dan KPU dalam menyiapkan logistik Pemilu," tegas Pramono.
Selain Pramono, beberapa pihak lain seperti peneliti LIPI Prof Siti Zuhro hingga Muhammadiyah juga mendesak pelaksaan Pemilu Serentak 2024 ditiadakan. Sebab akan lebih banyak dampak negatifnya jika dipaksakan.
Berikut kumparan rangkum 6 dampak negatif jika Pemilu dan Pilkada digelar Serentak 2024:
Petugas menunjukkan tinta sidik jari Pemilu Bupati Bandung 2020 di Gudang Logistik KPU Kabupaten Bandung, Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Minggu (8/11). Foto: Novrian Arbi/ANTARA FOTO

1. Insiden Banyak Petugas KPPS Meninggal Dunia Berpotensi Kembali Terulang

Pramono menyinggung beban kerja KPPS dalam Pemilu 2019. Tercatat ada sebanyak 895 meninggal dunia dan 5.175 sakit akibat beban kerja berlebih.
"Berkaca dalam Pemilu 2019, berdasarkan data kita terkahir ada 895 meninggal dunia di mana 5.175 sakit," kata Pramono, Minggu (7/2).
ADVERTISEMENT
Selain itu, tercatat ada ribuan TPS harus melakukan pemungutan suara ulang atau penghitungan suara lanjutan akibat pengiriman logistik tidak tepat waktu. Mengingat pengiriman ke daerah harus melewati medan yang berat.
Sejumlah PPSU membantu memperlancar proses rekapitulasi suara di tingkat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Minggu (28/4/2019). Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

2. Waktu Pelaksanaan Berdekatan dan Anggaran Membengkak

Pramono memaparkan beberapa konsekuensi jika Pemilu Serentak 2024 tetap dipaksakan. Salah satunya adalah interval waktu pelaksanaan terlalu berdekatan dan itu akan berdampak terhadap para petugas KPPS.
"Konsekuensinya waktunya terlalu dekat dari April ke November, kita sering terjebak Pemilu itu hanya soal hari. Kita lihat Pemilu nasional misalnya pada 2019 tahapannya seingat saya 18 bulan, lalu Pemilu 2014 kalau enggak salah 20-22 bulan. Jadi tahapan dimulai dari 2 tahun sebelum hari H," papar Pramono.
ADVERTISEMENT
"Pilkada bisa 1 tahun, jadi sebelum hari H bisa berlangsung 10 bulan sampai 1 tahun," tambah dia.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi tiba di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat (14/6). Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Meski pelaksaan Pemilu menggunakan APBN, Pramono menuturkan jika dilaksanakan secara serentak, hal itu tentu akan menguras dana negara. Sebab pelaksanaan Pemilu 2024 menggunakan APBN tahun 2022, 2023 dan 2024.
"Anggaran sangat besar dari APBN dan APBD untuk Pilkada. Kalau APBN dialokasikan 3 tahun anggaran kalau dilaksanakan 2024, berarti anggaran dari tahun 2022, 2023 dan 2024. Jadi anggaran ini besar," kata Pramono.
Suasana Rapat Kerja Komisi II DPR RI dengan Komisi Pemilihan Umum di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (26/9). Ketua KPU Arief Budiman menyampaikan pemaparan membahas evaluasi pemilu 2019 dan persiapan pelaksanaan pilkada serentak 2020. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan

3. Melelahkan dan Akan Membuat Publik Tak Percaya Pemilu

ADVERTISEMENT
Wakil Ketua LHKP PP Muhammadiyah, Ridho al-Hamdi, dengan tegas mengatakan Pemilu Serentak 2024 tidak realistis untuk dilaksanakan. Sebab ia menilai hal itu akan memberikan dosis tinggi terhadap demokrasi.
ADVERTISEMENT
"Jadi apakah realistis? Tidak, karena dosisnya terlalu tinggi. Kelelahan tidak hanya dihadapi penyelenggara, partai politik, karena tidak ada evaluasi kaderisasi dari pemilihan karena 2024 bertumpuk dan masyarakat lelah dan melihat ini tidak jadi baik," kata Ridho.
Ridho yang juga dosen di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu kemudian menyinggung pelaksanaan Pemilu 2019 di mana banyak petugas KPPS meninggal dunia. Ini menjadi catatan terhadap keseriusan bagaimana pemerintah melaksanakan Pemilu.
"Berkaca Pemilu Serentak 2019 di mana data yang dipaparkan IDI poinnya banyak korban kelelahan penyelenggara di tingkat bawah, sehingga rekrutmen KPPU tidak menjadi perhatian serius. Beban berat, gaji rendah, ini berdampak pada anggaran besar, sehingga kesehatan psikis menjadi pertimbangan," ucap dia.

4. Potensi Memicu Gesekan Psikososial di Masyarakat

Merujuk data dari indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh freedom house, Ridho menyebut indeks demokrasi Indonesia terus mengalami penurunan tiap tahunnya.
ADVERTISEMENT
"Indeks demokrasi dari Freedom House sejak 2014 Indonesia melemah pada kebebasan sipil. Pada 2006 sempat membaik meski presidennya dari militer tapi puncak keserentakan terjadi pada 2014-2019," kata Ridho.
"Kita lihat setelah Prabowo-Jokowi sampai pascapemilu sampai detik ini dampak psikososial ke bawah masih terjadi bahkan di Sulsel ada kejadian makam dipindah karena beda pilihan," tutur Ridho.
Sedangkan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Feri Amsari, menuturkan sebaiknya Pemilu Serentak 2024 ditiadakan. Feri menyebut berkaca dari Pemilu sebelumnya, hasilnya ternyata tidak sesuai harapan karena banyak rekayasa politik.
"Jangan sampai Pemilu Serentak dipasarkan untuk kepentingan tertentu. Kita kalau lihat beberapa waktu begitu intens kisruh penyelenggara Pemilu," kata Feri.
"Bagi saya, kalau tidak melakukan pembenahan tentu akan merugikan karena 2024 akan rumit, korban akan banyak dan KPU dipaksa untuk mematuhi UU jadi dilema KPU luar biasa bayangkan korban-korban berjatuhan psikologis terdampak," tutur dia.
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara

5. Akan Banyak Penjabat (Pj)

Aturan Pilkada Serentak digelar November 2024 sudah diatur dalam UU Pilkada tahun 2016. Dalam Pasal 201 ayat 8 disebutkan Pilkada Serentak digelar pada November.
ADVERTISEMENT
Berikut bunyi dari Pasal 201 ayat 8:
(8) Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Tetapi skenario Pilkada Serentak Nasional pada 2024 di UU Pilkada, mengharuskan adanya Penjabat (Pj) untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah yang masa jabatannya habis sebelum 2024. Yaitu kepala daerah yang habis di 2022 dan 2023.
Hal ini diatur dalam UU Pilkada Pasal 201 Ayat 9. Berikut bunyinya:
(9) Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023, diangkat penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Wali kota sampai dengan terpilihnya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota melalui Pemilihan serentak nasional pada tahun 2024.
ADVERTISEMENT
Tercatat akan ada 271 daerah diisi oleh Pj. Beberapa daerah di antaranya yakni Jakarta dan Jawa Barat. Pj ditunjuk Kemendagri untuk mengisi kekosongan jabatan. Misal 2022 tak ada Pilkada, maka sampai 2024 diisi Pj.
Sementara kewenangan Pj terbatas, tidak seperti gubernur definitif.
Peneliti LIPI, Siti Zuhro saat diskusi dengan tema "Wajah Islam Politik Pasca Pilpres 2019" Di Kantor Parameter Politik, Jakarta. Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan

6. Bertentangan dengan New Normal

Pengamat dan peneliti LIPI, Prof Siti Zuhro, menekankan, diperlukan jeda jelang pelaksaan Pileg dan Pilpres 2024. Adanya jeda agar tahapan Pemilu menjadi lebih rapi mulai dari pencalonan dan pengumuman hasil.
"Karena itu 2023 tak perlu ada Pilkada Serentak artinya energi stakeholder tak perlu ada Pemilu lebih persiapan ke Pilpres dan Pileg," ucap dia.
Siti Zuhro menegaskan sebaiknya Pemilu Serentak 2024 harus dihindari. Ia mengusulkan sebaiknya Pilkada dilaksanakan pada 2022 atau di mana pelaksanaan Pilkada 2023 dimajukan.
ADVERTISEMENT
"Pilkada Serentak dilaksanakan sesuai jadwal pada 2022 di 101 daerah, Pilkada 2023 dilaksanakan di 170 daerah bisa dipertimbangkan untuk dipersatukan ke Pilkada Serentak 2022 sehingga jadi 271 daerah," kata Siti.
Siti Zuhro kemudian memberikan beberapa pertimbangan mengapa Pemilu Serentak 2024 sebaiknya dihindari. Salah satunya akibat pandemi COVID-19.
Presiden Joko Widodo (kanan) didampingi Mensesneg Pratikno meninjau kesiapan penerapan prosedur normal baru di Masjid Baiturrahim. Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Siti menegaskan, Presiden Jokowi sudah menekankan kita akan memasuki masa new normal. Artinya, keadaan saat ini tidak akan lagi sama seperti sebelum ada COVID-19.
"Pak Jokowi pernah bilang kita masuk new normal, kita dihadapkan realita ketidakpastian yang sangat menyeruak, dengan ketidakpastian kita harus berbenah diri tidak bisa terus-menerus seperti sebelum tidak ada pandemi COVID-19," jelas dia.
"Jadi ini bertentangan dengan new normal, desain pemilu yang rasional dan berdampak terhadap good governance sehingga bisa menimbulkan bad governance atau divided government," tambah dia.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Siti Zuhro juga berkaca dari pengalaman Pemilu Serentak 2019. Menurutnya, pelaksaan Pemilu Serentak 2019 tidak berjalan dengan baik.
"Jadi Pemilu tidak harus disatukan menjadi Pemilu borongan kenapa tidak realistis juga trial eror tidak mempertimbangkan dampak negatif Pemilu 2019. Juga bertentangan dengan mindset dan cultural set new normal yang mensyaratkan desain pemilu/pilkada yang rasional," tutur dia.