Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Enam pengawal Habib Rizieq Syihab tewas dalam insiden penembakan dengan polisi di Tol Cikampek pada 7 Desember 2020. Jenazah mereka dimakamkan pada 9 Desember 2020.
ADVERTISEMENT
Hampir 3 bulan kemudian, Bareskrim Polri menetapkan mereka sebagai tersangka atas dugaan penyerangan polisi. Sontak hal ini menimbulkan perdebatan mengenai penetapan tersangka terhadap orang yang sudah meninggal dunia.
Lantas bagaimana aturan penetapan tersangka?
Berdasarkan Pasal 1 angka 14 KUHAP, tersangka merupakan seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Syarat penetapan tersangka termuat dalam KUHAP yang kemudian ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014.
Dalam putusan MK dijelaskan penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Berikut bunyi Pasal 184 ayat (1) KUHAP:
(1) Alat bukti yang sah ialah :
ADVERTISEMENT
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat;
d. petunjuk;
e. keterangan terdakwa.
Dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan pengertian 'bukti yang cukup' yaitu berdasarkan 2 alat bukti ditambah keyakinan penyidik yang secara objektif.
Langkah penetapan tersangka juga diatur di Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Langkah penetapan tersangka diatur di Pasal 66 ayat (1) dan (2) Perkap tersebut yakni:
(1) Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
(2) Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.
Berdasarkan aturan tersebut, seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka bila terdapat minimal 2 alat bukti dan sebelumnya pernah diperiksa sebagai calon tersangka/saksi.
ADVERTISEMENT
Namun dalam pertimbangan putusannya, MK menyatakan syarat calon tersangka harus diperiksa terlebih dahulu bisa dikecualikan.
"Agar memenuhi asas kepastian hukum yang adil sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 serta memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta dalam hukum pidana, maka frasa 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup' dan 'bukti yang cukup' sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia). Artinya terhadap tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya tersebut, tidak diperlukan pemeriksaan calon tersangka," isi pertimbangan putusan MK.
Bagaimana jika tersangka meninggal dunia?
ADVERTISEMENT
Aturan mengenai kelanjutan kasus ketika tersangka meninggal dunia diatur dalam di KUHP dan KUHAP.
Apabila kasus masih dalam tahap penyidikan, penyidik wajib menghentikan kasus tersebut demi hukum sesuai Pasal 109 KUHAP ayat (2). Berikut bunyinya:
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya.
Sedangkan jika kasus sudah sampai tahap penuntutan, kasus tersebut juga otomatis berhenti sesuai Pasal 77 KUHP yang berbunyi:
Kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia.
Sementara itu Pakar Hukum Pidana Unpar, Agustinus Pohan, menyatakan KUHAP dan KUHP memang tidak mengatur penetapan tersangka terhadap seseorang yang sudah meninggal dunia. Namun menurutnya, penetapan seseorang yang sudah meninggal sebagai tersangka tidak lazim.
ADVERTISEMENT
"Tidak lazim, tidak ada ketentuan yang melarang (penetapan seseorang yang meninggal sebagai tersangka). Tapi logikanya kalau (perkara) tidak bisa lanjut kenapa menetapkan tersangka, tidak jelas. Itu sesuatu yang tidak perlu," ujar Agustinus kepada wartawan, Kamis (4/3).
"Jadi pertanyaannya untuk apa dinyatakan sebagai tersangka disusul dengan penghentian," lanjutnya.
Ia menduga, langkah Polri menetapkan 6 pengawal Rizieq sebagai tersangka untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa mereka diduga melakukan tindak pidana.
"Kalau maksudnya untuk mendukung seolah tindakan kepolisian yang berakhir dengan tewasnya 6 orang itu benar tidak perlu menetapkan tersangka. Hanya perlu penjelasan ke publik. Justru dengan penetapan tersangka memberi kesan kurang baik, muncul pertanyaan ada apa, karena tidak biasa," tutupnya.
ADVERTISEMENT