6 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019

8 November 2019 13:46 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden Joko Widodo menyapa masyarakat dan pendukungnya di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (20/10).  Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Joko Widodo menyapa masyarakat dan pendukungnya di depan Istana Negara, Jakarta, Minggu (20/10). Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
ADVERTISEMENT
Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional 2019 kepada 6 tokoh di Istana Negara, Jakarta Pusat, Jumat (8/11) siang. Pemberian gelar ini diterima oleh ahli waris masing-masing tokoh.
ADVERTISEMENT
Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional 2019 berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 120/TK Tahun 2019 tertanggal 7 November 2019.
Presiden Joko Widodo saat sidang kabinet paripurna perdana di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (24/10/2019). Foto: Dok. Rusman - Biro Pers Sekretariat Presiden
Keenam tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional tahun ini berasal dari beragam profesi dan latar belakang. Ada dua tokoh asal Yogyakarta yakni Prof. KH Abdul Kahar Muzakkir dan Dr. Sardjito. Lalu ada tokoh perempuan Minang, Ruhana Kuddus.
Selanjutnya ada Alexander Andries Maramis dari Sulawesi Utara dan KH Masjkur dari Jawa Timur. Dan terakhir, Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi dari Buton, Sulawesi Tenggara.
Presiden Jokowi memimpin prosesi penganugerahan gelar pahlawan nasional di Istana Negara. Foto: Fahrian Saleh/kumparan
Berikut tokoh-tokoh penerima gelar Pahlawan Nasional 2019:
Abdul Kahar Muzakkir. Foto: Wikimedia Commons
Abdoel Kahar Moezakkir (atau ejaan baru Abdul Kahar Muzakkir) merupakan tokoh pendiri Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Tokoh asal Kotagede ini juga pernah menjadi rektor kampus tersebut periode 1948-1960.
ADVERTISEMENT
Selain mendirikan UII, Kahar Muzakkir memang dikenang sebagai cendekiawan Muslim dan pejuang nasional. Dia juga sempat duduk sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Doktor Sardjito. Foto: Wikimedia Commons
Dr. Sardjito merupakan dokter sekaligus rektor pertama Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 1950-1961. Selanjutnya dia juga menjadi rektor UII periode 1963 – 1970.
Semasa hidupnya, Dr Sardjito kelahiran Magetan ini menciptakan sejumlah vaksin, misalnya untuk typhus, kolera, hingga disentri. Semasa perjuangannya, dia juga berkontribusi dengan membuat makanan dan multivitamin untuk para tentara RI yaitu Biskuit Sardjito.
Atas dedikasinya dalam bidang pendidikan dan kesehatan pada era perjuangan kemerdekaan, nama Dr Sardjito juga diabadikan sebagai nama rumah sakit di Yogyakarta, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito.
ADVERTISEMENT
Alexander Andries Maramis atau lebih dikenal sebagai AA Maramis merupakan tokoh yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara. Ia merupakan anggota BPUPKI dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada era kemerdekaan RI.
AA Maramis juga pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan dan tanda tangannya ada dalam Oeang Republik Indonesia (ORI) -- mata uang RI sebelum rupiah. AA Maramis juga keponakan dari Maria Walanda Maramis, tokoh pejuang perempuan dari Sulawesi Utara, yang sebelumya juga mendapat gelar Pahlawan Nasional.
KH Masjkur adalah tokoh dan ulama dari Nahdlatul Ulama. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Agama di tiga era Perdana Menteri, yakni Amir Syarifuddin, Mohammad Hatta, Soesanto Tirtopordjo atau sekitar periode 1947-1949. Kemudian menjadi Menteri Agama lagi di era Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sekitar periode 1953-1955.
ADVERTISEMENT
Pada zaman perjuangan kemerdekaan, KH Masjkur ikut menjadi anggota BPUPKI. Ia juga pernah tercatat sebagai pendiri Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian berubah nama Laskar Rakyat dan akhirnya menjadi TNI. Pada pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, ia memimpin barisan Sabilillah.
Jurnalis perempuan pertama di Indonesia, Roehana Koeddoes. Foto: Wikipedia
Roehana Koeddoes (atau Ruhana Kuddus dengan ejaan kini) adalah jurnalis perempuan pertama di Indonesia. Ruhana kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat, ini memiliki komitmen tinggi di bidang pendidikan dan literasi.
Ruhana pernah menjadi pimpinan beberapa surat kabar pada masanya. Ia pernah menulis untuk surat kabar Poetri Hindia, Oetoesan Melajoe, hingga mendirikan surat kabarnya sendiri, Soenting Melajoe.
Selain di dunia pers, Ruhana juga aktif menjadi penggerak kerajinan di Sumbar, khususnya untuk kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi atau dikenal dengan gelar Oputa Yi Koo adalah putra daerah yang memimpin perlawanan terhadap agresi, invasi, dan imperialisme Belanda di wilayah kesultanan Buton pada abad ke-18.
Himayatuddin pernah menjabat dua kali dipilih jadi sultan, yakni sebagai Sultan Buton ke-XX (1750-1752) dan ke-XXIII (1760-1760). Beliau wafat pada tahun 1776 masehi.
Himayatuddin adalah pahlawan yang berhasil menghapus traumatik dari stigma sejarah, yang menyebut Buton adalah wilayah yang berkhianat kepada NKRI. Sedangkan gelar Oputa Yi Koo, dalam bahasa masyarakat setempat, bermakna raja atau penguasa yang bergerilya melawan penjajah di dalam hutan.
Ditunjuknya Himayatuddin ini berhasil memecahkan sejarah bagi Provinsi Sulawesi Tenggara. Pasalnya, sejak pertama kali berdiri 55 tahun lalu, belum pernah ada tokoh asal Sultra yang menjadi pahlawan nasional.
ADVERTISEMENT